Mohon tunggu...
Ale Siregar
Ale Siregar Mohon Tunggu... -

Hidup berarti bukan karena menjadi; hidup berarti karena mencari.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Arsene Wenger: Menuju Senja Kala?

16 April 2017   18:01 Diperbarui: 18 April 2017   05:42 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diakui atau tidak, sepakbola modern abad ini menyeret berbagai kisah pilu. Permainan instan dengan capaian ultima meraih kemenangan menyapu sederet cerita indah. Peduli setan dengan filosofi, keindahan atau karakter permainan. Satu-satunya jawaban yang dinanti adalah kepastian untuk menang. Dan memang itulah yang dinginkan para petaruh di rumah-rumah judi, pemegang saham, sponsor  dan bahkan bapak-bapak yang meronda di pos kamling saban malam.

Kita tentu belum lupa dengan kisah apik yang digores Claudio Raineri bersama Leicester City dalam menjuarai Liga Primer Inggris. Musim lalu, Raineri seakan mendikte sebuah dongeng pengantar tidur yang justru membuat kita tak tertidur sama sekali. Bagai Don Quixote de la Mancha yang tersihir oleh kisah-kisah kepahlawanan, Raineri menyetrum semua kemampuan kita untuk membayangkan. Ia membawa Leicester City dari lembah degradasi mendaki puncak Olympic sepakbola Inggris. Sebuah epos yang mungkin hanya terjadi satu kali dalam seratus tahun.

Di musim selanjutnya, Leicester City terseok-seok, persis seperti kuda yang kehabisan tenaga setelah mengikuti pacuan. Kekalahan beruntun menghajar Jamie Vardy dan kawan-kawan. Semua mata tertuju pada pelatih berusia 65 tahun kelahiran Roma. “Mana dongeng yang kau ceritakan musim lalu? Kami butuh dongeng yang lebih indah. Apa ini yang kau sebut dongeng?” demikian kira-kira permintaan para penggila sepakbola sejagat raya kepada Raineri. Karena posisi Leicester City yang melulu merosot dari tangga klasemen, tak ada jalan lain selain mengganti si pelatih. Tersingkiralah pelatih yang pernah menangani sederet klub besar itu. Lagi-lagi, orang butuh kepastian untuk menang.

Itu pula yang akan dialami Wenger? Tak seperti kisah Raineri yang menukik tajam ke atas. Kisah Le Professeur lebih kalem namun tak kalah menarik. “Saya tidak akan pensiun. Pensiun itu untuk anak muda,” demikian Wenger, “untuk orang tua pensiun berarti sekarat. Saya masih menonton setiap pertandingan sepakbola. Saya menemukan kesenangan," katanya seperti dikutip oleh Metro dalam temu laga melawan Manchester City pada awal April lalu. Tetapi siapa yang bisa tebak? Memangnya Wenger siapa? Berbekal hidup satu atap bersama Arsenal selama 20 tahun dan ingin menghabisi sisa usia tanpa satu gelar pun? Ada yang lebih lama dibanding Wenger. Sir Alex Ferguson, misalnya, 27 tahun bersama Manchester United, Bill Struth melatih Rangers selama 34 tahun dan Willie Maley selama 43 tahun memanajeri Celtic.

Kalau dirunut ke belakang, ketika Wenger pertama kali menginjakkan kaki di sarang The Gunners Oktober 1996 silam. Kedatangannya tak ubah penjajah dari antah berantah yang perlahan berhasil menancapkan benderanya di tanah asing. Tak banyak yang mengetahui kiprah kepelatihannya. Sebelum ke Arsenal,Wenger berkarir di J-League Super Cup bersama klub Nagoya Grampus. Sempat juga membawa AS Monaco meraih Ligue 1 1987-1988. Tapi tak  banyak yang tahu tentang sejarah karir Wenger. Sebagaimana para pendatang baru, ia mendapat olok-olok dari pelatih-pelatih Liga Inggris waktu itu. Wenger menjawab ejekan itu dengan prestasi meraih gelar juara 6 kali Piala FA, 6 piala Charity Shield, 3 kali juara Liga Primer Inggris 1998, 2002, 2004 dan sebuah rekor tak terpecahkan hingga saat ini: unbeatable di musim 2003-2004.

Arsene Wenger/taddlr.com
Arsene Wenger/taddlr.com
Tapi, masa lalu adalah masa lalu. Para penjudi di rumah taruh tak ambil pusing soal itu. Sepakbola modern kental dengan budaya easy-come, easy-go dan Wenger harus tahu soal itu, sebab masa kontraknya sudah mau habis. Mendatangkan pelatih baru mau tak mau adalah solusi jitu. Kendati dalam studi empiris, pergantian pelatih hanya membawa efek positif yang sedikit. Hanya berhasil dalam beberapa kasus, dan biasanya tidak. Data Liga Primer Inggris terbaru menunjukkan, hanya 7 dari 20 pelatih yang bertahan di klubnya selama lebih dari 2 tahun. Diantaranya adalah Burnley, Stoke City, Bournemouth dan West Bromwich Albiom, klub-klub yang menempati klasemen papan tengah Liga Primer Inggris. Apa mau dikata, sepakbola modern adalah dunia industri. Dunia industri menempatkan keuntungan di atas segalanya, bahkan di atas Tuhan sekalipun. Dan keuntungan dalam sepakbola adalah perkara menang serta meraih trofi.

Seperti ditulis Jim Holden dalam World Soccer edisi April, “sepakbola sudah seperti dunia fesyen. Seorang manajer hanya bertahan satu musim, dan lalu model baru dengan tampilan baru (datang menggantikannya) adalah sesuatu yang wajib ditonton.”

Lusa dini hari, 18 April mendatang Arsenal akan bertandang ke Stadion Riverside melawan Middlesbrough. Semoga saja ada angin segar yang muncul dari pertandingan lusa nanti. Angin segar buat siapa? Tentu saja untuk para spekulan di rumah-rumah judi. Dan pada akhirnya, apakah kita akan mengucapkan au revoir (sampai jumpa lagi) atau adieu (selamat tinggal) pada Le Professeur? Apakah ia akan menuju senja kala dan tenggelam bersama segala ceritanya atau akan tampil lagi dengan sesuatu yang baru beriring sinar cerah di esok pagi? Kita lihat saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun