Malam kembali datang bersanding dengan angin dingin yang siap menikam orang-orang yang menghirupnya. Aku kembali lagi, laut. Kembali berbicara dengan udara atau apa saja yang bisa kuajak bicara – selain manusia.
Dan tanpa kuperintahkan, pikiran dan jiwaku serempak pergi dari tubuh kurus, ceking yang berwajah sendu berhiaskan bibir yang menghitam ini. Gurat-gurat mereka yang bergegas keluar menciptakan siluet keemasan, menghadirkan kembali kisahku dalam bentuk layar kenangan. Lalu aku terduduk di atas batang kelapa yang tumbang, bersiap menyaksikan apa-apa yang ditampilkan. Tanpa kata, hanya mata.
***
Namaku Bara. Aku dua puluh lima saat tak sengaja bertemu denganmu. Kau adalah satu dari sedikit spesies manusia yang mau mengajar di tempat lumayan kumuh sepanjang desa pesisir kawasan ini. Masih segar dalam ingatan saat kau pertama kali mengajar di kotaku sebagai guru yang diperbantukan. Buku-buku pekerjaan rumah muridmu, tas ransel kecilmu, dan gerakan gesit langkahmu adalah siluet pertama yang kutangkap saat kau melintasiku, melintasi jalan setapak di depanku, ditempat keseharianku bekerja sebagai nelayan penyambut hasil tangkapan.
Darahku berdesir. Yang entah mengapa membuat otakku berkelahi dengan hati, memohon untuk diriku yang hanya nelayan kecil penjemput hasil tangkapan ini melepas sauh setelah pukul 7 pagi, dan kembali ke daratan menjelang pukul lima senja hari. Kau tahu? Aku melakukan itu hanya untuk melihatmu, melihat gerakan melintasmu yang tergesa-gesa di pagi hari sekaligus melihat mata sendumu saat menengok ke arah senja matahari, melihat sekilas senyummu saat bertemu penduduk yang melintas, meski aku tak tahu apakah kau saat itu juga melihatku.
Dan pada saat itu aku tersadarkan bahwa kebiasaan baruku itu sedikit demi sedikit membuatku berubah. Hisapan rokok yang semakin lama dan dalam – aku tak tahu mengapa kepulan asap rokokku membentuk wajahmu, malam-malam penuh perenungan, hembusan keresahan disudut kamar, dan hati yang menggelembung karena penuh dengan dirimu – disamping paru-paru yang juga penuh dengan penyakit karena sepuluh tahun merokokku.
Lalu entah apakah alam mendengar segala denyut harapku pada malam-malam itu, kesempatan itu tiba. Kau yang pada senja biasanya hanya melintasi jalan setapak yang membentang di sepanjang bibir pantai ini, hari itu memutuskan untuk berdiam sejenak, menunduk, melintasi batang bambu yang hanya setinggi pinggangmu, kemudian berjalan datar menuju deretan perahu – yang tentu saja saat itu ada aku yang telah mengubah sedikit jadwal melautku.
Kau melepas sepatu, sedikit terhuyung langkahmu menjejak menuju ujung pantai ini. Oh Tuhan, aku tak tahu mengapa korek api yang kukeluarkan tak berfungsi sama sekali saat aku menjentikkannya, aku juga tak tahu mengapa bibirku yang hitam tetiba kaku dengan sebatang rokok ditengahnya. Itu semua terjadi saat kau berjalan melintasiku, melintasi deretan perahu yang salah satu bagian depannya sedang kubuat tempat bersandar.
Aku menelan ludah saat kau berhenti tepat didepanku.
Tiba-tiba semuanya begitu indah, sampai kau berkata dengan senyum yang menampakkan deretan gigi serta gingsul manismu “Abang, itu rokoknya terbakar”.
Seketika aku mengalihkan pandanganku ke arah korek yang ternyata membakar rokokku – oh ya ternyata korekku masih berfungsi, membuang keduanya secara bersamaan ke pasir pantai yang putih ini, dan menguburnya dengan butiran pasir yang lain.