Lalu mengapa banyak korban KDRT, terutama perempuan, tidak melaporkan kasus kekerasan yang mereka alami? Bu Zai menyebutkan sejumlah faktor yang melatari. Beberapa di antaranya sebagai berikut.
Pertama merasa takut, yaitu khawatir akibat intimidasi pasangan yang bisa mengulang kekerasan. Lebih-lebih kalau berupa ancaman.
"Kalau kamu berani macam-macam, berani lapor atau cerita keluargamu, nanti aku giniin. Sekarang cuma kamu yang kena, nanti keluargamu ikut kena juga. Aku hancurin keluargamu!"
Demikian ujar Zaitun, menirukan ancaman suami terhadap korban yang pernah mengadu kepadanya. Jika hal ini berlarut-larut, istri bisa kehilangan jati dirinya. Kepercayaan dirinya lama-lama terkikis dan itu berbahaya. Â
Alasan berikutnya, tidak ada support system yang melingkupinya. Kadang korban bingung karena merasa tak ada tempat untuk mencurahkan isi hati. Sekadar mengeluh pun sulit.
Tak jarang ketika mengadu kepada keluarga besar istri, ia cuma diarahkan agar bersabar karena KDRT dianggap sebagai cobaan dalam keluarga.
"Itu salah, itu sudah tindakan kriminal. Termasuk tindakan pidana," sergah Zai tentang KDRT yang seolah dinormalisasi.Â
Ketiga, korban KDRT tidak punya kemandirian. Perempuan enggan melaporkan KDRT suaminya karena takut dukungan ekonomi akan diputus. Kalau kondisinya sudah punya anak, perpisahan tentu menimbulkan kesulitan tersendiri.
Bangun kemandirian
Inilah pentingnya wanita punya kemandirian, baik secara emosi dan terutama ekonomi. Zai meyakini bahwa perempuan masa kini sudah semakin pintar, tahu bagaimana survive dengan mengerjakan banyak hal. Banyak peluang ekonomi bisa diraup tanpa harus meninggalkan rumah.
Ucapan Bu Zai memang betul. Saya melihat langsung sejumlah perempuan yang sebelumnya bercerai dan kini mendapatkan kemandirian secara ekonomi. Pasangannya justru terpuruk tanpa kejelasan. Jadi, wanita harus berdaya!
Namun, sebagaimana disinggung oleh Mbak Dian sebagai host malam itu, sikap berdaya tidak selalu mudah dimunculkan kendati perempuan punya penghasilan.