Mohon tunggu...
isnani rachmawati
isnani rachmawati Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru pembelajar

Seorang ibu rumah tangga yang juga seorang guru dan senang jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merekonstruksi Pemikiran Ki Hajar Dewantoro

11 September 2022   13:55 Diperbarui: 11 September 2022   13:55 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa bulan terakhir, terdengar gegap gempita perubahan kurikulum. Perubahan yang meskipun belum menyeluruh diterapkan tetapi sudah cukup membuat para pegiat pendidikan sibuk. Sebagian menyetujui perubahan Kurikulum 2013 menjadi Kurikulum Merdeka. Sebagian lagi menolak dengan alasan belum siap dengan perubahan itu sendiri.

Padahal sejatinya, perubahan itu memang suatu keniscayaan. Saya sendiri tidak akan membahas pro-kontra Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM), melainkan nilai-nilai yang menjadi pokok dalam Kurikulum Merdeka yang sedang ramai diperdebatkan. Beberapa pokok yang menurut saya sangat menarik adalah kurikulum ini selalu mengedepankan konsep pemimpin pembelajaran serta kemerdekaan pendidik dan peserta didik dalam belajar.

Pemimpin pembelajaran dalam berbagai referensi berperan aktif dalam mewujudkan kualitas pembelajaran yang tinggi. Iwan Syaril, yang kala itu masih menjabat sebagai Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, menyebutkan dalam sebuah kesempatan bahwa seorang pemimpin pembelajaran mempunyai peran vital dalam menentukan keberhasilan sekolah yang dipimpinnya. Ia bertanggung jawab untuk menyelaraskan semua elemen yang ada di sekolah tersebut. Ia juga akan mampu memberdayakan seluruh sumber daya di lingkungannya agar bekerja sama mengoptimalkan peserta didik secara menyeluruh dalam olah rasa, cipta, karsa serta karya demi muwujudkan keselamatan dan kebahagiaan peserta didik.  Hal menarik lainnya bagi saya adalah adanya kemerdekaan bagi pendidik dan peserta didik dalam pembelajaran.

Membahas kedua hal ini tentu tidak terlepas dari sejarah bangsa Indonesia sendiri. Dahulu di era penjajahan Belanda, seorang Raden Mas Suwardi Suryaningrat yang lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantoro, seorang bangsawan dari Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat tergugah hatinya untuk memperjuangkan masyarakat kala itu melalui pendidikan.

Ki Hajar Dewantoro percaya bahwa kemerdekaan suatu bangsa diawali dengan kemerdekaan berpikir yang bisa diperoleh melalui pendidikan yang baik pula. Ia menyakini bahwa untuk menciptakan manusia Indonesia yang beradab maka pendidikan menjadi salah satu kunci utama untuk mencapainya. Baginya, manusia merdeka adalah manusia yang hidup lahir dan batinnya tidak tergantung pada orang lain tetapi mampu berdiri di atas kemampuannya sendiri.

Pendidikan yang baik akan menciptakan kesempatan bagi peserta didik untuk bertumbuh dan berkembang secara utuh agar kelak ia mampu memuliakan diri dan orang lain dan mandiri. Konsep inilah yang menurut Ki Hajar Dewantoro merupakan definisi kemerdekaan lahir dan batin bagi seseorang. Dengan definisi inilah, seorang pendidik diharapkan menjadi penuntun bagi peserta didiknya. Bahkan untuk memperjelas pemikirannya, Ki Hajar Dewantoro mengibaratkan pendidik sebagai petani kehidupan, pendidikan sebagai lahan sedangkan peserta didik diibaratkan sebagai benih tanaman.

Selanjutnya, adalah sebuah kewajaran jika sebutir bibit tanaman yang ditempatkan/ ditanam di lahan yang baik dengan mendapatkan perawatan optimal maka bibit tanaman itu akan tumbuh menjadi pohon yang bagus. Berbeda halnya dengan biji tanaman yang kurang bagus jika ditanam di tempat yang bagus dengan perawatan yang baik maka bibit itu juga akan tumbuh dengan baik. Sebaliknya, meskipun bibit tanaman itu sudah baik tetapi tidak mendapatkan perawatan yang seharusnya, bibit itupun tidak akan tumbuh dengan maksimal.

Di sinilah peran pendidik yang dituntut agar mampu memberikan peserta didik kebebasan tetapi tetap memberikan tuntunan dan arahan yang baik agar peserta didik tidak kehilangan arah. Pendidik bertindak seperti orang tua/ pamong yang momong dengan tetap memberikan arahan kepada anaknya dan tetap mempertimbangkan nilai-nilai yang berlaku dalam lingkungan sosial masyarakatnya untuk memaksimalkan potensi diri peserta didik.

Ki Hajar Dewantoro juga menegaskan agar pendidik harus tetap berhati-hati terhadap perubahan zaman yang ada. Meskipun dituntut untuk menuntun peserta didik agar ia mampu memaksimalkan potensi dirinya sesuai dengan kondisi sosial budayanya, tetapi pendidik juga harus aware terhadap tantangan zaman di mana peserta didik hidup. Sehingga pendidik harus terlebih dahulu mampu mengidentifikasi sumber atau konten pengetahuan yang akan dipelajari peserta didik apakah sesuai dengan kondisi lingkungan dan zaman yang berlaku.

Dengan adanya pertimbangan atas ilmu pengetahuan dengan kondisi sosial budaya masyarakat di mana peserta didik tinggal, diharapkan mampu memadukan dan mengembangkan kemampuan cipta (kognitif), rasa karsa (afektif) dan karya (psikomotor) menjadi budi pekerti dan karakter baik dalam diri peserta didik.

Di sinilah keluarga turut andil dalam pendidikan. Lebih lanjut, Ki Hajar Dewantoro menyebutkan bahwa keluarga menjadi tempat utama dan paling baik untuk melatih pendidikan sosial dan karakter baik bagi seorang anak/ peserta didik. Keluarga merupakan tempat sempurna untuk melatih kecerdasan budi-pekerti. Dengan kata lain, keluarga adalah sebuah ekosistem kecil yang menjadi wadah mempersiapkan seorang anak agar mampu hidup dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat. Di sinilah peran orang tua sebagai guru, penuntun dan pemberi contoh yang baik dalam pertumbuhan karakter baik dari seorang anak/ peserta didik. Keluarga pulalah yang menjadi tempat meneruskannya segala tradisi dalam hidup bermayarakat. Kondisi keluarga, menurut Ki Hajar Dewantoro, berbanding lurus dengan baiknya kesusilaan seseorang. Keluarga yang baik tentunya akan mengajarkan dan meneruskan nilai-nilai baik yang ada. Sebaliknya, jika ada nilai-nilai yang kurang pas, tentunya keluargalah yang akan mengoreksi dan memutus persebaran nilai-nilai yang bertentangan dengan kondisi sosial budaya yang ada.

Selain pemikiran tersebut, Ki Hajar Dewantoro juga menyakini adanya kerjasama yang baik antara orang tua, guru (sekolah), dan masyarakat dalam bidang pendidikan akan mampu memaksimalkan potensi diri seorang peserta didik. Orang tua meskipun sudah menyerahkan pendidikan anaknya kepada pihak sekolah tidak serta merta langsung memasrahkan sepenuhnya kepada sekolah. Demikian juga guru (sekolah) harus selalu mengomunikasikan segala kebijakan yang diambil dengan orang tua. Selanjutnya, masyarakat sebagai agen pengawas yang seyogyanya terus bekerja sama mewujudkan pendidikan yang baik untuk peserta didik. Hal ini juga diwujudkan dengan adanya prakarsa aktif masyarakat untuk membantu jalannya pendidikan. Sehingga, keberadaan ketiganya saling menguatkan satu sama lain demi terwujudnya pendidikan yang baik.  

Semua pemikiran Ki Hajar Dewantoro tersebut akhirnya memunculkan tiga semboyan yang selalu menjadi pedoman bagi para pendidik. Ketiganya yaitu ing ngarso sung tuladha yang diartikan bahwa seorang pendidik selalu memberikan teladan yang baik untuk diri sendiri, keluarga, peserta didiknya, dan masyarakatnya. Teladan ini tidak hanya ketika berada dalam lingkungan pendidikan/ sekolah saja melainkan tercermin dalam kehidupan sehari-hari seorang pendidik.

Semboyan kedua berbunyi ing madya mangun karsa. Semboyan ini berarti jika seorang pendidik haruslah mampu membangun ide dan semangat. Seorang pendidik juga harus bisa memberikan kebebasan dalam pembelajaran. Ia harus bisa menginysafi bahwa setiap peserta didiknya memiliki keunikan tersendiri yang berbeda satu sama lainnya.  Di sinilah peran membangun semangat. Seorang pendidik harus mampu berhamba pada peserta didik. Kalimat ini bermakna bahwa dalam pembelajarannya, seorang pendidik harus bisa memfasilitasi masing-masing peserta didik dengan segala minat, bakat serta kemampuan diri yang melekat pada setiap peserta didik, bukan memaksakan kehendaknya tanpa menghiraukan keinginan peserta didik bukan pula menganggap peserta didik seperti kertas kosong yang hanya bisa diisi oleh pendidik.

Semboyan terakhir berbunyi tut wuri handayani yang memiliki arti bahwa seorang pendidik tetap memberikan dorongan dan motivasi meskipun peserta didiknya sudah mampu mengembangkan dirinya. Semboyan inilah yang juga bisa kita lihat dalam logo dunia pendidikan kita hingga saat ini.

Pemikiran yang tercetus berpuluh-puluh tahun lalu, jauh sebelum Indonesia merdeka nyatanya terus mengilhami dunia pendidikan hingga saat ini. Tentunya, hal tersebut tetap sesuai dengan kondisi alam dan zaman yang sekarang kita tinggali. Meskipun kita hidup di era disruptive seperti ini, kita harus tetap berpegang teguh pada nilai-nilai postitif bangsa Indonesia agar tetap bisa mengeksplorasi dan mengembangkan potensi diri guna menghadapi tantangan agar bisa tetap bersaing secara global demi mewujudkan keselamatan dan kebahagiaan dalam hidup. Jadi, perubahan kurikulum memang adalah suatu keniscayaan agar kita terus bisa mengondisikan diri dan tetap berproses mengembangkan potensi diri untuk bisa mengembangkan orang lain demi kebahagiaan bersama.

Yang menjadi pertanyaan adalah sudah sesuaikah pembelajaran yang kita bangun di kelas? Ataukah malah terbalik dan tidak sesuai dengan pemikiran Ki Hajar Dewantoro, Sang Bapak Pendidikan? Marilah para pendidik, kita merenung sejenak. Sudah tepatkah yang kita lakukan sejauh ini? Jika belum, mari kita bersama-sama memperbaiki pembelajaran agar bisa memujudkan pembelajaran yang memerdekakan pendidik dan peserta didik, demi keselamatan dan kebahagiaan hidup.

Penulis adalah calon Guru Penggerak Angkatan 6 dari Kabupaten Gayo Lues

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun