Mohon tunggu...
Isriyati
Isriyati Mohon Tunggu... Lainnya - Pembaca dan penulis

Seseorang yang menggemari membaca komik Jepang (manga), menyenangi merangkai kata menjadi tulisan, menyukai jalan-jalan, dan mencintai warna oranye

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Menyeimbangkan Idulfitri

23 Mei 2020   12:57 Diperbarui: 23 Mei 2020   12:59 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Aktualisasi diri ini lah yang menjadi pencapaian diri kepada Ilahi. Tatkala sebulan berjuang mengalahkan hawa nafsu, menyingkirkan kekerdilan hati, memaksimalkan momen untuk sering beribadah sehingga menjadi pribadi yang telah berhasil mencapai kualitas derajat ketaqwaan yang lebih baik sehingga dapat kembali ke fitrah serta terbesit kesedihan dihati karena waktu berjalan dengan cepat sehingga perlu waktu sebelas bulan lagi untuk bertemu kembali. Itupun jika Allah SWT menghendaki.

Dari sini kita memahami bahwa Idul Fitri harus menjadi standar peningkatan keimanan dan ketaqwaan, keikhlasan berbagi, dan solidaritas sosial yang terus berkelanjutan. Selain itu pula juga menjadi titik awal momentum perubahan ke arah yang lebih baik, lebih positif, dan lebih beradab disegala bidang dalam segala sendi kehidupan.

Idul Fitri itu tentang keseimbangan

Ya, sejatinya momen Idul Fitri/Lebaran ini idealnya menjadi penyeimbang. Tidak semata menggambarkan ritual yang harus dijalani untuk mengesahkan keabsahan makna Idul Fitri yang terbentuk karena konstruksi sosial. Namun juga perlu polesan hubungan Hablumminannas dalam rangka memperbaiki hubungan dengan sesama secara tulus ikhlas dan Hablumminallah yang merupakan pemaknaan kembali atas kualitas spiritual diri dalam hubungannya dengan Allah SWT serta sebaik-baiknya manusia dalam bertingkahlaku.

Jangan sampai pemaknaan Idul fitri hanya tertumpu pada ekspresi secara simbolik dalam berbagai bentuk ritual dalam balutan reliji. Karakter sosial budaya yang terlanjur melekat bukan berati diganti dengan nuansa kekhusyukan nan syahdu. Ini hanya bagaimana kita bisa lebih memaknai dan menjalankannya secara SEIMBANG.

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, B. 2006. Sosiologi komunikasi edisi pertama. Jakarta: Prenada Media Group.

Devito, J. A. 2013. The interpersonal communication. New York: Peson Education.

Mulyana, Dedy. 2015. Ilmu Komunikasi : Suatu Pengantar. Bandung : Remaja Rosda Karya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun