Kalau sudah mendekati masa mudik, mulailah bermunculan kekhawatiran para pemudik yang akan dicecar dengan sejumlah pertanyaan klise yang sangat tidak mengenakkan. Pertanyaan-pertanyaan itu entah serius dilontarkan karena ingin mendapatkan jawaban, sekadar basa-basi pembuka percakapan, atau malah sebentuk 'persekusi'.
Salah satu pertanyaan klasik yan muncul selama lebaran adalah, "Kapan nikah?" yang lazim ditujukan kepada mereka yang masih melajang. Cowok atau cewek, rata-rata mereka tak nyaman menghadapi pertanyaan semacam ini. Ada yang menjawab sekenanya, sebagian merespons dengan ketus, dan sebagian lain bisa santai mengabaikannya.
Memang lucu hidup ini, setidaknya kehidupan sosial di Indonesia. Kadang hal-hal yang tak perlu menjadi konsumsi publik malah dibicarakan dengan semangat. Disinggung-singgung sampai dibahasa selama percakapan antara banyak orang. Misalnya ya itu tadi, pertanyaan kapan seseorang akan mengakhiri masa lajang yang kerap diucapkan saat momen silaturahmi lebaran. Alih-alih membangun keakraban, basa-basi itu malah bikin persahabatan basi dan akhirnya mungkin terputus.
"Kapan nikah?"
Tentang pertanyaan sejuta umat ini, sebaiknya jangan diambil pusing seumpama dilontarkan kepada kita. Jika sekonyong-konyong ditanya demikian, coba ambil napas dalam-dalam lalu jawab dengan kalimat sebagaimana berikut.
- "Udah banyak yang naksir. Banyak juga yang ngebet ngajak nikah, tapi gua tolak. Habis pada ngejar duit gua sih! Maklum horang kayah..."
- "Nunggu jadwal presiden luang karena beliau tar yang jadi saksi nikah gua."
- "Sebenarnya sih udah nikah, tapi lu aja yang kagak gua undang. Kismin lu, takutnya ga bisa beli tiket ke Maldives buat resepsi pernikahan gua."
"Kapan nambah momongan?"
Pertanyaan template lainnya berhubungan dengan jumlah anak yang mesti ditambah. Seolah penanya begitu peduli dan akan mendukung dengan limpahan materi sampai-sampai penasaran kapan kita hendak punya momongan lagi. Saya sering mendapat pertanyaan ini, gara-gara anak kami cuma dua dan itu lelaki semua.
"Kapan tambah anak, kan cewek belum?" atau "Kurang cewek nih, biar lengkap!"
Seolah-olah kalau betul punya anak cewek, maka hidup kami bakal sempurna dan mereka bakal diam tak berkomentar.
Lebih baik dijawab begini, "Gua sih lebih minat tambah aset. Tanah dan properti gua ada di mana-mana. Banyak yang kubagikan gratis buat yang enggak suka tanya-tanya beginian."
Bisa juga dijawab, "Tambah anak dari pasangan yang mana nih?" biar penanya makin bingung atau semakin kepo.
"Kok masih ngontrak?"
 Di Indonesia punya sesuatu itu segalanya. Seolah kepemilikian adalah wujud keberhasilan sekaligus kesempurnaan. Punya kendaraan, punya rumah, punya suami/istri, anak, dll., itu adalah simbol kesuksesan sekaligus prestise sosial. Faktanya, tak satu pun bena-benar menunjukkan kepribadian kita--apalagi kebahagiaan.