Republik Indonesia dikenal memiliki bentang alam yang sangat luas dan dan keanekaragaman hayati kelautan yang sangat tinggi, disamping itu indonesia juga memiliki kawasan yang dikenal dengan The Coral Triangle yang juga kaya dengan keanekaragaman hayati.. Ada beberapa hal yang menarik melihat kondisi bentang alam yang ada, salah satu yang menarik adalah nelayan.Â
Jumlah nelayan kita selama periode 2010 hingga 2018 menurut data KKP mengalami penurunan yang cukup signifikan, pada tahun 2010 jumlah nelayan berjumlah 2.162.442 jiwa dan pada tahun 2018 menyusut menjadi 1.685.018 jiwa. Ada beberapa hal menurut hemat penulis yang ditenggarai menyebabkan menyusutnya jumlah profesi nelayan di republik ini
Pertama, profesi sebagai nelayan sudah jarang dilirik akibat dari stigma kemiskinan yang melekat pada profesi nelayan.
Stigma dekat dengan kemiskinan itu sendiri muncul karena beberapa hal, satu kemiskinan yang disebabkan akibat tatanan kebijakan yang lebih menguntungkan golongan pemilik modal (nelayan besar) dan ketidakmerataan akses pada sumberdaya karena struktur sosial yang ada.Â
Dua, budaya yang kurang produktif dan pola pemikiran yang masih "kolot", hal ini menyebabkan kurang inovasi dan keterampilan yang ada.
Tiga, adalah malu mengakui profesi sebagai nelayan karena dianggap kurang "prestige" pada struktur sosial masyarakat sehingga mengganti profesi ketika pendataan yang dilakukan oleh instansi terkait.
Dengan semakin langkanya sumberdaya ikan yang ada, untuk mendapatikan nelayan harus melaut jauh lebih lama dan lebih jauh dari "fishing ground" yang biasa digunakan hal ini tentu mebuat perbekalan dan solar yang dibutuhkan meningkat. Tidak sedikit dari nelayan justru menangkap ikan dengan menggunakan alat atau bahan yang dapat mengancam kelestarian ikan "destructive fishing".Â
Mereka beralasan jika tidak menggunakan alat atau bahan terlarang tersebut tidak akan bisa mendapat hasil tangkapan lagi dan kebutuhan rumah tangga mereka tidak terpenuhi, disamping itu ikan di laut tidak akan habis. Nelayan nelayan yang kurang beruntung memang sebagai agen sekaligus korban dari kerusakan ekosistem laut yang dapat mengancam kelestarian sumberdaya ikan.
Sesampainya di darat Tempat Pelelangan Ikan (TPI) juga hanya menjalankan fungsi timbang dan belum mampu menjalankan fungsi lelang secara optimal sebagaimana mestinya dimana pedagang menentukan aturan sendiri tanpa adanya batas bawah harga ikan, hal ini meyebabkan pedagang memperoleh keuntungan maksimal dan nelayan tidak dapat posisi tawar yang strategis.
Ketiga Maraknya "ilegal fishing" oleh kapal asing yang yang melakukan aktifitas di wilayah WPPRI kita semakin memperparah kondisi nelayan kita, dari segi alat tangkap yang digunakan, ketahanan waktu dilaut dan besar kapal jelas nelayan nelayan kita kalah jauh dari kapal kapal asing tersebutÂ
Akibatnya hasil tangkapan nelayan kita yang sudah semakin berkurang, berikutnya kemampuan kita dalam mengamankan dan mengawasi kapal asing yang masuk masih jauh dari angka ideal, ditambah lagi secara regulasi terbaru pada "UU Omnibus Law Pasal 27A ayat (3" menyebutkan, kapal penangkap ikan berbendera asing di ZEEI yang tidak membawa dokumen Perizinan Berusaha dikenai sanksi administratif sehingga menurut hemat penulis baik dari segi regulasi dan kekuatan armada yang kita miliki tidak memberi "efek deteren" terhadap kapal kapal asing dan semakin merugikan nelayan dan keberlanjutan sumber daya alam negara ini.