Mohon tunggu...
Isna Kholidazia
Isna Kholidazia Mohon Tunggu... Guru - Guru

Harmonisasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Belajar Menjadi Minoritas Dengan Bisindo di Sekolah

19 Oktober 2023   19:19 Diperbarui: 19 Oktober 2023   19:38 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

".......tidak ada suara bukan berarti tak berbicara. Tidak bisa mendengar bukan berarti tak memahami. Teman tuli adalah sebaik-baik penerjemah bahasa yang coba alam bicarakan. Keheningan adalah bahasa yang paling tulus, sebab hening mampu menunjukkan kita pada makna yang selama ini terlampau fana"

Menurut Wikipedia.org, Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) adalah bahasa isyarat yang berlaku di Indonesia. Berbeda dari SIBI yang merupakan sistem buatan dan bukan merupakan bahasa, BISINDO merupakan bahasa ibu yang tumbuh secara alami pada kalangan komunitas Tuli di Indonesia. 

Perbedaan lainnya adalah SIBI menggunakan isyarat khusus untuk morfem imbuhan mengikuti bahasa Indonesia, sehingga kata-katanya jauh lebih panjang daripada kata-kata dalam bahasa isyarat alami seperti BISINDO. 

BISINDO kemudian diteliti dan dikembangkan oleh Pusat Bahasa Isyarat Indonesia (PUSBISINDO) serta Laboratorium Riset Bahasa Isyarat FIB UI.

Sebagai pengalaman yang saya alami sendiri, bahwa kaum disabilitas yang sempat saya jumpai di Surabaya, mengajarkan kepada saya akan betapa pentingnya untuk kita tak melulu menjadi yang mayoritas. 

Menjadi mayoritas memanglah memiliki banyak benefid atau keuntungan tersendiri, dan ini tentu saja akan membuat kenyamanan yang justru membuat kita terbuai sehingga tanpa kita sadari ini adalah kondisi yang berbahaya. 

Jika kondisi dalam lingkaran mayoritas dilakukan secara continue atau terus-menerus tanpa pernah di posisikan pada minoritas maka dampak buruk yang akan terjadi adalah sikap intoleran, apatis dan tidak adanya sikap saling menghargai. 

Barangkali mencemooh hal-hal yang berbeda adalah salah satu gejala yang sering di jumpai di lingkungan sekolah dimana saya sebagai pendidik di salah satu sekolah pada jenjang SMK.

Mengutip dari tempo.co Jakarta dikatakan bahwa tidak semua orang dengan disabilitas pendengaran menggunakan istilah tunarungu. Terminologi ini, bagi sebagian kelompok disabilitas pendengaran justru tidak menggambarkan keadaan mereka yang sebenarnya. Sebagian penyandang disabilitas pendengaran lebih suka disebut Tuli.

"Tunarungu adalah istilah medis untuk menggambarkan keterbatasan dari sebuah fungsi, sedangkan Tuli merupakan istilah budaya atau cara berkomunikasi yang berbeda," tulis Michele, seorang staf pengajar bahasa isyarat di Pusat Bahasa Isyarat Indonesia atau Pusbisindo melalui pesan singkat, 28 Juni 2018.

Jadi, jelas bahwa Tuli adalah penggunaan kata yang tepat dan dirasa lebih nyaman bagi teman tuli. Edukasi ini juga coba saya tularkan pada peserta didik yang sebagian besar dari mereka memang minim akan info dan tidak mengetahuinya. Mereka menganggap bahwa tuli adalah bahasa yang kasar, sedang tuna rungu adalah bahasa halusnya. 

Memposisikan diri menjadi minoritas atau paling tidak berada diantara minoritas agar tumbuh rasa kasih sayang dan peduli tentu saja sangat sesuai dengan budaya Pancasila yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, melalui kesetaraan;HAM. 

Ini juga disampaikan secara tegas oleh Ki Hajar Dewantara dalam falsafah pendidikan yang berbunyi, bahwa Pendidikan benar-benar bertujuan untuk memanusiakan manusia, berbudi pekerti luhur dan membentuk karakter warga negara yang ideal.

Berdasarakan pengalaman tersebutlah, kemudian saya mencoba untuk menyajikan tayangan video berupa social eksperimen dari kitabisa.com tentang Teman Tuli, yakni mempertemukan Teman dengar dengan Teman Tuli dan dipersilahkan untuk berkomunikasi dalam waktu 45 menit. 

Teman Dengar tidak di beritahu bahwa mereka akan berkomunikasi dengan Teman Tuli. Kemudian peserta didik akan diminta memberikan tanggaapan dan mengekpresikan apa yang mereka lihat dari tayangan video tersebut.

Langkah selanjutnya adalah mengajak peserta didik untuk bersama-sama meluangkan waktu untuk belajar Bisindo (Bahasa Isyarat Indoesia). Peserta didik menjadi terlibat secara langsung untuk mempraktikkan bahasa isyarat atau Bisindo. 

Saya cukup terkejut dengan antusias peserta didik yang luar biasa di dalam kelas dan cepat sekali mempelajari Bisindo. Bahkan, mereka secara sukarela mempraktikkan beberapa bahasa isyarat Teman Tuli seperti kata terima kasih ketika saya atau rekan-rekan guru selesai mengisi jam pelajaran di kelas.

Berikut adalah video social eksperimen dari kitabisa.com

Sumber; yiutube @benakribo
Sumber; yiutube @benakribo
Sumber; dok pribadi
Sumber; dok pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun