Minggu pagi di penghujung Desember 2023, saya memacu motor ke Masjid Namira dengan maksud ikut shalat tahajud berjemaah di sana. Biasanya kami datang pas azan Subuh, lalu shalat dan mendengarkan kajian pagi.
Berkali-kali panitia menginformasikan bahwa setiap Minggu dini hari di Namira dihelat qiyamullail. Ingin betul saya merasakan sensasi shalat di keheningan malam, saat embun menyapa rerumputan. Kebetulan hari itu saya datang sendirian, tanpa anak-anak.
Namun, rencana rupanya tinggal rencana. Belum juga bisa terlaksana. Ada dua hambatan yang membatalkan impian tersebut.
Pertama, saya sempat tertahan nyaris 30 menit karena gerbang masih terkunci ketika satpam patroli keliling perumahan. Pos keamanan dan gerbang harus dikunci karena hanya ada satu satpam yang berjaga.
Seorang nenek bernama Ninik
Sembari menunggu satpam kembali, saya melihat seorang pengendara motor lain juga hendak keluar. Pemuda berusia 30-an ini menunggang motor sport, entah Honda CBR atau Kawasaki Ninja—yang jelas ber-cc tinggi.
Beberapa menit kemudian, seorang wanita tua muncul dari blok II tak jauh dari pos keamanan. Belakangan kuketahui namanya Ninik Suryani dan usianya 70 tahun sehingga lebih tepat kusebut nenek ketimbang ibu.
Ia berjalan lemah menuju gerbang perumahan, jelas terlihat hendak keluar. Ia menghampiriku dan berujar lirih, "Nak, boleh numpang ke depan?” katanya dalam bahasa Jawa ngoko.
Aku mengiyakan karena tak tega membiarkan nenek sepuh itu berjalan sendirian ke pinggir jalan raya. Dari sana ia akan menyetop becak atau ojek menuju tempat yang ia tuju.
Jarak perumahan ke pinggir jalan raya berkisar 1,5 km lewat jalanan dengan paving block yang tidak rata, juga berlubang. Selain itu, jalan itu sepi, sisi kiri berupa tanah kosong penuh semak belukar sedangkan sisi kanan kebanyakan sawah atau tambak.
Ternyata mau ke gereja
Nenek ini bertanya lagi sesaat sebelum saya turunkan di pinggir jalan, tak jauh dari kantor Polsek kota. “Nak, apa mungkin bisa antar saya ke Ndapur?” tanyanya polos tetap penuh kesopanan.