Mohon tunggu...
Isna Tustiyani
Isna Tustiyani Mohon Tunggu... Dosen - staf pengajar

suka dunia tulis menulis, memasak dan nge blog

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merdeka Belajar demi Mewujudkan Indonesia Maju

18 Agustus 2020   00:37 Diperbarui: 18 Agustus 2020   01:17 827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Saat ini kita memperingati 75 tahun kemerdekaan Indonesia. Merdeka dari penjajahan bangsa lain, merdeka menjadi sebuah negara sendiri. Kita adalah bangsa yang bisa berdiri sendiri mengatur segala sendi kehidupan. Selama ini kita sudah berusaha sekuat tenaga untuk mencapai tujuan negara yaitu menjadikan masyarakat adil dan makmur dalam segala bidang.

Namun masih banyak PR yang belum terselesaikan. Beberapa PR bidang pendidikan yaitu masih adaya ketidakmerataan kualitas sekolah maupun kampus, masih banyaknya masyarakat yang belum bisa mengakses pendidikan yang lebih tinggi, masih diprioritaskan nilai sebagai indikator keberhasilan pendidikan dan lain-lain. Sebenarnya apa yang menyebabkan kendala-kendala tersebut? Ada baiknya kita kupas satu per satu penyebab kendala pendidikan saat ini.

Ketidakmerataan kualitas sekolah dan kampus umumnya disebabkan adanya sekolah atau kampus favorit. Keberadaan sekolah dan kampus favorit ini menyebabkan siswa dan mahasiswa yang terbaik menumpuk di sekolah dan kampus tersebut, akibatnya sekolah dan kampus yang lain kekurangan siswa atau kekurangan siswa teladan.

Tingginya minat siswa masuk ke sekolah dan kampus favorit dikarenakan ada “jaminan” kualitas berupa guru/dosen dan sarana prasarana pendukung kegiatan belajar mengajar. Hal ini menyebabkan semakin tingginya persaingan antar siswa untuk masuk ke sekolah tersebut namun disisi lain kurangnya minat siswa untuk masuk sekolah dan kampus lain.

Kendala yang berikutnya yaitu masih banyaknya masyarakat yang belum bisa mengakses pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh berbagai hal yaitu semakin tingginya biaya pendidikan, sementara pendapatan masyarakat masih relatif rendah atau akibat adanya lokasi pendidikan tinggi tidak dapat dijangkau oleh masyarakat.

Hal yang lain yaitu nilai yang masih diprioritaskan sebagai indikator keberhasilan pendidikan menyebabkan beberapa kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya yaitu mudah. Dengan melihat rata-rata IPK atau nilai rapot yang baik akan mengindikasikan bahwa pendidikan di sekolah dan kampus itu baik. Padahal mungkin kenyataannya tidaklah demikian.

Menjadikan nilai sebagai indikator keberhasilan justru memunculkan kelemahan yaitu saling berlomba dengan cara apapun untuk mendapatkan nilai tertinggi. Padahal ada faktor lain yang membuat mereka bertahan di dunia kerja setelah lulus nanti. Kemudahan nilai menjadi indikator salah satunya juga disebebkan oleh adanya kesibukan dari guru atau dosen sendiri.

Dosen dan guru terlalu disibukkan dengan adanya administrasi yang sangat menguras tenaga. Pembuatan RPP, pengisian beban kerja dosen/guru, penelitian, pengabdian yang harus diisi setiap semester maupun pengisian borang akreditasi yang sangat melelahkan.

Hal ini menjadikan nilai menjadi indikator yang sangat mudah untuk menilai seorang siswa. Padahal boleh jadi seorang mahasiswa yang IPK nya pas-pasan memiliki kelebihan lain seperti sikap pemimpin, gampang bekerjasama atau hal yang lain.

Lantas apa akibatnya kalau hal-hal terbebut diatas dibiarkan berlarut-larut? Sebenarnya hal yang paling gampang adalah melihat dengan sudut pandang orang lain. Dengan melihat sudut pandang orang lain, kita bisa mengoreksi diri dan memperbaiki apa yang harus diperbaiki.

Bagi sektor pendidikan salah satunya adalah dengan melihat laporan PISA. Menurut Wikipedia PISA (Programme for International Student Asessment) yaitu adalah penilaian tingkat dunia yang diselenggarakan tiga-tahunan, untuk menguji performa akademis anak-anak sekolah dan penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Organisasi untuk Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD).

Tujuan dari studi PISA adalah untuk menguji dan membandingkan prestasi anak-anak sekolah berusia 15 tahun di seluruh dunia. Total  ada 79 negara yang berpartisipasi, bertambah tujuh negara dari tes 2015 dan jumlah siswa yang berpartisipasi ada 600 orang dari seluruh dunia.

Berdasarkan laporan PISA pada tanggal Selasa 3 Desember 2019, skor membaca Indonesia ada di peringkat 72 dari 77 negara, lalu skor matematika ada di peringkat 72 dari 78 negara, dan skor sains ada di peringkat 70 dari 78 negara. Tiga skor itu kompak menurun dari tes PISA 2015. Kala itu, skor membaca Indonesia ada di peringkat 65, skor sains peringkat 64, dan skor matematika peringkat 66.

Di antara negara-negara Asia Tenggara, Indonesia berada paling bawah bersama Filipina yang mendapat peringkat terakhir dalam membaca dan skor sebelum terakhir di dua bidang lain. Tentu saja hal ini membuat masyarakat bertanya-tanya, “Mengapa skor membaca, berhitung dan sains kita  begitu rendah?” Kita liat dulu penjelasan subyek yang diuji.

Kemampuan membaca diartikan sebagai kapasitas murid untuk memahami, menggunakan, evaluasi, merenungkan, dan memakai teks untuk mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan dan potensi, serta berpartisipasi di dalam masyarakat.

Kemampuan berhitung diartikan sebagai kapasitas siswa untuk merumuskan, menggunakan, dan menafsirkan matematika termasuk penalaran matematika dan memakai konsep, prosedur, fakta, dan perangkat matematika untuk menggambarkan, menjelaskan, dan memprediksi fenomena.Seseorang yang punya kemampuan literasi sains memiliki kemauan untuk terlibat dalam diskusi bernalar tentang sains dan teknologi, sehingga dapat menjelaskan fenomena secara ilmiah, mengevaluasi dan merancang pemeriksaan secara ilmiah, dan menafsirkan data dan bukti secara ilmiah.

Tes yang dilakukan PISA ini tidak hanya sekedar bisa membaca, berhitung maupun sains saja, namun siswa dituntut untuk bisa menjelaskan dan mengembangkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan skor PISA negara kita berada dibawah juga membuktikan bahwa kemampuan siswa masih dalam level menghafal rumus maupun bacaan tertentu, dan belum bisa mengkajinya lebih dalam.

Solusi apa yang ditawarkan?

Salah satu solusi yang ditawarkan adalah program pendidikan “Merdeka Belajar” yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim pada peringatan Hari Guru Nasional (HGN) tahun 2019. Terpilihnya Nadiem Anwar Makarim sebagai Mendikbud memberikan warna yang berbeda bagi negara ini.

Beliau merupakan tokoh muda yang siap menggebrak dengan kebijakan yang berbeda dari sebelumnya. Program merdeka belajar selaras dengan target pemerintah tersebut memfokuskan diri pada pembangunan sumber daya manusia untuk meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.

Program tersebut meliputi empat pokok kebijakan, antara lain: 1) Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN); 2) Ujian Nasional (UN); 3) Rencana Pelaksanaan Pembelajaan (RPP), dan 4) Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) zonasi. USBN dan UN tahun 2020 ini memang ditiadakan akibat pandemi Covid 19 ini.

Namun sejak 2019 memang sudah dicanangkan Mendikbud untuk dikoreksi terutama dilihat dari skor PISA yang rendah membuat beliau akan merubah assesmentnya. Materi assesment nantinya akan dibagi dalam dua bagian:

(1) Literasi; bukan hanya kemampuan untuk membaca, tapi juga kemampuan menganalisa suatu bacaan, kemampuan memahami konsep di balik tulisan tersebut; (2) Numerasi; berupa kemampuan menganalisa, menggunakan angka-angka. Jadi ini bukan berdasarkan mata pelajaran lagi, bukan penguasaan konten, atau materi.

Berdasarkan Surat Edaran Mendikbud Nomor 14 Tahun 2019, tentang Penyederhanaan RPP yaitu penyusunan RPP dilakukan dengan prinsip efisien, efektif, dan berorientasi pada siswa membuat guru dan dosen sedikit lebih leluasa bergerak. Hal ini akan berakibat guru/dosen akan lebih memahami karakter tiap siswanya dengan lebih baik.

Kebijakan  sistem zonasi dalam PPDB dapat mendorong hilangnya diskriminasi bagi anggota masyarakat untuk bersekolah di sekolah-sekolah favorit. Sistem zonasi ini hendaknya tidak hanya berlaku bagi siswa, namun juga berlaku bagi guru dan dosen.

Dengan demikian adanya pemerataan kualitas pendidikan di setiap sekolah/kampus segera terwujud. Dengan adanya program Merdeka Belajar ini diharapkan akan membuat kualitas sumber daya manusia Indonesia meningkat demi mewujudkan Indonesia Maju.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun