Mohon tunggu...
isokeu
isokeu Mohon Tunggu... Dosen - Penikmat kesunyian alam

Bandung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kyai Gontor, Guru Para Profesor (Mengenang Pak Zar, Bagian 1)

2 April 2015   11:33 Diperbarui: 4 Agustus 2018   08:18 3483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tulisan ini merupakan dedikasi dan penghormatan untuk (alm) K.H. Imam Zarkasyi, ulama besar dan salah seorang Trimurti pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) Ponorogo Jawa Timur. Semoga Allah senantiasa merahmati dan memberkahinya dengan surga.

Prolog

K.H. Imam Zarkasyi, lahir di Desa Gontor Ponorogo Jawa Timur, pada 21 Maret 1910 dan wafat pada 30 April 1985 (usia 75 tahun). Ayah dan ibunya berdarah ningrat Jawa Ulama. Leluhurnya adalah Kyai Ageng Mohammad Besari (w.1760), pendiri Pondok Tegalsari yang sangat masyhur di abad ke-18-19. Dalam dirinya pun mengalir darah Sultan Kasepuhan Cirebon dari nasab sang ayah.

Namun kerendahan hati dan rasa tawadhu’, begitu tampak dalam pribadi dan kesehariannya. Ulama besar ini enggan memberi embel-embel “Raden”, “Ustad” atau “Kyai” pada namanya. Sebutannya sederhana saja, “Pak Zar”. Pakaian kebesarannya cukup sarung, jas dan peci hitam, tanpa jubah dan sorban yang melilit-lilit kepala. Bahkan seringkali berkaos oblong, berbekal paku dan palu, Pak Zar berkeliling memperbaiki sendiri barang-barang Pondok yang rusak, tanpa bantuan tukang. Bagi Pak Zar, sederhana bukan berarti miskin. Sebait kata-kata ini akan selalu dikenang para santri dan alumninya: “Jika santri-santriku melihat bahwa apa yang kami makan, kami pakai, dan kami tempati lebih enak daripada yang santri-santriku rasakan, silakan protes!”. Adakah kita saksikan pada para pemimpin kita hari ini?...

Pesantren Gontor adalah tempat untuk menyemai, memupuk serta menanam rasa keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwah, dan kebebasan. Menurut Pak Zar, sebuah institusi pendidikan yang baik dan konsisten, pasti akan menghasilkan sesuatu yang baik dan konsisten pula dan itu harus dimulai dari niat yang lurus. Inilah doa beliau saat pertama kali mendirikan Pondok Modern Gontor: “Ya Allah, kalau sekiranya perguruan yang saya pimpin ini tak akan memberikan faedah-faedah kepada masyarakat, lenyapkanlah ia segera dari pandangan saya”.

Niat dan doa kyai yang ikhlas ini, ternyata langsung dijawab kebaikan oleh Allah. Pondok Modern Darussalam Gontor, bukannya lenyap dari muka bumi, tapi justru hidup hingga kini. Gontor bukan hanya hidup sendiri, ia bahkan mampu melahirkan "anak-anaknya" di seantero nusantara bahkan sampai ke mancanegara. Ratusan pesantren cabang dan alumni Gontor dapat kita saksikan sekarang, tentu dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Subhanallah.

Menurut Pak Zar, apalah artinya sebuah iklan, brosur, dan spanduk promosi yang bombastis, bahwa sekolahnya atau pesantrennya unggul dalam A, B, C, tapi pada kenyataannya jauh dari yang diiklankan. Baginya mudah saja, siapa yang percaya dan taat kepada Pondok, silakan datang dan belajar di Gontor. Tapi siapa yang tidak percaya dan tidak taat, silakan pergi. Gontor membuktikan konsistensinya itu saat “mengusir” 1.500 orang santri pada “peristiwa hitam” 19 Maret 1967 (Persemar) dan hanya 400an santri yang dipanggil kembali untuk belajar. Apa kata pak Zar? “Sekalipun tinggal seorang murid, Gontor akan saya teruskan. Kalaupun tidak ada yang mau belajar, saya akan mengajar manusia dengan pena”. Setiap kali akan menandatangani surat pengusiran seorang santri, air mata Pak Zar menetes, teringat anak itu dan orang tuanya, dengan lirih beliau berkata: “Anak itu harus saya usir, mudah-mudahan dia menjadi lebih baik, setelah keluar dari Gontor”.

Sejak program KMI Gontor dibentuk di tahun 1936, Pak Zar dengan penuh kasih sayang mendidik langsung para santri, siang dan malam. Baginya, pendidikan lebih utama dari pengajaran. Sejak didirikan sampai sekarang, Gontor merumuskan kurikulumnya sendiri, mandiri, dan yang pasti tidak gonta-ganti. Tak ada campur tangan dari para menteri yang silih datang berganti dengan kurikulumnya sendiri-sendiri. Tak pernah ada kata intervensi, sekalipun sang menteri adalah alumni Gontor sendiri.Gontor tak pernah mengenal UN (Ujian Nasional)! Ujian untuk para santrinya selalu dilaksanakan dalam bentuk ujian lisan dan essai, tak pernah ada soal pilihan ganda di kamus Gontor. Kata pak Zar, “Ujian itu untuk belajar, bukan belajar untuk ujian”.

(Sekali-kali, berkunjunglah ke Gontor saat ujian semester berlangsung. Lihatlah aura belajar dan suasana ujian yang sangat menakjubkan!).

Puluhan tahun ijazah Gontor tak diakui di dalam negeri, lulusannya ditolak sana-sini saat akan mendaftar Perguruan Tinggi Negeri. Namun anehnya, sejak dulu berbagai pemerintah luar negeri memberi apresiasi pada alumni Gontor. Mesir (1957) Arab Saudi (1967) dan Pakistan (1991) mengakui ijazah alumni Gontor sejak lama. Bagaimana dengan pemerintah Indonesia? Negeri ini baru mengakui ijazah Gontor di tahun 2000, setelah 75 tahun!. “Kamu jangan minder, takut, atau kecil hati. Sampaikan dengan jujur dan ikhlas, orang pun akan menerima dengan baik”. Begitu nasehat Pak Zar.

Dulu Santri Gontor, Kini Profesor Doktor

Mungkin bagi seorang kyai, sudah biasa bila dikemudian hari mampu melahirkan kyai-kyai dan pesantren alumni. Pak Zar pun telah membuktikan itu. 16 Pondok Gontor inti, 350 pesantren alumni, ditambah ratusan pondok telah didirikan mandiri oleh para alumninya. Namun beliau mungkin takkan pernah mengira, para santri kecil yang dulu beliau ajar, ratusan di antaranya telah bergelar doktor, dan puluhan diantaranya kini telah menjadi guru besar. Bahkan, satu dari lima putranya yang bergelar doktor pun telah menjadi guru besar.

(Bagi sekolah-sekolah yang berlabel "Negeri" mungkin sudah biasa, jika ada alumninya yang dikemudian hari menjadi profesor. Wajar, karena ijazah mereka statusnya diakui negara, dana operasionalnya disubsidi, fasilitas dan koneksi tersedia berlimpah. Tapi, itu semua tidak dimiliki Gontor).

Berikut sebagian santri alumni KMI Gontor tahun '60, '70 dan '80, hasil didikan K.H. Imam Zarkasyi yang telah bergelar profesor:

  1. KMI ?, Prof. A.R. Partosentono, UIN Jakarta
  2. KMI ?, Prof. Muchoyyar, UIN Semarang
  3. KMI 1959, Prof. Ridho Masduki, UIN Jakarta
  4. KMI 1960, Prof. Nurcholish Madjid, UIN Jakarta
  5. KMI 1964, Prof. Muhtarom HM, UIN Semarang 
  6. KMI 1967, Prof. Iik Arifin Mansur, Universiti Brunei
  7. KMI 1967, Prof. Roem Rowi, UIN Surabaya
  8. KMI 1969, Prof. Abi Kusno, UIN Lampung
  9. KMI 1969, Prof. Amal Fathullah Zarkasyi, UNIDA Gontor
  10. KMI 1970, Prof. Abd. Salam Arief, UIN Yogyakarta
  11. KMI 1971, Prof. Siswanto Masruri, UIN Yogyakartta
  12. KMI 1972, Prof. Aflatun Mukhtar, UIN Palembang
  13. KMI 1972, Prof. Ali Mufrodi, UIN Surabaya
  14. KMI 1972, Prof. Amin Abdullah, UIN Yogyakarta
  15. KMI 1972, Prof. Azhar Arsyad, UIN Makassar
  16. KMI 1972, Prof. Juhaya S. Praja, UIN Bandung
  17. KMI 1972, Prof. I Nurol Aen, UIN Bandung
  18. KMI 1972, Prof. Yusuf Suyono, UIN Semarang
  19. KMI 1972, Prof. Hamdani Anwar, UIN Jakarta
  20. KMI 1973, Prof. Fauzan Saleh, STAIN Kediri
  21. KMI 1973, Prof. Ramly Hutabarat, UI Depok
  22. KMI 1973, Prof. Kautsar Azhari Noer, UIN Jakarta
  23. KMI 1973, Prof. Fauzan Naif, UIN Yogyakarta
  24. KMI 1973, Prof. Armanu Thoyib, UB Malang
  25. KMI 1973, Prof. Moch. Tolchah, UIN Surabaya
  26. KMI 1974, Prof. A. Saiful Anam, UIN Surabaya
  27. KMI 1974, Prof. Chairil Anwar, Univ. Tadulako
  28. KMI 1974, Prof. Sugeng Sugiyono, UIN Yogyakarta
  29. KMI 1974, Prof. Achmad Asrori, UIN Lampung
  30. KMI 1975, Prof. A. Satori Ismail, UIN Jakarta
  31. KMI 1975, Prof. Din Syamsuddin, UIN Jakarta
  32. KMI 1975, Prof. Herman Hidayat, LIPI
  33. KMI 1976, Prof. Badri Yatim, UIN Jakarta
  34. KMI 1976, Prof. Zainul Arifin, UIN Surabaya
  35. KMI 1976, Prof. Yusuf Suyono, UIN Semarang
  36. KMI 1976, Prof. Bermawy Munthe, UIN Yogyakarta
  37. KMI 1976, Prof. Sulthan Syahril, UIN Lampung
  38. KMI 1977, Prof. Dedi Djubaedi, UIN Jakarta
  39. KMI 1978, Prof. M. Chirzin, UIN Yogyakarta
  40. KMI 1979, Prof. Alwan Khoiri, UIN Yogyakarta
  41. KMI 1979, Prof. M. Ghazali, UIN Banjarmasin
  42. KMI 1979, Prof. A. Effendi, UM
  43. KMI 1980, Prof. Amsal Bakhtiar, UIN Jakarta
  44. KMI 1981, Prof. Idzam Fautanu, UIN Jakarta
  45. KMI 1981, Prof. Azharuddin Sahil, UUM Malaysia
  46. KMI 1981, Prof. Suparman Syukur, UIN Semarang
  47. KMI 1981, Peof. Kasjim Salenda, UIN Makassar
  48. KMI 1982, Prof. M. Hawin, UGM Yogyakarta
  49. KMI 1985, Prof. Ris'an Rusli, UIN Palembang
  50. KMI 1985, Prof. Syaripudin Basyar, UIN Lampung
  51. KMI 1986, Prof. Amroeni Drajat, IAIN Sumut
  52. KMI 1987, Prof. Susiknan Azhari, UIN Yogyakarta
  53. KMI 1989, Prof. A. Khairuddin, IAIN Banjarmasin

...dan ratusan alumni 90-an KMI Gontor yang kini telah bergelar doktor, hanya tinggal menunggu waktu mencapai gelar profesor. Insya Allah. 

Namun saat ditanya oleh seorang tokoh, tentang siapa orang besar Gontor itu? Jawab Pak Zar: "Orang besar adalah orang yang mengajarkan agama di desa terpencil di surau kecil dibalik sebuah bukit, itu lebih besar dari pada seorang pembesar di kota yang keadaannya hanya merugikan rakyat".Bersambung...

Catatan: bila ada koreksi tentang para profesor tersebut atau ada tambahan info, mohon disampaikan. Terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun