Mohon tunggu...
Isra Amin Ali
Isra Amin Ali Mohon Tunggu... Wiraswasta - KTP

"Dari BANDA NEIRA Menjadi INDONESIA"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sejarah Bangsa Cina di Kepulauan Banda

28 Januari 2025   23:08 Diperbarui: 29 Januari 2025   08:31 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Klenteng Sun Tien Kong di Banda Neira yang berusia 400 tahun - tahun 1930/ Sumber : KITLV 

Kontak dan komunikasi antara Bangsa Cina dengan penduduk di Kepulauan Maluku sudah terjadi sejak berabad-abad yang lalu melalui perdagangan pala dan cengkih dengan cara yang damai. Menurut A.B.Lapian (1965) dalam artikelnya "Beberapa Jalan Dagang ke Maluku Sebelum Abad XVI" menyebutkan bahwa data dari Dinasti Tang di Cina memberi petunjuk bahwa istilah Maluku telah dikenal oleh orang-orang Cina sekurang-kurangnya antara abad VII dan IX.

Hal ini karena ada perdagangan Cengkeh antara Cina dengan Ternate dan beberapa kerajaan lainnya disana.  Pendapat ini sejalan dengan hasil Studi Arkeologi di Banda Neira tahun 1997 yang dilakukan oleh Peter Lape, diketahui bahwa kontak antara Banda Neira dengan Cina telah ada sejak era Neolitikum, ini juga karena adanya perdagangan Pala antara masayarakat Banda dengan para pedagang Cina.

Pada saat Fransisco Serrao dan Antonio de'Abreau (Pelaut Portugis) yang berlayar dari Malaka tiba di Banda Neira bulan Februari 1512, terkejut ketika melihat bangsa Moor (sebutan untuk orang Arab) sudah berdagang di Banda 100 tahun yang lalu sedangkan orang Cina sudah berdagang di Banda sejak 600 tahun sebelumnya atau pada permulaan abad X.

Kondisi ini mengisyaratkan bahwa interaksi yang terbangun antara orang Banda dengan para pedagang Cina, Arab, Melayu dilakukan dengan cara-cara yang bermartabat sehingga bisa bertahan dalam waktu yang lama, berbeda dengan bangsa Eropa seperti Portugis, Belanda, Spanyol dan Inggris yang dalam proses perdagangan sering menimbulkan masalah dan benturan dengan penduduk lokal karena keserakahan dan  menerapkan praktek monopoli.

Pada tanggal 27 Nopember-2 Desember 2013 Pulau Neira dan tiga pulau di sekitarnya menjadi ajang studi banding kegiatan "Field Study for Conservation" yang diselenggarakan oleh Balai Konservasi, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, para arkeolog menjumpai beberapa nisan kuno beraksara Tiongkok kuno beserta ornamennya tergeletak di pinggir jalan. Menurut bacaan arkeolog yang juga sinolog, Eddy Prabowo Witanto, salah satu nisan berasal dari masa kekaisaran Qianlong (1735-1796), tertulis yang meninggal bermarga Chen (Indonesia: Tan), berasal dari kota/desa Baishi, Ia meninggal di pertengahan musim semi 1775.  Tahun-tahun itu jalur Banda sudah ramai dengan para pedagang dari Tiongkok Selatan. Mereka menyusur lewat jalur Timur, yakni Kepulauan Filipina, Mindanao, Laut Sulu, lalu ke Halmahera, dan seterusnya. Selain rempah-rempah, mereka juga mencari teripang dan komoditas laut lainnya (Djulianto Susantio dalam Majalah Arkeologi Indonesia).

Salah satucNisan Kuno Beraksara Cina di Banda Neira/ Sumber : Djulianto Susantio
Salah satucNisan Kuno Beraksara Cina di Banda Neira/ Sumber : Djulianto Susantio

Jika dilihat dari tahun yang tertera dalam nisan kuno tersebut, mengindikasikan bahwa Banda Neira masih dalam kekuasaan VOC, hal ini sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut karena dengan sistim kekuasaan yang otoriter dan serakah VOC masih memberikan ruang kepada orang Cina untuk melakukan aktivitas di Banda Neira.

Seiring dengan berjalan waktu, pasca runtuhnya VOC, pemerintahan diambil alih oleh Kerajaan Belanda, interaksi sosial yang terbangun antara pedagang Cina dengan penduduk lokal Banda Neira semakin berkembang dan menjadi satu Komunitas dalam suatu pemukiman yang sampai saat ini masih ada di Kota Neira.  Komunitas Cina semakin berkembang karena terjadinya perkawinan campuran disaat itu dengan bangsa/suku lain yang bermukim maupun yang melakukan aktifitas perdagangan dan aktifitas lainnya di Banda Neira.

Dalam Regering Reglement tahun 1854, seperti wilayah-wilayah lain di Hindia Belanda, pemerintah Kolonial membagi masyarakat dalam  Tiga Strata Sosial, di antaranya :

1. Kelas Atas yang terdiri dari orang-orang Eropa (termasuk Indo Eropa)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun