Mohon tunggu...
isnamau_
isnamau_ Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

born to be a learner

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Stop Denial! Mari Kenali dan Lindungi Kesehatan Mental

21 September 2021   07:13 Diperbarui: 21 September 2021   07:21 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah kalian mengalami suatu hal seperti jatuh cinta pada seseorang tapi kalian menangkal perasaan tersebut dengan dalih hanya sebuah rasa sesaat belaka? Ketika merasa sesak nafas dan hilangnya indra penciuman namun tidak memeriksakan ke dokter dan meyakini bukan indikasi covid-19? Ataukah ketika kamu sudah burnout dengan pekerjaan sehari-hari tapi kamu tetap paksakan untuk mengerjakannya dan merasa tidak ada apa-apa?

Beberapa contoh kondisi diatas disebut dengan denial. Denial merupakan salah satu bentuk mekanisme pertahanan diri yang munculnya sering tidak disadari ketika seseorang menghadapi ancaman atau realitas sosial yang yang tidak menyenangkan. Sebenarnya denial ini boleh-boleh saja dilakukan untuk meredakan ketegangan diri baik secara fisik maupun psikis akibat hal-hal yang bersifat kecemasan dan mengancam yang dapat mengakibatkan stress.

Tindakan ini akan sangat membantu dalam periode singkat. Namun jika dilakukan dalam jangka waktu yang panjang denial dapat menjadi musuh bagi kesehatan mental dan orang disekitar kita. Misalnya ketika kamu di diagnosis positif COVID-19 oleh dokter tindakan denial akan membantu merilekskan ketidaknyamanan dan kecemasan menjadi lebih tenang. Namun jika kamu memperpanjang sikap ketidakpercayaanmu akan berakibat fatal karena penanganan dan tindakan yang terlambat.

Memang tidak semua hal dapat terjadi sesuai dengan apa yang kita kehendaki. Di alam semesta yang dihuni lebih dari tujuh miliar manusia di bumi terdapat faktor lain yang menjadi juru kunci segala peristiwa yang terjadi, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Terkadang disaat kita sudah berencana sedemikian rupa namun takdir berkata lain. Sedih, cemas, tidak nyaman, dan kekhawatiran merupakan hal yang wajar dalam merespon kejadian di kehidupan kita. Kenyataan tersebut akan dialami oleh insan yang dikaruniai hati dan akal. Tidak apa-apa kalau kita mengakui bahwa kita sedang tidak baik-baik saja.

Perlu digarisbawahi disini yaitu bagaimana kita menanggapi berbagai peristiwa tersebut. Menurut Hans Selye respon fisik atau emosional tak spesifik dan berlebihan dari tubuh terhadap berbagai tuntutan yang ada dapat mengakibatkan stress. Lebih jauh lagi dijelaskan bahwa tidak hanya faktor eksternal saja berupa sosial disekitar kita penyebabnya seperti situasi lingkungan dan kemunculannya yang tidak kita inginkan. Individu atau diri sendiri bisa menjadi faktor yang memengaruhi stress. Karakteristik kepribadian serta kemampuan dalam menyelesaikan masalah dan beradaptasi dengan stress juga menjadi penyebabnya.

Berdasarkan efeknya stress dibagi menjadi eustress, distress, hyperstress dan hypostress. Eustress dapat menimbulkan stimulasi yang bermanfaat bagi individu yang mengalaminya. Distress bisa memunculkan efek yang membahayakan bagi individu yang mengalaminya. Sedangkan hyperstress berdampak luar biasa hingga bagi yang mengalaminya kemampuan adaptasinya. Dan hypostress, merupakan stres yang muncul karena kurangnya stimulasi. Contohnya, stres karena bosan atau karena pekerjaan yang rutin. Bentuk stress dapat berupa tekanan, frustasi, konflik, dan cemas.

Lalu bagaimana cara kita menghadapi kondisi tersebut? Mengutip karya dari Kartika Sari Dewi berjudul "Kesehatan Mental" setidaknya terdapat tiga langkah sederhana dalam pengelolaan stress, yaitu dengan mengenali stress yang kita alami; memahami dampak stress bagi tubuh baik secara fisik, emosi, maupun perilaku; dan menerapkan strategi pengendalian stress.  

Strategi Pengelolaan Stress 

Tahap pertama disini yakni coping stress atau penyesuaian terhadap stress. Strategi ini dimaksudkan untuk mengurangi simtom stress dan meningkatkan toleransi terhadap adanya stress. Strategi kedua yakni self-control atau pengendalian diri dengan memiliki perasaan mampu untuk melakukan, mengendalikan, dan menghadapi stress yang muncul pada dirinya (efikasi, hardiness, mastery). 

Strategi selanjutnya adalah memodifikasi lingkungan melalui tindakan asertif berupa mengekspresikan hak dan perasaan tanpa melanggar norma dan hak orang lain, menghindari lingkungan penyebab stress jika dibutuhkan, atau bekompromi dengan lingkungan ketika bisa saling menyesuaikan. Dan strategi terakhir yang menjadi kunci dari keberhasilan yaitu dengan memperkuat gaya hidup menjadi ramah dengan kesehatan mental. 

Improve lifestyle dapat dilakukan dengan membangun toleransi terhadap stress, mengubah langkah atau kebiasaan hidup, mengendalikan pemikiran yang mengarah pada distress, dan mencari pertolongan untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah seperti mengikuti workshop dan mencari dukungan sosial seperti keluarga, guru, maupun sahabat.

Red: isnamld

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun