PROFESI EDITOR buku atau naskah terbilang belum populer di Indonesia. Dibanding penulis dan penerjemah, editor tak jarang terlupakan padahal perannya cukup besar sebelum sebuah buku terbit atau tulisan dipublikasikan.
Itulah sebabnya saya tak menyia-nyiakan kesempatan ketika Cak Kaji, yakni komunitas Kompasianer Jatim, mengajak saya berkolaborasi melalui IG Live pada Sabtu 25 Mei 2024. Senang betul saya bisa sharing pengalaman pribadi seputar dunia penyuntingan.
Sebagai pengalaman pertama, jadi narasumber dalam IG Live ternyata menyenangkan. Dibanding Zoom Meeting atau Google Meet, memang medianya cukup terbatas karena hanya bisa dilakukan lewat smartphone. Interaksi tak bisa leluasa seperti Zoom yang memungkinkan berbagi file presentasi dan responsif berupa suara atau video real-time.
Pertemuan dengan NH DiniÂ
Mbak Rahma yang memandu sharing session tadi malam mengawali dengan pertanyaan tentang sejak kapan saya menjadi editor. Dan kenapa tertarik menekuni profesi ini?
Suatu hari saya ikut acara peluncuran buku karya novelis produktif NH Dini pada awal kuliah di Undip Semarang. Saya beruntung menjadi peserta yang beruntung mendapatkan beberapa bukunya secara gratis dan ditandatangani oleh beliau.Â
Yang lebih menarik, beliau mengakui bahwa peran editor sangat besar dalam membuat karyanya menjadi bagus dan alurnya memikat. Pengulas buku juga menuturkan hal yang sama bahwa tangan dingin seorang editor sangat memengaruhi hasil akhir buku saat diterbitkan.Â
Dari situlah saya tertarik menjadi editor jika mendapatkan kesempatan. Ditambah pengalaman mengelola majalah dinding sewaktu SMA kayaknya redaktur, keinginan menjadi penyunting kian membuncah.
Dari buku sekolah ke motivasiÂ
Syukurlah akhirnya ada kesempatan bekerja sebagai editor di sebuah penerbitan buku sekolah di Ciawi, Bogor. Kesempatan berikutnya datang dari penerbitan buku umum untuk genre motivasi dan bisnis di Depok meskipun tak bertahan lama karena alasan kesehatan.Â