Mohon tunggu...
Isnaini Khomarudin
Isnaini Khomarudin Mohon Tunggu... Full Time Blogger - penggemar kopi | pemburu buku bekas

peminat bahasa daerah | penggemar kopi | pemburu buku bekas

Selanjutnya

Tutup

Nature

Hikayat Para Pengusir Redup, Perempuan yang Menyalakan Hidup

18 Juni 2024   13:50 Diperbarui: 18 Juni 2024   14:05 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MATAHARI SELEPAS Asar masih berpijar, mengalahkan udara Oktober yang mestinya sejuk. Alih-alih gusar, perempuan bernama Susiani (37) membuka pintu samping untuk mengusir gerah. Senyumnya mengembang setelah menyambut kami. Dengan dua pintu terbuka, sepoi angin dari dahan pepohonan sekeliling dan pantai pun semilir mengalir.

Sejurus kemudian, perempuan lain yang lebih berumur, Fatimah (45), muncul dari dalam dengan dua piring berisi makanan dan air minum untuk dihidangkan.

"Monggo dicobi, sambal latoh khas sini," ujar Fatimah dalam bahasa Jawa halus dan Indonesia. Keramahannya membuat kunjungan kami pada Minggu (22/10/2023) sangat mengesankan.

Pangan lokal yang ramah lingkungan

Melihat saya dan teman agak kebingungan, Susiani bergegas duduk dan menjelaskan, "Latoh itu rumput laut kalau di sini, Mas. Silakan dimakan," tuturnya sambil tersenyum, lalu menambahkan bahwa makanan itu seluruhnya adalah pangan lokal.

Sambal latoh, pangan lokal berbahan rumput laut yang bergizi (Dok. pri)
Sambal latoh, pangan lokal berbahan rumput laut yang bergizi (Dok. pri)

Latoh dengan rasa krenyes-krenyes memang dipanen dari pesisir pantai sekitar, yakni Panduri (pantai pandan berduri). Sambal kelapa yang diracik dengan campuran mangga menciptakan sensasi pedas, manis, dan asam yang seimbang.

Semakin gurih karena dilengkapi dengan sepotong ikan pindang goreng hasil tangkapan nelayan setempat. Lalu segenggam nasi jagung halus (ampok/lempok) kian menyempurnakan menu sederhana yang lezat dan kaya gizi.

Tanpa disadari, menu yang kami santap sore itu telah mendukung gaya hidup berkelanjutan karena menikmati pangan lokal berarti efisiensi dalam mengurangi jarak tempuh transportasi. 

Menurut J. Poore & T. Nemecek (2018), sebagaimana dikutip ourworldindata, sistem pangan berkontribusi 26% terhadap emisi gas rumah kaca secara global. Mulai dari penggunaan tanah, pemrosesan, transportasi, pengemasan, hingga distribusi.

(Dok. ourworldindata)
(Dok. ourworldindata)

Artinya, semakin jauh jarak pengiriman makanan, semakin besar pula jejak karbon yang ditinggalkan. Maka mengonsumsi pangan lokal bisa menjadi bagian dari solusi jangka panjang untuk meminimalkan risiko dan dampak perubahan iklim.

Selain ramah lingkungan, mengonsumsi sambal latoh merupakan ikhtiar pelestarian pangan lokal yang dikenal kaya rasa dan jenis. Lebih dari itu, kita juga turut membantu UMKM agar ekonomi daerah terus bergeliat. 

Berkah energi matahari

Yang jauh lebih menarik, sepaket menu latoh ini dimasak menggunakan kompor listrik yang dipasok tenaga surya. Pantaslah jika Susiani tak pernah mengeluhkan panas matahari, justru gembira menyambutnya yang sore itu menyelusup hingga ke ruang produksi. 

Sore itu kami bercakap di Rumah Batik Sekar Tanjung yang terletak di Desa Tasikharjo, Kec. Jenu, Kab. Tuban. Susiani yang didapuk sebagai ketua kelompok telah merintis UMKM batik itu sejak 2017 silam. 

Susiani menunjukkan proses mencanting. (Dok. Ihya)
Susiani menunjukkan proses mencanting. (Dok. Ihya)

Dari semula ketiadaan tempat dan sepi peminat, kini UMKM yang digawanginya telah menaungi 35 perempuan yang semuanya ibu rumah tangga. Minat itu membuncah saat omzet batik terus meningkat. Omzet bulanan berkisar 20 hingga 25 juta rupiah. Saat ramai pemasukan bahkan bisa mencapai  Rp60 juta.

Naiknya omzet tak terlepas dari meningkatnya kapasitas produksi setelah sebuah BUMN menghibahkan CSR berupa pemasangan PLTS di rumah batik tersebut sejak 2020. Panas matahari yang ditangkap oleh panel surya di atap lantas dikonversi menjadi listrik melalui sebuah inverter.

Panen energi matahari ini pun dimanfaatkan untuk menggerakkan 10 unit mesin jahit, lampu penerangan, dan kompor listrik yang dipakai pembatik untuk memanaskan malam. 

Karena berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT), biaya produksi pun jauh lebih ekonomis sehingga keuntungan usaha lebih besar. Pemanfaatan energi surya dapat menghemat biaya listrik hingga Rp15 juta per tahun. Angka yang signifikan.

Rumah Batik Sekar Tanjung, terus untung berkat energi surya terbarukan (Dok. Ihya)
Rumah Batik Sekar Tanjung, terus untung berkat energi surya terbarukan (Dok. Ihya)

Menurut Susiani, di atas atap rumah batik sudah dipasang dua panel surya. Kapasitas 1.300 watt di depan dan 5.000 watt di belakang. Selain Batik Sekar Tanjung, berkah PLTS juga dinikmati oleh Ethical Creative Tasikharjo, unit usaha yang fokus mengolah potensi alam dan sumber daya lokal menjadi produk-produk kreatif dan eco-friendly.

Transisi energi yang menggerakkan ekonomi

Bukan hanya misi menuju net zero emission, transisi energi yang dijalankan Susiani bersama rumah batiknya telah membawa manfaat ekonomi bagi perempuan sekitar. Salah satunya Fatimah yang telah setahun bergabung dalam UMKM tersebut. 

Terinspirasi spirit EBT, setiap hari ia pun mengayuh sepeda dari rumahnya menuju rumah batik yang berjarak sekitar 1,5 km. Lebih sehat dan hemat. Ketimbang di rumah, ia memilih kegiatan lebih produktif untuk menambah pemasukan keluarga. 

“Kalau bisa mopok (menutup bagian yang dicolet dengan lilin malam) selembar saja, saya bisa dapat Rp30.000,” katanya penuh rasa syukur. 

Bagi warga desa, angka itu terbilang besar dan cukup untuk menutupi kebutuhan lauk harian alih-alih bekerja di pabrik yang waktunya terikat dan sangat padat. Beda dengan rumah batik yang jadwalnya lebih fleksibel.

Perempuan sejahtera dengan karya  

“Alhamdulillah, Mas. Bisa bantu ibu-ibu di sini,” kata Susiani spontan dengan wajah semringah. 

Susiani optimistis akan kesuksesan usaha dengan dukungan energi surya. (Dok. Ihya) 
Susiani optimistis akan kesuksesan usaha dengan dukungan energi surya. (Dok. Ihya) 

Selain membayar upah membatik atau menjahit, Susiani menawarkan dana tak terduga kepada anggotanya. Jika ada anggota butuh biaya berobat atau biaya daftar sekolah, maka Susiani akan menalangi dengan sistem kasbon. Semangatnya adalah saling meringankan dan memberdayakan. 

“Impian saya ibu-ibu bisa sejahtera. Mereka harus terus berkarya agar enggak cuma jadi pelengkap penderita di rumah,” katanya optimistis.

Keputusannya menerima tawaran pemasangan PLTS terbukti tepat sebab membuka peluang ekonomi bagi para perempuan di tempat tinggalnya. Selain hemat produksi yang berarti margin profit lebih tinggi, pemanfaatan energi surya adalah bentuk transisi energi berkelanjutan yang mendukung keberlangsungan bumi dan masa depan lebih baik.

Lebih dari itu, partisipasi para perempuan dalam rumah batik yang dikelola Susiani merupakan langkah positif untuk membangun kemandirian ekonomi bagi para ibu di daerahnya yang selama ini mungkin menjadi kelompok rentan, misalnya terhadap kekerasan ataupun penelantaran. Dalam konteks ini, transisi energi adil telah menjadi bagian dari solusi untuk mengikis bias gender atau marjinalisasi perempuan.  

Biogas, murah tanpa jelaga 

Pilihan serupa dibuat oleh Utami Fautngil Janan dengan memasak menggunakan tabung biru setinggi 8 cm. Alih-alih elpiji, di dalam tabung itu terdapat sekam (kulit padi) yang menjadi sumber gas untuk menyalakan dua kompor. 

"Praktis dan murah," ujar perempuan asal Surakarta, Jawa Tengah ini. 

Pijar api terlihat biru jernih tanpa menyisakan jelaga. Ia pun tenang menggoreng jamur tiram untuk dihidangkan bagi keluarga. Lalu bagaimana cara biogas bekerja?

Sekam kering sebagai sumber energi biogas (Dok. pri)
Sekam kering sebagai sumber energi biogas (Dok. pri)

Mula-mula Janan meletakkan arang kayu yang membara di dasar tabung. Setelah itu, ia membubuhkan 6 kg sekam kering di atas bara tersebut. Untuk menjamin agar pasokan oksigen lancar, ia pun mengaktifkan blower yang terkoneksi dengan tabung. 

Asap hasil pembakaran sekam inilah yang menjadi sumber bahan bakar kompor karena mengandung gas metan berkadar 30%. Pilihannya menggunakan sekam sebagai sumber energi terbilang jitu sebab kulit padi ini sangat murah dan di beberapa penggilingan padi bahkan ditawarkan cuma-cuma.

Berdaya bersama Oxfam Indonesia 

Dengan langkah berbeda tapi spirit yang sama, baik Susiani maupun Janan membuktikan bahwa pilihan harus dibuat soal sumber energi. Tanpa mempersoalkan cakupannya, keputusan dua perempuan ini sama-sama menguntungkan. Pertama penghematan bagi keluarga, dan kedua penyelamatan lingkungan lewat pemanfaatan sumber energi bersih terbarukan.

Hal ini sejalan dengan misi Oxfam, gerakan global untuk mewujudkan perubahan dan membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan. Kolaborasi Oxfam dengan mitra lokal dan nasional di Indonesia sejak 1957 di tujuh provinsi adalah bukti komitmen itu. 

Oxfam Indonesia dorong terciptanya masyarakat adil dan setara. (Dok. Oxfam)
Oxfam Indonesia dorong terciptanya masyarakat adil dan setara. (Dok. Oxfam)

Nelson Mandela pernah mengatakan bahwa mengatasi kemiskinan adalah tindakan keadilan. Mengikis kemiskinan berarti memproteksi hak asasi yang fundamental -- yaitu hak untuk hidup bermartabat dan layak.

Oxfam mendorong agar para perempuan Indonesia memperoleh pemberdayaan demi mewujudkan hak-hak mereka. Selain itu, Oxfam juga berupaya agar pengambil kebijakan menghapus ketidaksetaraan dan kemiskinan. Termasuk memperjuangkan keadilan gender sehingga perempuan Indonesia bisa berpartisipasi dan berkontribusi dalam aspek ekonomi, sosial, politik dan budaya. 

Oxfam mengapresiasi perempuan yang mau mengambil peran kepemimpinan, seperti Susiani, yang memungkinkan akses pada sumber daya penting - termasuk energi terbarukan - untuk meningkatkan taraf hidup perempuan secara berkelanjutan. Sebagaimana latoh di Tuban, ketahanan pangan masyakarat dan adaptasi dengan dampak perubahan iklim juga penting di mata Oxfam. 

Perempuan yang menyalakan hidup

Jika kemalasan, kejumudan, dan berbagai kesukaran hidup kita gambarkan sebagai sesuatu yang "redup", maka perempuan tangguh seperti Susiani adalah pejuang sejati yang tak berhenti berusaha untuk menyalakan hidup. Agar harapan terus berpijar dengan sumber daya terdekat dan lebih hemat seperti energi matahari.

Mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengutip pandangan menarik Eka Budianta -- penulis dan penyair sekaligus pemerhati masalah lingkungan. Sebagaimana diceritakan dalam buku Humanisme Bisnis, ia pernah diundang di sebuah diskusi panel untuk berbicara tentang usaha mengoptimalkan produktivitas tenaga kerja wanita.  

"Saya pikir topik itu sangat bersifat seksis, dan bisa dituduh bernada 'melecehkan' perempuan. Semua tahu di bumi ini tidak ada yang lebih produktif ketimbang perempuan. Mau dioptimalkan bagaimana lagi?" (h.24)

Pendapat Eka bisa dikonfirmasi dengan fenomena di lapangan. Menurut data Kemenko PMK, misalnya, per Juli 2020 ada sekitar 60% dari 64 juta UMKM di Indonesia yang dikelola oleh perempuan. Terutama ketika Covid-19, para wanitalah yang gesit mengambil kendali ekonomi keluarga menyusul para suami yang terkena PHK. Para perempuan begitu adaptif, luwes, dan tidak canggung menggali lahan baru demi mendapatkan pemasukan bagi keluarga.

Inilah sekeping hikayat para perempuan yang berhasil menghapus masalah dengan memilih solusi yang masuk akal. Memilih energi baru terbarukan sembari melestarikan tradisi, yang berdampak luas bukan saja bagi perempuan lain, melainkan lingkungan yang kian mendesak untuk diselamatkan. 

Sumber tulisan:

  • wawancara langsung
  • Humanisme Bisnis (2003), penerbit Puspa Swara
  • Biogas Sumber Energi Alternatif (2019), penerbit PT Trubus Swadaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun