Air mataku kembali jatuh. Aku melihat mereka satu per satu, kita semua sama. Mata bengkak, wajah pucat, dan tampak sangat kelaparan. Aisya badannya panas, napasnya sudah terengah-engah.Â
"Jangan keluar! Semua harus diam di jembatan ini. Badainya tak datang, jadi biarkan kita yang mencari badai itu. Diamlah disini. Jika kita pergi, kita pergi sama-sama. Aisya tak akan sembuh hanya dengan makanan yang nanti kalian belikan. Dia harus ke rumah sakit dan uang kita tak akan pernah cukup untuk membayar rumah sakitnya."Â
Kiki mengangguk, "aku setuju. Diamlah disini, maka kita akan pergi bersama-sama. Mari temani kepergian Gilang dan mari temani rasa sakit Aisya."Â
Aku menatap Aisya yang tertidur dengan wajah pucatnya, aku memeluknya sebagai permintaan maafku. Maaf karena aku tidak berhasil menjaga mereka. Maaf karena tidak bisa menjadi orang yang dewasa. Aku tidak mengerti harus bersikap bagaimana saat kehilangan seseorang, aku lupa bahwa aku masih punya Gani, Kiki, dan Aisya yang harus aku urus. Aku lupa hal itu dan sibuk termenung seminggu ini karena rasa bersalahku yang membiarkan Gilang meninggal sendirian.
Aku tahu mereka semua paham sekali dengan ucapanku. Kehilangan Gilang membuat kami kehilangan semuanya. Kehilangan Gilang membuat kami juga menghilang. Aku, Gani, Kiki, dan Aisya menghabiskan sisa waktu kami di jembatan ini. Di bawah jembatan ini, tubuh-tubuh kami mulai membusuk satu per satu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H