Topik di mata kuliah Sosiologi Komunikasi ini sangat menarik perhatian saya, dimana kita terjebak di dunia yang serba teknologi, dimana kita lari di tempat secara terus-menerus. Ya, semua karena teknologi.
Apakah kalian menyadari rasanya tangan kita gatal jika tidak mengecek smartphone kita? Atau apakah kalian sadar kalau setiap pagi kalian selalu mencari handphone kalian walaupun hanya sekedar untuk check notifikasi dari gebetan kalian? Atau kalau gak buka Instagram satu jam saja kita rasanya sudah tertinggal banyak kabar berita. Itu tandanya kalian sudah terjebak di hyper-reality.
Jacques Ellul mengatakan, kalau kita ingin menggambarkan zaman ini, maka gambaran yang terbaik untuk dijelaskan mengenai suatu realitas masyarakat adalah masyarakat dengan sistem teknologi yang baik atau masyarakat teknologi (Ellul, 1980:1). Sedangkan menurut Gaulet (1977:7), untuk mencapai masyarakat teknologi, maka suatu masyarakat harus memiliki system teknologi yang baik.
Dengan demikian, maka fungsi teknologi adalah kunci utama perubahan di masyarakat. Menurut Ellul dan Goulet, teknologi secara fungsional telah menguasai masyarakat, bahkan pada fungsi yang substansial, seperti mengatur beberapa system norma di masyarakat, umpamanya sistem lalu intas di jalan raya, sistem komunikasi, seni pertunjukan, dan sebagainya.
Dalam media informasi, sistem teknologi juga telah menguasai jalan pikiran masyarakat, seperti yang diistilahkan dengan theather of mind. Dengan kata lain, kita sudah ditanam dalam-dalam bahwa kita tidak bisa hidup dengan adanya teknologi, dan jika kita sudah terpisah dengan teknologi, walaupun dalam jangka waktu yang singkat, kita sudah sangat kehilangan karena itu bukti bahwa realitas yang dibentuk oleh pikiran mereka itu sendiri.
Kita yang terjebak di hyper reality sudah membuat stigma sendiri di dalam otak kita bahwa dunia itu lebih indah, bermakna, dan berwarna karena adanya teknologi, lebih tepatnya teknologi media informasi. Realitas itu dibangun oleh para perancang agenda setting media berdasarkan kemampuan teknologi media elektronika serta dipengaruhi oleh lingkungan, budaya dan pandangan tentang alam sekitarnya.
Jean Baudrillard menjelaskan bahwa teknologi media elektronika memungkinkan perancang agenda setting media dapat menciptakan realitas dengan menggunakan satu model produksi yang disebutnya dengan simulasi. Simulasi yang dimaksud adalah penciptaan model-model nyata yang tanpa asal usul atau realitas awal. Ini yang dimaksud dengan hyper-reality.
Lalu bagaimana cara kita mengetahui mengapa kita bisa terjebak di hyper-reality? Jadi kita ibaratkan seperti ini, kita dijebak di dalam satu ruang, yang disadarinya sebagai nyata, meskipun sesungguhnya semu, maya, atau khayalan belaka.
"Ah, aku buka smartphone seperlunya saja, kok."
"Ah, aku gak terlalu suka main media sosial."
"Ah, aku kan juga menikmati real life yang aku jalani."
atau
"Ah pokoknya Jokowi-Ma'ruf yang menang!"
"Ah Prabowo-Sandi dong yang menang!"
Teman-teman yang saya hormati, selamat datang di hyper-reality dimana kita semua sudah terjebak di satu ruang dan kita anggap kita sedang berada di dunia yang nyata. Mau tidak mau, suka tidak suka, kita memang sudah terjebak di hyper-reality, karena kita bergantung dengan teknologi, hanya saja bagaimana sikap kita menghadapi arus dari teknologi itu sendiri.
Bukan suatu kesalahan jika kita terjebak di dalam hyper-reality, seperti yang sudah saya bilang, tergantung bagaimana sikap kita dalam menghadapinya. Tapi masalahnya, apakah kita bisa? Bagaimana dengan yang tidak bisa? Mereka yang lebih famous di dunia maya, mereka yang lebih di segani dan di junjung tinggi di dunia maya, mereka yang benar-benar sudah terjebak di dalam lubang yang sangat dalam dan nyaman di sana.
Apakah kalian pernah melihat meme tentang perbandingan antara kehidupan kalian di dunia maya dan di dunia nyata? Disaat kalian sangat terkenal di dunia maya, tapi di saat kalian meninggal, tidak ada satu pun orang yang melayat kalian karena tidak tahu kalian itu tinggal dimana, atau lebih jelasnya, mereka gak dekat dengan kalian. Mereka hanya pengagum kalian di dunia maya. Sungguh miris sebenarnya,
Banyak orang-orang yang menggunakan sosial media sebagai platform mereka untuk menunjukkan eksistensi diri mereka. Saya ambil contoh kalau dia laki-laki, dengan karakter yang bijak, atau pandai membuat rangkaian kata yang bisa di retweet oleh kawula muda. Atau seorang perempuan cantik tidak bercelah, menunjukkan screenshot DM Instagram nya yang berisi pujian dari laki-laki penggoda yang lucknut.
Tidak sedikit juga orang yang menggunakan identitas orang lain untuk merubah diri jadi orang yang identitasnya di curi, kalau kalian nonton film Identity Thief kalian pasti akan ngakak, eh maksudnya mengerti.
Satu lagi yang membuat saya miris dengan orang yang sudah terlalu dalam terjebak di dalam hyper-reality adalah, ketika ketidak-aslian yang dibuat oleh manusia yang membuat mereka jadi berbeda. Contoh yang bisa di ambil dan paling mudah untuk dimengerti adalah aplikasi untuk mempercantik diri. Sudah banyak aplikasi yang dibuat untuk mempercantik diri, atau untuk menambah kepercayaan diri seseorang lewat aplikasi yang dibuat sedemikian rupa untuk membuat kita semakin 'palsu'.
"Ah, sirik aja lu! Gak bisa apa diemin aja urusan kita!"
"Biarin aja, lah! Yang cantik/ganteng kan gue!"
"Kalau gak gini, gak dapat banyak likesnya!"
Ayolah, kalau kalian gak pernah dengar lagu Kendrick Lamar yang berjudul Humble, yang potongan liriknya seperti ini,
"I'm so f-ing sick and tired of the Photoshop
Show me somethin' natural like afro on Richard Pryor
Show me somethin' natural like ass with some stretchmarks"
Yang sudah menjadi keresahan Kang Kendrick juga, kalau beliau sudah muak dengan segala kepalsuan yang ada, mungkin beliau korban PHP. Hehe. Point yang akan saya jelaskan lebih dalam tegas lagi, jangan sampai terjebak terlalu dalam, dan membuat kita menjadi bukan diri kita.
Kalau saja kalian para cewek (biasanya menggunakan aplikasi ini) untuk memikat hati para cowok, bagaimana untuk jangka panjang nanti? Atau kalau untuk jangka pendek, bagaimana kalau kalian bertemu dengan cowok itu? Lantas di dunia maya dan di dunia nyata jelas berbeda, pantas saja banyak status di media sosial tentang kekecewaan cowok setelah meet up dengan cewek gebetannya di Facebook.
Kalau ngomongin cewek aja, nanti bakal ada yang marah, jadi saya juga akan menjelek-jelekkan cowok yang terjebak di hyper-reality. Kalau kalian para cowok (yang menggunakan aplikasi dating) hanya untuk ena-ena lebih baik kalian di kumpulkan di suatu pulau dan di hujani oleh batu yang dijatuhkan oleh burung Ababil. Karena kelalaian kalian dalam menggunakan teknologi bisa mencelakakan orang lain juga, bisa merusak anak orang juga. Gak sedikit kasus yang terjadi terkait dengan masalah ini.
Berdasarkan pemaparan di atas, ruang semu yang dijelaskan tadi itu dikonstruksikan oleh media informasi melalu pencitraan media, dimana manusia mendiami suatu ruang realitas yang perbedaan antara nyata dan fantasi, atau yang benar dengan yang palsu, menjadi sangat tipis. Tapi jika penggunaannya benar, tidak masalah jika kita terjebak di dalam hyper-reality.
Sudah sejauh mana kita terjatuh?
Referensi : Sosiologi Komunikasi (Burhan Bungin)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H