Ketidakcukupan pendanaan
WHO telah melakukan penelitian pada kurun 1980an dan 1990an di beberapa negara dengan latar belakang sosial budaya yang berbeda (Tunisia, Sri Lanka, Ekuador, Maroko, Nepal, Zambia, Turki). Walaupun karakteristik populasi antar negara dan bahkan di dalam setiap negara sangat bervariasi, penelitian tersebut menunjukkan bahwa tingkat kejadian Rabies di negara-negara Asia dan Afrika sangat tinggi dan masalahnya menjadi lebih sulit karena kurangnya infrastruktur dan biaya untuk pengendalian rabies.
USULAN PENGENDALIAN
WHO Expert Consultation on Rabies (Geneva, 2005) merekomendasikan upaya pengendalian dan pemberantasan rabies, yaitu: Surveilans Epidemiologi, Gerakan vaksinasi (parenteral) massal pada anjing dan vaksinasi oral pada anjing sebagai pelengkap, manajemen populasi anjing serta kerjasama nasional dan internasional.
Manajemen populasi anjing (humane dog population control)
Manajemen populasi anjing merupakan konsep yang agak baru melibatkan beberapa pendekatan meliputi pembatasan lalu lintas, eliminasi, pengendalian reproduksi, serta pengendalian habitat. Pendekatan ini berpeluang untuk dikembangkan di Indonesia dengan mengintegrasikan kegiatan yang telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat.
Pengendalian reproduksi jauh lebih kompleks dan hanya diterapkan di sejumlah kecil negara berkembang seperti India dan Thailand. Pengendalian reproduksi telah menjadi bagian integral dari pengendalian rabies di Thailand di mana eliminasi anjing tidak dapat diterima oleh masyarakat dan pemerintah negara itu karena alas sosial-budaya setempat. Lebih dari 660.000 induk anjing mendapatkan injeksi hormonal dan 55.000 disterilisasi dengan pembedahan pada tahun 1996. Namun demikian program tersebut tidak dilakukan dalam waktu lama sehingga sulit untuk diukur efektifitasnya (Meslin, 2000). Pengendalian reproduksi telah diterapkan di Indonesia secara sukarela dalam pelayanan kedokteran hewan mandiri. Tidak ada laporan resmi tentang jumlah anjing yang disterilisasi, kemungkinan dalam jumlah yang sangat kecil. Pengendalian reproduksi pada populasi secara lebih terstruktur telah pula dilakukan oleh Yayasan Bali Swarga dengan pembiayaan tergantung pada donasi penyayang binatang terutama dari organisasi serupa yang berbasis di luar negeri. Walau bagaimanapun juga pengendalian reproduksi secara teori dapat diterapkan, oleh karena itu perlu terus dikembangkan di Indonesia.
Untuk negara berkembang seperti di Indonesia, culling/peniadaan anjing liar (dan diliarkan) masih tetap dibutuhkan mengingat pengendalian reproduksi memerlukan biaya cukup mahal. Namun demikian eliminasi harus dilakukan dengan metode yang memperhatikan aspek kesejahteraan hewan. Di USA M44 (sodium cyanide ejector) adalah satu-satunya kemikalia untuk etanasia vector mamalia yang saat ini diizinkan.
Gerakan Vaksinasi Masal, Vaksin peroral sebagai pelengkap
Kompleksitas rabies di Eropa disebabkan oleh keberadaan rabies di hewan liar. Namun demikian situasi Rabies di Eropa mengalami kemajuan berkat penggunaan oral vaksin. Walaupun rabies di Indonesia melibatkan hewan domestik terutama anjing, namun proporsi anjing liar dan diliarkan sangat besar. Sementara itu, penurunan populasi anjing mendapatkan penolakan dari masyarakat karena anjing memiliki nilai social budaya dan ekonomi bagi masyarakat. Pada daerah-daerah demikian, program vaksinasi harus menjadi perhatian utama. Rendahnya cakupan vaksinasi karena kesulitan menangkap anjing liar dan diliarkan dapat di antisipasi dengan metode vaksinasi oral.
Peraturan perundangan
Diperlukan perangkat perundangan untuk menjamin kepatuhan masyarakat terhadap strategi dan kebijakan yang digariskan oleh Pemerintah. Dalam konteks otonomi daerah, pemerintah kabupaten/ kota perlu didorong untuk menerbitkan Peraturan Daerah tentang penertiban pemeliharaan HPR, registrasi anjing serta kewajiban – kewajiban pemilik terutama berkaitan dengan pencegahan dan pengendalian rabies.
Kerjasama Lintas Sektoral