Mohon tunggu...
Isnaini Khomarudin
Isnaini Khomarudin Mohon Tunggu... Full Time Blogger - penggemar kopi | pemburu buku bekas

peminat bahasa daerah | penggemar kopi | pemburu buku bekas

Selanjutnya

Tutup

Surabaya Pilihan

Mlaku-Mlaku Nang Tunjungan, Kopdar Kompasianer Jadi Menyenangkan

24 Mei 2024   09:40 Diperbarui: 24 Mei 2024   09:57 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SEBAGAI ORANG Jawa Timur, kawasan Tunjungan di Surabaya sudah saya dengar sejak kecil. Salah satunya lewat lagu Rek Ayo Rek yang dipopulerkan Mus Mulyadi dan belakangan dinyanyikan lagi oleh mendiang Didi Kempot. Dari liriknyaa yang sederhana, lagu ini adalah ajakan pada seorang teman untuk jalan-jalan menyusuri Jalan Tunjungan, dengan tujuan santai atau having fun.

Ketika pindah ke Lamongan, makin seringlah kami melewati jalanan ini setiap kali berkunjung ke Surabaya. Main ke rumah teman atau urusan kerjaan, Tunjungan tak pernah lepas dari pandangan karena jalanan ini memang terkenal dan dilewati jalur utama transportasi umum.

Kawasan bersejarah

Begitu sampai di Gedung Siola, kita akan mendapati patung seorang lelaki dalam posisi setengah duduk menghadap jalanan. Tangan kanannya memegang bambu runcing dengan kibaran bendera, sedangkan tangan kirinya terkepal ke depan penuh kekuatan terlihat dari wajahnya yang bersemangat.

Dialah Cak Madun, arek Suroboyo asal Genteng Kali yang berani menghadang para serdadu Inggris saat hendak menguasai Surabaya tahun 1945 silam. Berbekal senapan mesin, Madun menghujani penjajah dengan peluru agar teman-temannya bisa bergerak mundur lantaran pasukan Inggris merangsek membabi-buta.

Nahas, Cak Madun kemudian gugur setelah terkena tembakan dari meriam tank Inggris. Madun terkulai tak berdaya, memeluk senapan mesinnya. Suasana haru pun menyergap, teman-temannya lantas berusaha mengevakuasi dirinya.

Selain diceritakan Ady Setyawan dalam buku berjudul Surabaya di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu?, kisah ini diperagakan dalam pertunjukan teatrikal dalam Festival Peneleh 2023 di depan Gedung Siola. Kami sekeluarga beruntung bisa menyaksikannya setelah mengikuti acara Java Coffee Culture (JCC) yang digelar oleh Bank Indonesia Jatim.

Warga memadati Java Coffee Culture di jl. Tunjungan (Dok. pri)
Warga memadati Java Coffee Culture di jl. Tunjungan (Dok. pri)

Dalam Festival Peneleh tersebut, pemerintah kota Surabaya bersinergi dengan pihak kompeten lainnya untuk mengangkat industru kreatif, produk-produk UMKM, termasuk kopi yang pasarnya masih sangat besar karena Jawa Timur punya sentra kopi yang cukup beragam dan terkenal, salah satunya di Banyuwangi.

Wisata kuliner bikin ngiler

Dalam perhelatan JCC itu, kami bener-benar terpesona oleh kekayaan kopi Nusantara dan industri kopi yang sebenarnya masih sangat seksi untuk digeluti. Persaingan besar, menurut para presenter,berasal dari Brazil dan Vietnam yang sama-sama menyuplai komoditas kopi internasional.

Namun, lebih dari itu kenikmatan kuliner di kawasan Tunjungan jelas tak terlupakan. Selain kedai-kedai di sepanjang jalan, jangan lupa mencicipi menu-menu lezat persembahan chef andal Platinum Hotel di jalan yang sama. Kudapan dan santapan besar semuanya nikmat, termasuk kopi dengan gula aren yang bikin saya terkesan.

Daging lada hitam dan pepes ikan sedap bukan main (Dok. Ernest)
Daging lada hitam dan pepes ikan sedap bukan main (Dok. Ernest)

Anak-anak yang mengambil nasi goreng, sayur pokcoy, dan puding pun tak henci menceritakan pengalaman kuliner mereka walau setahun sudah berselang. Tak heran jika saya akhirnya mengiyakan kopdar Kompasianer Jatim di Platinum Hotel tanggal 16 Mei 2024.

Hotel ini bisa jadi pilihan dengan beberapa alasan. Pertama, mudah dijangkau baik dengan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Dari Stasiun Pasar Turi, kita bisa menumpang Suroboyo Bus dengan tiket Rp5.000 dan turun tepat di halte Siola. Kalau ingin naik taksi online pun bisa, biayanya murah karena cukup dekat.

Alasan kedua Hotel Platinum layak jadi tempat menginap keluarga juga berbagai acara penting adalah karena city view-nya yang memukau. Hotel ini sepintas tak terlihat dari trotoar. Namun, dengan beberapa langkah kaki, kita akan segera tiba di lobi yang cukup mewah. 

Dengan arsitektur vertikal, Platinum Hotel jelas ingin 'menjual' panorama Surabaya dari ketinggian, terutama di saat malam sebagai daya tariknya. Sewaktu kami kopdar, lokasi meeting room berada di lantai 18 sehingga langsung bisa menikmati pemandangan cantik kota Surabaya di saat senja.

Latar kota Surabaya di waktu malam (Dok. Nurul)
Latar kota Surabaya di waktu malam (Dok. Nurul)

Untuk ukuran hotel bintang 4, masakan ala chef Platinum sangat menggugah selera. Bumbunya enggak pelit sehingga rasanya maknyus beneran. Daging lada hitam, misalnya, paling berkesan di lidah. Aromanya harus, dagingnya lembut, dan rasa gurih pedasnya sangat seimbang.

Belum lagi pepes ikannya, juga enggak kalah mantap. Orang Jawa bilang, bumbu jangkep-nya berpadu sempurna, membuat cita rasa ikan semakin menguar dengan tekstur lentur tapi tak kehilangan esensi proteinnya. Serius, recommended!

Bagi penyuka makanan berbasis sayuran, ada gado-gado dengan sambal kacang yang medok dan terasa legitnya. Saya ingat di beberapa bacaan atau video, orang bule paling suka masakan berbahan saus kacang, salah satunya gado-gado. 

Gado-gado khas Platinum Hotel, dijamin bikin lidahmu gemeter. (Dok. Ernest)
Gado-gado khas Platinum Hotel, dijamin bikin lidahmu gemeter. (Dok. Ernest)

Sacha Stevenson, komedian dan presenter asal Kanada, bahkan sempat ingin berjualan sambal kacang khas gado-gado di negaranya, saking cintanya pada ramuan khas Jawa ini. Sayangnya, aturan pendirian bisnis di negaranya cukup ketat, tak semudah di Indonesia dengan cukup memasang meja dan kursi di pinggir jalan. 

Bukan cuma itu, Platinum Hotel punya serangkaian camilan yang disajikan dalam "sekali hap", sungguh menggugah selera. Kue legit atau sandwhich lezat, tinggal pilih mana yang disuka. Buah-buahan potong pun tersedia. Tutup dengan infused water, air mineral dingin, atau kopi gula aren--wow!

Aneka camilan, tinggal leb! (Dok. Ernest)
Aneka camilan, tinggal leb! (Dok. Ernest)
 

Yuk jalan ke tunjungan 

Jika sobat Kompasianer lebih suka jajanan ala kedai, jangan khawatir. Tinggal jalan ke luar hotel untuk menemukan warung atau resto yang menjajakan makanan khas Jatim atau menu lainnya. Jangan lupa juga memanfaatkan spot-spot keren untuk berfoto bersama sahabat atau pasangan tercinta.

Deretan penjaja kopi Nusantara di Jalan Tunjungan (Dok. pri)
Deretan penjaja kopi Nusantara di Jalan Tunjungan (Dok. pri)

Sebagai ikon Surabaya,Tunjungan memang kian menarik dikunjungi setelah direvitalisasi. Surabaya pun terus berbenah, terutama dengan taman yang terus bertambah dan transportasi publik yang semakin nyaman. Tua muda bisa main ke sini, sendiri atau rame-rame, semua bakal bahagia. 

Sebab kebahagiaan enggak harus sesuai kata orang kan, ke luar pulau atau ke luar negeri misalnya. Cukup melipir ke Jl. Tunjungan pun sudah menyenangkan. Apalagi kalau bisa kopdar, silaturahmi dengan komunitas untuk berbagi ilmu atau pengetahuan sambil makan aneka jajanan khas. Gaspol deh! 

Rek ayo rek mlaku-mlaku nang Tunjungan

Rek ayo Rek rame-rame bebarengan 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Surabaya Selengkapnya
Lihat Surabaya Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun