Mohon tunggu...
Isnandar
Isnandar Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

Masih belajar dan tetap belajar dalam melihat, mendengar kemudian merefleksikan rasa lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kakek

16 Juni 2019   13:20 Diperbarui: 16 Juni 2019   13:30 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari pixabay.com

Bila saat tiba. Suara parau membahana. Berterbangan di angkasa. Lewat pengeras suara berumur tua. Dari ruang suci dekat rumah. Lalu singgah di kalbu terdalam.

Anak itu berlari riang. Menyambut sore tahun ke tiganya bertemu hari raya. Wajah gembira telah usai dia belajar. Kini menagih hadiah. 

Melihat girangmu seketika bayangku melompat mundur jauh. Ke masa lampau. Melihat pejuang tua. Gigih membangun jalan di pagi buta. Bertahan pada gelombang jaman. Tercapailah jalan cahaya.

Di dekat aku, bersandar ia. Seolah dia ingin mendengar. Cerita perjalanan hidup pejuang tua. Cerita yang hadir dimimpinya. Perjuangan mencapai cahaya.

Aku gemetar. Tak sepatah kata keluar. Anak itu terus mendesak. Setengah berteriak ia meminta. Tak sadar air mata haru deras mengalir.

Maafkan aku tak mampu. Bercerita banyak. Tentang pejuang tua itu. Dialah kakek. Pemilik suara parau. Berpusat terpancar dari dalam surau. Dia  telah usai. Membukakan kita jalan mencapai cahaya.

Bekasi 16.06.2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun