Saya merespons permintaannya dengan pertanyaan, “Memangnya nenek mau ke mana?” yang memunculkan jawaban bahwa gereja di Jalan Kinameng tak jauh dari Gedung Golkar itulah tujuannya.
Saya mendadak kalut. Kalau saya antar, berarti kesempatan ikut qiyamullail di Namira melayang. Padahal saya sudah lama menanti kesempatan ini, terbayang aura dan momen khusyuk saat fajar--berdekatan dengan Tuhan.
Namun kalau saya tolak, kasihan dia harus menunggu entah berapa lama karena saat itu tak satu pun bentor atau tukang becak terlihat melintas. Sesekali memang ada satu dua motor melaju, sepertinya pedagang yang mau kulakan barang di Pasar Induk Sidoharjo.
Dilematis betul. Jalan Kinameng yang dituju Bu Ninik ada di sisi utara sementara Masjid Namira terletak di sisi selatan melewati Pasar Sidoharjo. Dengan kalkulasi cepat, saya bakal tiba di Namira sebelum Subuh, yakni saat qiyamullail sudah selesai dikerjakan.
Singkat kata, kupacu motorku menuju gereja sesuai arahannya. Di atas motor Supra Fit butut (yang kupinjam dari adik ipar) itulah saya kemudian berkenalan singkat.
Selain memberitahu nama dan usianya, Bu Ninik bilang bahwa putra semata wayangnya bekerja di Surabaya. Dia enggan membangunkan sang anak karena baru pulang kerja larut malam. Si anak sebenarnya menyanggupi pengantaran kalau ia dibangunkan, tapi Bu Ninik memilih berjalan.
“Anaknya enggak ikut ke gereja, Nek?” giliran saya bertanya.
Dia menjelaskan bahwa putranya seorang muslim, ikut agama sang istri.
“Enggak apa-apa, Nak. Semua bebas asal nyaman,” ujarnya dengan suara datar tapi tegas.
Di atas motor juga dia bercerita tentang mendiang suaminya yang berasal dari Surabaya. Sang suami dimakamkan di Kuburan Cina yang lokasinya ternyata tak jauh dari Namira.
Saya baru tahu ada pemakaman Cina di Lamongan, termasuk Gereja Shalom yang terletak di Jalan Kinameng padahal jalanan kecil itu sering saya lewati dari stasiun menuju rumah.