Pada akhir bulan November 2024, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia melalui Kepala Badan Geologi (Dr. Ir. Muhammad Wafid A.N., M.Sc.) mengeluarkan Siaran Pers - Nomor : 102/KM.05/BGL/2024 Tentang Peningkatan Aktivitas Kegempaan Vulkanik Gunung Banda Api Maluku.
Pemantauan dilakukan secara visual dan instrumental dari Pos Pengamatan Gunung Banda Api dari tanggal 1 Agustus 2024 hingga 17 November 2024.
Dari pemantauan itu aktivitas Kegempaan yang terekam pada periode tersebut adalah 11 kali gempa Vulkanik Dangkal, 541 kali gempa Vulkanik Dalam, 46 kali gempa Tektonik Lokal, dan 250 kali gempa Tektonik Jauh (3 diantaranya merupakan Gempa Terasa, berskala I-II MMI).
Peningkatan kegempaan ini mengindikasikan adanya peningkatan tekanan dalam tubuh Gunung Banda Api akibat meningkatnya aktivitas magmatik, yang dapat memicu munculnya gempa-gempa dangkal, yang dapat menyebabkan terjadinya erupsi.
Hingga saat ini tingkat aktivitas Gunung Banda Api berada pada Level II (Waspada).
Salah satu rekomendasi yang disampaikan adalah masyarakat di sekitar gunung dan pengunjung/wisatawan tidak beraktivitas di dalam radius 1 km dari puncak gunung untuk menghindari potensi ancaman jika terjadi letusan yang dapat berupa lontaran batu pijar, aliran/guguran lava, awan panas, dan/atau gas beracun.Â
Gunung Api Banda tumbuh dari kedalaman laut yang merupakan sisa kaldera Gunung Banda Purba dan membentuk sebuah pulau vulkanik dalam gugus kepulauan Banda, yang dikenal dengan nama Pulau Gunung Api.
Gunung ini memiliki ketinggian 641 meter dari permukaan air laut atau 1.150 meter dari dasar laut.
Secara geografi terletak pada 4o 31' 30" LS dan 129 o 52' 17" BT dan berada dalam wilayah administratif Desa Nusantara, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah-Provinsi Maluku.
Dr. Rogier Diederik Marius Verbeek seorang Geolog dan Naturalis berkebangsaan Belanda pada tahun 1900 menjuluki Gunung Api Banda sebagai "Etna van Indonesia" karena memiliki ciri khas letusan-letusannya berupa semburan api susul menyusul seperti pesta kembang api di malam hari.
Gunung Api Banda ini dikenal juga dengan nama lokal "Lewerani", namun pada beberapa peta tua yang dibuat oleh Belanda, nama gunung ini ditulis dengan nama "Ganafus".
Dalam Hikayat Banda (sebuah literatur tua yang menceritakan tentang keadaan Banda di masa lalu), gunung ini disebut dengan nama "Boi Ijang".
Pemerintah melalui PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) secara resmi menyebut dengan nama "Gunung Banda Api".
Apapun namanya, yang pasti gunung ini lebih familiar dengan sebutan "Gunung Api" atau "Gunung Api Banda" atau "Gunung Banda", begitupun dalam tulisan ini Penulis menyebut dengan nama yang sama.
https://magma.esdm.go.id/Â ada 127 Gunung Berapi di Indonesia yang masih aktif, dan 69 diantaranya dipantau secara resmi aktivitasnya oleh PVMBG.
Berdasarkan data dariAda 3 Tipe gunung berapi di Indonesia yang dibagi berdasarkan catatan sejarah letusan dan aktivitas vulkaniknya yaitu Tipe A (berjumlah 76 gunung), Tipe B (30 gunung), dan Tipe C (21 gunung).
Gunung Api Banda sendiri masuk dalam kategori Tipe AÂ yang mana sejarah letusannya terdokumentasi sejak tahun 1600 dan aktivitas vulkaniknya telah menjadi perhatian utama dalam pemantauan karena potensi bahaya yang signifikan.
SEJARAH LETUSAN
Pengamatan Gunung Api Banda pertama kali dilakukan oleh bangsa Portugis pada 17 April 1586
Semenjak pertama kali menginjakkan kaki di Kepulauan Banda pada bulan Februari 1512, Portugis hanya mencatat dua periode erupsi yaitu di tahun 1586 dan 1598 -- 1602.
Selanjutnya otoritas VOC dan Pemerintah Hindia Belanda di Banda secara rutin mulai mencatat kejadian erupsi Gunung Api Banda pada tahun 1609 dan selanjutnya.
Gunung Api Banda termasuk gunung api yang paling aktif dibandingkan dengan gunung api lainnya yang terdapat dalam Busur Kepulauan Gunung api di Laut Banda.
Dalam kurun waktu 4 abad terakhir ini terjadi 24 kali letusan. Ada 4 peristiwa letusan yang menimbulkan korban jiwa, yaitu tahun 1598, 1615, 1690 dan 1988.
Ketika pendudukan VOC, gunung ini mengalami peningkatan aktivitas dan menimbulkan kerugian-kerugian yang signifikan.
Tercatat Gunung Api Banda mengalami erupsi skala VEI 3 pada tahun 1586, 1579, 1609, 1615, 1683, dan 1690. Setelah itu hanya sekali pada tahun 1988 di era kemerdekaan.
Periode letusan Gunung Api Banda ini berkisar 1-80 tahun, lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Beberapa kejadian erupsi yang terdokumentasi sebagai berikut :
Pada tahun 1568 tepatnya tanggal 7 April terjadi letusan di puncak, kemudian diperiode tahun 1598 -- 1602 terjadi letusan di puncak, jumlah korban tidak dilaporkan, hanya saja terjadi kerusakan lahan.
Di tahun 1609 Gunung Api kembali meletus, kejadian ini terjadi di tahun yang sama dengan awal Perang Banda (perang antara rakyat Banda dengan VOC) yang mengakibatkan tewasnya pimpinan VOC di Banda, yaitu Admiraal Pietersoon Verhouven dan puluhan serdadunya.
Letusan terjadi lagi pada bulan Maret 1615 setelah masa tenang selama 6 tahun. Pada waktu itu Gubernur Jenderal VOC II - Gerard Reynst sedang dalam pelayaran dari Ambon ke Banda Neira untuk sebuah ekspedisi dan tiba pada tanggal 16 Maret.
Letusan terjadi sebelum tanggal 16 Maret, selain merusak lingkungan terdapat juga korban jiwa, namun tidak tercatat berapa jumlahnya.
Setelah 11 tahun pasca kejadian Banda Moord (Genosida Rakyat Banda) akibat peperangan dengan VOC, tepatnya di bulan Desember tahun 1632 Gunung Api kembali meletus, terjadi letusan di kawah puncak didahului oleh gempa bumi yang terasa oleh penduduk sejak bulan April hingga Juli.
Pada periode tahun 1690 - 1696 terjadi letusan-letusan yang berkepanjangan selama 6 tahun. Letusan yang terjadi tahun 1696 lebih dahsyat dari tahun-tahun sebelumnya, dalam tahun ini ada 2 orang yang tewas saat menyelidiki kondisi kawah gunung untuk mencari informasi.
Selanjutnya di tahun 1712 (bulan Mei-Desember), tahun 1723, dan tahun 1749 terjadi letusan-letusan di puncak gunung. Di tahun 1765 - 1766, tercatat pada tanggal 19 - 29 1765 hingga Oktober 1766 terjadi letusan di puncak. Letusan-letusan kecil di puncak gunung juga terjadi di tahun 1773, tahun 1774, dan tahun 1778.
Di awal Abad ke-19, tepatnya di tahun 1816 , pada tanggal 11 - 14 Oktober dan bulan Desember terjadi gempa bumi kuat di Kepulauan Banda dan letusan Gunung Api yang mengakibatkan kerusakan lahan dan infrastruktur.
Empat tahun berselang yaitu pada tanggal 11 Juni hingga Agustus 1820 terjadi letusan yang cukup kuat. Letusan mulai berlangsung pukul 11.30 waktu setempat, terbentuk tiang asap, penduduk di Pulau Neira mulai mengungsi ke Pulau Banda Besar.
Pukul 14 waktu setempat tampak lontaran bom vulkanik, terdengar ledakan-ledakan kuat, air-shock yang menggetarkan rumah-rumah, dan kapal, pasir vulkanik dalam jumlah besar mengendap di Pulau Lonthor (Pulau Banda Besar). Separuh kerucut dari puncak gunung tertutup bara api, terbentuk kawah yang baru di lereng barat laut dan Selatan.
Pada tanggal 17 Juni terdapat tenggang waktu di antara letusan-letusan, terjadi leleran lava ke arah barat laut (Tanjung Kapal Pica) yang mencapai laut. Mulai 18 Juni tenggang waktunya bertambah panjang, waktu letusan berakhir pada 8 Agustus. Tidak ada korban jiwa kejadian ini.
Letusan di tahun 1820 ini dilaporkan pertama kali oleh A.W.P. Weitzel pada Juli 1820 dalam Batavissche Courant. Pada April 1824 dia melaporkan lagi letusan besar dari Gunung Api Banda yang mengeluarkan awan panas dan membakar seluruh tubuhnya sehingga memperlihatkan pemandangan yang mengerikan tetapi tidak ada korban jiwa.
Selanjutnya J. TH. Bik bersama C.G.C. Reinwardt pada Juni 1821 melakukan pemeriksaan setelah letusan 1820 dan menemukan adanya kawah baru, kemudian mengukur ketinggian puncak Gunung Banda Api setinggi 1.646 kaki dari permukaan laut.
Bulan November tahun 1890 dilaporkan terjadi letusan di kawah puncak, begitupun juga pada bulan Mei tahun 1901. Untuk erupsi di tahun 1908 masih diragukan, apakah masuk dalam kategori erupsi ataukah bukan.
LETUSAN 9 MEI 1988
Sebelum terjadi letusan tahun 1988, di Pulau Gunung Api terdapat 2 desa, yaitu Desa Gunung Api Utara dan Desa Gunung Api Selatan. Jumlah penduduk yang bermukim sebanyak 1.856 jiwa, dengan sebaran 1.048 jiwa di Desa Gunung Api Selatan dan 808 jiwa di Desa Gunung Api Utara.
Mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan, petani, dan pelaut. Di tahun yang sama pula tercatat jumlah penduduk di Pulau Neira 5.176 jiwa dan di Desa Lonthor (Pulau Banda Besar) berjumlah 2.646 jiwa.
Kejadian letusan ini menimbulkan trauma tersendiri bagi masyarakat Banda yang mengalaminya.
Saya (Penulis) saat kejadian itu masih berusia 8 tahun dan duduk di bangku kelas 2 SD turut merasakan dampaknya karena kami sekeluarga harus mengungsi ke Pulau Ambon dan melanjutkan sekolah sampai keadaan benar-benar aman barulah kami kembali ke Banda Neira.
Dampak letusan ini cukup signifikan, di mana 2 desa yang ada di Pulau Gunung Api habis tersapu leleran lava, ratusan rumah hancur dan musnah, lahan-lahan produktif milik warga dan ribuan pohon pala dan kenari mati, korban harta benda, serta 3 orang tewas.
Pada tanggal 9 - 31 Mei, terjadi erupsi dari 6 lubang letusan. Masyarakat yang menghuni Pulau Gunung Api, Pulau Neira, dan sebagian dari Pulau Banda Besar barat dan utara harus mengungsi ke Pulau Banda Besar bagian timur dan selatan, juga ke Pulau Hatta.
Beberapa hari kemudian 2 kapal milik TNI AL yaitu KRI Teluk Tomini dan KRI Teluk Langsa tiba di Banda dan mengangkut warga untuk diungsikan ke Pulau Ambon.Â
Setelah keadaan muai aman, para pengungsi dikembalikan lagi ke Banda, sebagian besar penduduk Pulau Gunung Api menyetujui tawaran pemerintah untuk ditransmigrasikan ke Pulau Seram (saat ini pemukiman tersebut diberi nama dengan Desa banda Baru), sebagian lagi mendapat lahan dari pemerintah dan dibuatkan pemukiman baru di Pulau Neira, yang saat ini kita kenal dengan nama Desa Tanah Rata, ada juga sebagian kecil warga yang pindah secara mandiri untuk membangun kehidupan baru di tempat lain seperti di pulau Papua, pulau Seram, pulau Ambon, dan lain-lain.
Gejala Pra-Erupsi
Pada 4 -5 Mei terjadi gempa terasa yang dapat dirasakan sampai ke Kota Neira, dengan magnituda 2,8 dan 4 SR.
Pada 5 Mei terekam peningkatan gempa vulkanik dalam (32 kejadian) yang sebelumnya hanya terekam 1-2 kejadian perhari. Gempa bumi terasa oleh penduduk di pulau Gunung Api dan di P. Neira.
Pada 7 Mei sejak pukul 06:16 kerapatan gempa terasa bertambah persatuan waktu dan menjadi lebih rapat, kurang dari 5 menit.
Secara Visual terlihat asap berwarna putih dari kawah di puncak (kawah Puncak), hembusannya menguat bersama waktu. Kemudian asap putih muncul di kawah lereng barat laut (Kawah Utara).
Asap sejenis dilaporkan penduduk dari lereng sebelah selatan menenggara (Kawah Selatan) asap putih tersebut menunjukkan suatu letusan uap yang dikenal sebagai letusan freatik.
Pada 8 Mei gempa tersebut semakin rapat dan menjadi gempa beruntun (swarm).
Pada 9 Mei mulai pukul 01:00 mulai terekam gempa yang menerus (tremor vulkanik) sampai erupsi berlangsung.
Erupsi Utama
Gunung Api Banda meletus pada hari Senin 9 Mei 1988 pukul 06:30. Peristiwa yang langka terjadi ialah erupsi berlangsung dari 6 lubang letusan selama kurang dari 12 jam pada satu kerucut Gunung Api.
1. Lubang letusan pertama di lereng utara, tinggi abu lebih kurang 200 m (jam 6.30 WIT)
2. Lubang letusan kedua di lereng selatan, tinggi abu lebih kurang 150 m
3. Lubang letusan ketiga di lereng utara, tinggi abu lebih kurang 350 m
4. Lubang letusan keempat di tepi pantai selatan
5. Lubang letusan kelima di kawah puncak
6. Lubang letusan keenam di lereng utara (terbentuk siang hari)
Lubang-lubang letusan tersebut berderet membentuk busur dari arah utara - selatan. Setelah peristiwa itu, hanya 3 lubang letusan yang aktif, yaitu Kawah Puncak, Kawah Utara dan Kawah Selatan. Tinggi tiang asap letusan dari Kawah Puncak mencapai 3,5 km. Asap bergumpal-gumpal, berwarna hitam membangun bentuk cendawan.
Bom vulkanik jatuh di sekitar kawah, sedangkan abu dan lapili menyelimuti 2/3 bagian barat pulau Gunung Api. Ketebalan rata-rata 40 cm di perkampungan sepanjang pantai barat, di selatan dan utara 20 cm. Abu setebal 2 cm mengendap di Pulau Ay yang terletak 12 km sebelah barat pulau tersebut. Kota Banda Neira bebas dari endapan abu.
Selain gempa vulkanik, terjadi pula awan panas, kemungkinan terjadi pada letusan kedua dengan arah ke selatan menenggara.
Lava meleleh dari 3 lubang letusan dan satu keluar dari rekahan sebelah timur lubang keempat. Lava yang ke utara melanda Kampung Kalobi dan Kampung Batuangus.
Kemungkinan lain ialah lewat rekahan yang terbentuk pada tahun 1978. Volum keempat leleran lava itu lebih kurang 6 juta m3.
Purna Erupsi Utama
Asap letusan masih dihembuskan dari ke tiga kawah setelah 9 Mei, namun yang terkuat keluar melalui Kawah Puncak. Asap letusan dari Kawah Selatan berhenti pada 13 Mei kemudian diikuti oleh Kawah Utara pada 16 Mei.
Menjelang 18 Mei letusan vulkanian Kawah Puncak berubah menjadi jenis letusan stromboli. Sejak 18 Mei hanya tampak kepulan asap yang sangat lemah.
Setelah 36 tahun berlalu dari letusan terakhir, kehidupan di Kepulauan Banda termasuk di Pulau Gunung Api sudah banyak berubah mulai dari jumlah penduduk, tatanan pemerintahan, keadaan vegetasi, keberagaman fauna, dan lain-lain.
Seiring dengan perjalanan waktu, kemajuan teknologi dan informasi juga berdampak pada tingkat literasi masyarakat akan potensi-potensi kebencanaan juga tindakan-tindakan mitigasi yang harus dilakukan.
Saat ini Pulau Gunung Api sudah kembali dihuni oleh masyarakat terutama di pesisir Timur yang tidak terdampak langsung saat letusan 1988.
Secara administratif, di Pulau Gunung Api ada Tiga RT (RT 04, RT 05, dan RT 06) yang masuk dalam pemerintahan Desa Nusantara, karena 2 desa di Pulau Gunung Api yaitu Desa Gunung Api Utara dan Desa Gunung Api Selatan sudah dihapus dari register pemerintahan.
Tercatat ada 542 jiwa yang tersebar di Tiga RT tersebut, dengan komposisi sebagai berikut : RT 04 ada 169 jiwa, RT 05 terdapat 118 jiwa, dan RT 05 ada 255 jiwa.
Selain rumah penduduk yang permanen milik warga terdapat pula fasilitas umum seperti masjid dan sekolah SD, serta beberapa usaha bisnis yang dibangun di Pulau Gunung Api yaitu : kios kecil, villa/penginapan, dan coldstorage.
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Maluku melalui surat nomor 446-1/305 tanggal 19 November 1988 memberikan rekomendasi agar kawasan Pulau Gunung Api Banda dijadikan kawasan konservasi dengan fungsi wisata.
Berdasarkan rekomendasi tersebut Pulau Gunung Api Banda ditunjuk sebagai kawasan taman wisata alam (TWA) melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 1135/Kpts-II/1992 tanggal 28 Desember 1992 seluas 671,08 ha. Tanggung jawab pengawasan Kawasan TWA ini berada di bawah Resort KSDA (Konservasi Sumber Daya Alam) - Banda.
Dalam Dokumen Rencana Penanggulangan Bencana Daerah (RPBD) baik Kabupaten Maluku Tengah maupun Provinsi Maluku memasukkan Pulau Gunung Api dan pesisir barat Pulau Neira sebagai Zona (Merah dan Kuning) untuk Risiko Bencana Geologi (Letusan gunung berapi).
Oleh karenanya pemerintah daerah melalui BPBD rutin memberikan edukasi kepada masyarakat Banda terkait bahaya, dampak, maupun proses mitigasi atas bencana letusan gunung berapi.Â
Wilayah Kepulauan Banda memiliki multi risiko bencana, baik itu bencana geologi seperti gempa bumi, letusan gunung api, tsunami maupun bencana hidrometeorologi seperti gelombang tinggi, angin kencang, badai/cuaca ekstrim dan lain sebagainya.
Oleh karenanya simulasi untuk menguji skenario-skenario mitigasi sangatlah dibutuhkan dan bisa dilakukan secara regular.
Sosialisasi dan pembuatan jalur-jalur evakuasi bencana, persiapan logistik serta tindakan-tindakan preventif lainnya perlu lakukan dan harus sampai ke seluruh lapisan masyarakat.
Sinergitas antara pemerintah, masyarakat, pihak-pihak yang relevan lainnya sangat dibutuhkan.
Sebagai manusia biasa tentunya kita selalu berharap yang terbaik untuk dijauhkan dan dilindungi dari segala macam bencana dan marabahaya, namun perlu diketahui bahwa bencana bisa datang kapan saja.
Sebagai pengingat diri, marilah senantiasa kita patuh terhadap himbauan-himbauan yang dikeluarkan oleh pemerintah, meningkatkan pengetahuan tentang kebencanaan, jangan terprovokasi oleh informasi hoax, serta bijaklah dalam menerima dan menyampaikan informasi, serta satu hal yang paling penting yaitu marilah kita senantiasa bersujud dan mengangkat tangan untuk berdoa memohon perlindungan dari Sang Pemilik Hidup - Allah SWT.
Oleh : Isra Amin Ali
(Pemerhati Sejarah dan Budaya Banda)
Referensi :Â
- De Neve. G.A., 1985. Banda and Krakatau A Comparison of two calderas Bul Jurusan Geologi (abstract) v.14. pp.15
- Verbeek, R.D.M., 1900. Geologische Beschrijving van de Banda Eilanden, Mijnw. Nederl. Ind. Jaarb, v. 29, p. 1-29.
- van Bemmelen. R. W., 1949. The Geology of Indonesia v. I.A. Government Printing Office.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H