Banyak orang beranggapan bahwa bahasa isyarat hanya untuk teman tunarungu saja. Tetapi, pada dasarnya kita tidak sadar, kita sendiri, bahkan hampir semua orang sering memakai bahasa isyarat, berupa lirikan mata, gestur tubuh, bahkan ekspresi wajah. Bahasa isyarat yang seringkali kita pakai, biasanya digunakan untuk memberikan informasi kepada lawan bicara, ketika dalam keadaan terdesak, misalnya pada saat kita ingin memberitahu orang lain untuk tetap tenang dengan gestur satu jari di depan bibir. Sedangkan pada tunarungu, bahasa isyarat sudah menjadi kebutuhan dan keperluan sehari-hari. Hal ini disebabkan orang dengan gangguan pendengaran dan gangguan kemampuan berbicara, dapat berkomunikasi secara efektif dengan bahasa isyarat.
Di Indonesia, ada dua macam bahasa isyarat yaitu Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) dan Sistem Bahasa Isyarat (SIBI). BISINDO merupakan bahasa isyarat yang secara alami muncul dalam budaya Indonesia dan praktis digunakan sehari-hari. Sedangkan SIBI merupakan bahasa resmi yang diakui pemerintah, dan merupakan bahasa isyarat yang wajib digunakan Sekolah Luar Biasa (SLB).
Menurut Haryatmoko (dalam Damaiati Kurnia: 2016), Penerapan bahasa isyarat di beberapa SLB, masih menggunakan bahasa lokal dan bahasa resmi alami tunarungu (BISINDO). Di Kota Malang, terdapat komunitas Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN) yang bertujuan untuk memunculkan wacana pada tunarungu. Dari GERKATIN, semua wacana dapat disepakati bersama dalam menjalankan peraturannya. Sehingga lebih mudah dipraktikkan, diterima, dan dilihat, serta dapat dipahami dan disepakati bersama oleh tunarungu.
Adanya perbedaan bahasa isyarat di berbagai daerah, yang kemudian mendorong pemerintah membentuk SIBI, agar keseluruhan bahasa isyarat dapat sama rata dalam penggunaanya. Pemberlakuan SIBI di sekolah diwajibkan oleh Mendikbud Republik Indonesia Nomor 0161/U/1994 (Kemendikbud: 1997) atas bentuk kurikulum tunarungu. SLB yang menerapkan SIBI dilakukan sesuai peraturan pembakuan bahasa isyarat yang ditetapkan pemerintah. Target utama Mendikbud dalam pembuatan SIBI adalah SLB di Indonesia. Sebelum mengerahkannya kepada murid tunarungu, Mendikbud mengutamakan sosialisasi SIBI kepada guru-guru.
Aturan pembakuan bahasa isyarat yang dilakukan pemerintah dalam kebijakan SIBI dilakukan di SLB dimaksudkan agar teman tunarungu dapat terkontrol. Pengontrolan dilakukan melalui pemberian kamus-kamus SIBI yang tujuaannya sebagai media komunikasi. Dalam pengontrolan dan pendisiplinan penerapan SIBI, dilakukan pemerintah melalui tuntunan kuat dalam penerapan SIBI.
Dalam hal penerapan SIBI, pemerintah juga melakukannya melalui pemaksaan dan mewajibkan tunarungu dalam memakai SIBI. Menurut Damaiati Kurnia, "Adanya SIBI yang diciptakan pemerintah dan disahkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, ternyata mempersulit teman tunarungu mendapatkan serta memahami informasi yang disampaikan". Dampak lain dari adanya SIBI, dapat menghancurkan bahasa alami yang mereka ciptakan dan mereka sepakati. Dalam hal ini, tidak sedikit hak-hak yang seharusnya teman tunarungu dapatkan, namun tidak mereka peroleh karena pengendalian yang diatur oleh Pemerintah. Keadaan di kelas, tak jarang, guru memperlakukan teman tunarungu layaknya mengajar dengan siswa yang dapat mendengar, sehingga banyak guru yang mengajar menggunakan bahasa lisan. Padahal, komunikasi guru dengan murid tunarungu adalah kunci kelancaran proses pembelajaran. Guru mengenalkan bahasa isyarat dasar sampai murid tunarungu mengerti dan paham, sehingga murid tunarungu dapat memakai bahasa isyarat tersebut untuk komunikasi. Oleh karena itu, banyak teman tunarungu yang tidak mengerti dan salah menangkap materi pembelajaran informasi yang disampaikan oleh guru.
Tak hanya di sekolah, bahkan di lingkungan keluarga pun, masih banyak orang-orang yang memperlakukan teman tunarungu berbeda dengan keluarga yang lainnya. Banyak yang menjauhi teman tunarungu dikarenakan mereka berpandangan bahwa tunarungu hanya akan membawa kesialan dan mempersulit masyarakat dan keluarganya. Ketidakstabilan tunarungu dalam menyikapi lingkungan di sekitarnya, membuat banyak orang memandang aneh jika mereka memiliki teman atau keluarga yang berkebutuhan khusus. Hal ini dikarenakan tunarungu memiliki rasa kurang percaya diri atau minder, sehingga tunarungu lebih senang berkumpul dengan sesama tunarungu lainnya.
Seorang mukmin yang satu adalah saudara orang mukmin lainnya. Kita tidak boleh menganiaya, menghina, atau bahkan merendahkannya. Seperti halnya kepada teman tunarungu yang seringkali mendapatkan perlakuan berbeda dari orang di sekitarnya. Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 10,
"Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat Rahmat." (QS. Al-Hujurat: 10).
Dalam buku Tafsir Al-Ma'arif, Allah menegaskan bahwa siapa pun, yang penting sebagai seorang mukmin, maka adalah bersaudara. Dalam artian, Tunarungu pun sama rata kedudukannya dengan kita semua, berhak mendapatkan keadilan dan berhak mempertahankan haknya.
Selain itu, ternyata banyak faktor yang mempengaruhi tunarungu yang enggan memakai SIBI; Banyaknya kesulitan yang teman tunarungu alami dalam memakai SIBI, SIBI tidak sesuai dengan logika berpikir tunarungu karena diawali dengan imbuhan yang sama dengan kata awalan, serta akhiran yang dipakai dalam tata bahasa Indonesia seperti; me-, ke-, ber-, pe-. Kebijakan tunarungu dikeluarkan pemerintah cenderung kurang adil dalam melakukan kebijakan. Yang maksudnya, pemerintah hanya mementingkan kepentingan satu pihak tanpa melihat sisi buruk yang akan timbul dari kebijakan tersebut. SIBI merupakan proyek atau rencana yang pemerintah keluarkan tanpa ada diskusi dan pendapat dari tunarungu.
Banyak kekesalan yang diungkapkan tunarungu di beberapa daerah, karena mereka merasa semua hak-hak yang harusnya mereka miliki, tetapi telah dirampas oleh Pemerintah. Teman tunarungu yang dulunya diam dan menerima paksaaan dari Pemerintah, kini mulai mengeluarkan argumen dan pendapat mereka atas ketidakadilan yang mereka peroleh. Tujuan dari mereka mulai mengeluarkan pendapat, yaitu sebagai upaya pembebasan diri dari paksaan dalam penggunaan SIBI, yang semakin meresahkan mereka.
Dalam permasalahan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwasannya, semua orang di dunia ini, memiliki hak atas keadilan hidup dan berpendapat. Sudah jelas bahwasannya, Allah Subhanahu wata'ala menciptakan makhluknya bersuku-suku, berbeda karakter, berbeda warna kulit, agar semua makhluknya dapat saling mengenal dan saling menghargai dalam setiap permasalahan. Mari hidup mulia dengan memuliakan orang lain. Mari hidup berpahala dengan menjadikan sesama merasa nyaman berada di sekitar kita. Karena ingatlah, dalam kebaikan kepada sesama, sesungguhnya bernilai pahala luar biasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H