SUATU SIANG, di musholla sebuah rumah sakit, saya dan istri bertemu seorang teman yang dulu sama-sama bekerja di perusahaan yang sama. Selepas Zuhur, pertemuan tak terduga itu dilanjutkan dengan cerita sedih dan menyesakkan.
Semula cerita mengalir tentang update keluarganya, lama-lama ia tergugu mengisahkan perjalanan hidup di tempat baru yang mungkin layak disebut tragedi.
Setelah pindah kota, ia memang tinggal di rumah yang lebih bagus dengan lingkungan baru dibanding sebelumnya. Sayangnya, sang suami tak sesayang itu seiring perjalanan waktu. Seingatku memang tak ada KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) yang ia alami. Namun, ia merasa terpojok dalam keluarganya sendiri, seolah sendiri tanpa dukungan bahkan dari keluarga besarnya.
Sambil sesenggukan, ia meluncurkan kisah tragis itu. Kami hanya mendengarkan dan memintanya bersabar. Jujur saja, kami tak terlalu paham tentang usulan lain yang lebih jitu. Menyarankannya gugat cerai? Atau menyuruhnya melawan? Sungguh tak mudah karena memang situasinya rumit.
Bentuk-bentuk KDRT
Setelah mengikuti IG Live persembahan Cak Kaji (Cangkrukan Kompasianer Jatim), wawasan saya sedikit terbuka. Ternyata yang dialami teman itu bisa dikategorikan dalam KDRT. Acara yang digelar Sabtu, 17 Agustus 2024 kemarin menghadirkan Zaitun Taher, yaitu seorang advokat sekaligus pengurus bidang PPA (perlindungan perempuan dan anak) DPC PERADI SBY.
Menurut Bu Zai, sapaan akrabnya, KDRT tidak hanya berupa kekerasan fisik. Ada beberapa bentuk KDRT lain, meliputi kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran. Dari sini saya menarik kesimpulan bahwa pengalaman buruk teman dulu itu bisa tergolong KDRT psikis.
Ia merana dalam kesendirian, seolah tinggal dalam neraka mini. Dilema berkepanjangan: suami suka mem-bully, sedangkan keluarga besar memintanya bertahan. Ibarat simalakama ya, mau lapor ke pihak berwajib tapi ia memikirkan anak yang biasanya ikut ibu.
Di antara bentuk KDRT tersebut, berdasarkan pengalaman Bu Zai mendampingi korban, kekerasan seksual termasuk yang paling jarang dilaporkan. Alasannya, masalah seksual dianggap sebuah tabu untuk diangkat ke ranah publik, apalagi dilaporkan kepada polisi.
Bu Zai menegaskan bahwa kekerasan seksual itu sebenarnya merupakan tindakan kekerasan, yang tentu saja merugikan korbannya. Mungkin ketika berhubungan tapi ada paksaan, atau saat istri sedang 'libur' dan justru mendapatkan kekerasan verbal, dan sebagainya.Â