Mohon tunggu...
Isra Amin Ali
Isra Amin Ali Mohon Tunggu... Wiraswasta - KTP

"Dari BANDA NEIRA Menjadi INDONESIA"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jejak Sejarah Bangsa Cina di Banda Neira

9 November 2019   15:14 Diperbarui: 9 November 2019   15:32 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Klenteng Tua Sun Tien Kong yang sudah berusia lebih dari 400 tahun. Foto : Lookman Alibaba

Kontak dan komunikasi Bangsa Cina dengan penduduk di Kepulauan Maluku sudah terjadi sejak berabad-abad yang lalu melalui perdagangan pala dan cengkih dengan cara yang damai. Menurut A.B.Lapian (1965) dalam artikelnya "Beberapa Jalan Dagang ke Maluku Sebelum Abad XVI" menyebutkan bahwa data dari dinasti Tang di Cina memberi petunjuk bahwa istilah Maluku telah dikenal oleh orang-orang Cina sekurang-kurangnya antara abad ketujuh dan kesembilan. 

Ini karena ada perdagangan cengkih antara Cina dengan Ternate dan beberapa kerajaan lainnya disana. Hal ini sejalan dengan hasil Studi Arkeologi di Banda Neira tahun 1997 yang dilakukan oleh Peter Lape, diketahui bahwa kontak antara Banda Neira dengan Cina telah terjadi sejak era neolitikum, ini juga karena adanya perdagangan Pala antara Banda Neira dengan Cina.

Pada saat Fransisco Serrao dan Antonio de'Abreau (Pelaut Portugis) yang berlayar dari Malaka tiba di Banda Neira bulan Februari 1512, terkejut ketika melihat bangsa Moor (sebutan untuk orang Arab) sudah berdagang di Banda 100 tahun yang lalu sedangkan orang Cina sudah berdagang di Banda sejak 600 tahun sebelumnya atau pada permulaan abad X.

Ini menandakan bahwa interaksi yang terbangun antara orang Banda dengan para pedagang Cina, Arab, Melayu adalah dengan cara yang bermartabat sehingga bisa bertahan dalam waktu yang lama, berbeda dengan bangsa Eropa seperti Portugis, Belanda, Spanyol dan Inggris yang dalam proses perdagangan sering menimbulkan masalah dan benturan dengan penduduk lokal.

Pada tanggal 27 Nopember-2 Desember 2013 Pulau Neira dan tiga pulau di sekitarnya menjadi ajang studi banding kegiatan "Field Study for Conservation" yang diselenggarakan oleh Balai Konservasi, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, para arkeolog menjumpai beberapa nisan kuno beraksara Tiongkok kuno beserta ornamennya tergeletak di pinggir jalan. Menurut bacaan arkeolog yang juga sinolog, Eddy Prabowo Witanto, salah satu nisan berasal dari masa kekaisaran Qianlong (1735-1796), tertulis yang meninggal bermarga Chen (Indonesia: Tan), berasal dari kota/desa Baishi, Ia meninggal di pertengahan musim semi 1775 (kompasiana.com/djuliantosusantio).

Jika dilihat dari tahun tersebut mengindikasikan bahwa Banda Neira masih dalam kekuasaan VOC, hal ini sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut karena dengan sistim kekuasaan yang otoriter dan serakah VOC masih memberikan ruang kepada orang Cina untuk melakukan aktivitas di Banda Neira.

Seiring dengan berjalannya waktu, pasca runtuhnya VOC dan Pemerintahan diambil alih oleh Kerajaan Belanda, Interaksi sosial yang terbangun antara pedagang Cina dengan penduduk lokal Banda Neira semakin berkembang dan menjadi satu Komunitas dalam suatu pemukiman yang sampai saat ini masih ada di Kota Neira. Komunitas Cina semakin berkembang karena terjadinya perkawinan campuran disaat itu dengan bangsa/suku lain yang bermukim maupun yang melakukan aktifitas perdagangan dan aktifitas lainnya di Banda Neira. 

Di era itu juga, dalam tata kota Neira, belanda membagi 3 area besar yaitu "Dutch Colonial Town" (pusat pemerintahan dan pemukiman pejabat serta warga berkebangsaan Belanda -- Kawasan ini terletak di Desa Dwiwarna), "Chinesse Quarter" (kawasan Pecinan/ pemukiman warga keturunan Cina -- Kawasan ini terletak di Desa Nusantara) dan Arabian Quarter (pemukiman warga keturunan Arab -- Kawasan ini terletak di Desa Kampung Baru) selain itu Belanda mengangkat pemimpin di masing-masing komunitas Cina dan Arab yang dikenal dengan istilah "Kapitein der Arabieren" dan "Kapitein Cina".

Proses difusi, asimilasi dan akulturasi yang terjadi akibat adanya Interaksi dengan Bangsa Cina yang sudah berlangsung ratusan tahun sampai hari ini sangat memberikan andil dalam keunikan dan keberagaman budaya dan pembentukan generasi baru Banda Neira. Banyak peninggalan fisik maupun non fisik yang sampai hari ini masih terlihat di antaranya:

  • Kawasan Pecinan (Kampung Cina) -- Desa Nusantara
  • Klenteng Tua Sun Tien Kong di Kampung Cina -- Desa Nusantara yang berusia kurang lebih 400 tahun
  • Simbol Naga pada Bendera dan Hiasan di Kora-Kora (Perahu perang) Namasawar, Pulau Ay, dan Kampung Ratu
  • Rumah Kapitein Cina di Desa Nusantara
  • Tarian Topeng dan Macan
  • Kompleks Pekuburan Cina di Desa Merdeka
  • Porselin/ Keramik dari zaman Dinasti Ming, Koin beraksara Cina, dan atribut/peralatan yang bernuansa Cina, dan lain-lain.

Saat ini jumlah warga keturunan Cina yang bermukim di Banda Neira semakin berkurang < 20 Kepala Keluarga dengan sumber mata pencaharian sebagai Pedagang yang sudah menjadi keahlian dan warisan turun temurun dari para leluhur. 

Salah satu penyebab berkurangnya jumlah warga keturunan Cina yang bermukim di Banda Neira yaitu karena melanjutkan sekolah, menikah dan bermukim diluar, mengembangkan usaha perdagangan di luar Banda.

Salah satu warga Banda keturunan Cina. Foto: Lookman Alibaba
Salah satu warga Banda keturunan Cina. Foto: Lookman Alibaba
Salah satu hal bijak yang penting dan perlu diingat oleh Kita yang mengaku sebagai orang Banda dengan berbagai alasan baik itu karena lahir di Banda, bermukim di Banda, menikah dengan orang Banda, memiliki leluhur dari Banda dan memberi sumbangsih untuk kemajuan Banda Neira dari berbagai aspek adalah "ORANG BANDA", Tidak ada istilah orang Cina-Banda, orang Arab-Banda, orang Melayu-Banda, orang Buton-Banda, orang Jawa-Banda, orang Kei-Banda dan lain-lain.

Teringat akan satu nasehat bijak:

"Pelangi terbentuk dari kombinasi matahari dan hujan, matahari dan hujan itu berbeda unsur, tapi kenapa bisa terbentuk pelangi? ....... Karena pada hakikatnya perbedaanlah yang membuat semua itu indah, perbedaanlah yang membuat Pelangi Indah, coba bayangkan apabila pelangi hanya satu warna saja, apakah indah? tentu tidak. Bukankah pelangi itu indah dipandang walaupun berbeda-beda warna saat bersanding"

Wallahualam.

oleh: Isra Amin Ali
Pemerhati Sejarah dan Sosial Budaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun