Kehidupan yang seimbang menjadi buruan setiap orang. Isu ini boleh jadi hal yang sangat relevan pada masa sekarang ketika era serbadigital membuat kehidupan semakin cepat dengan konsumsi gawai yang tak mungkin dihindari. Pemakaian internet sudah jadi bagian dari kebutuhan sehingga butuh kebijakan dan kesadaran agar hidup tetap seimbang. Â
Pada bulan Ramadan, kita patut menepi sejenak dan meluangkan waktu untuk merumuskan apa yang benar-benar penting sebagai bagian dari keseimbangan hidup. Mewujudkan kesimbangan hidup bisa kapan saja, tapi orang kadang butuh momentum untuk memulainya--lebih-lebih untuk memaknai kegesitan dunia dalam sudut pandang spiritual.
Sudut pandang tentang doa
Menurut saya, hidup (life) memang kompleks dan tak bisa dipisahkan dari pekerjaan (work) dan ibadah. Malah dalam konteks agama Islam, keseluruhan hidup merupakan ibadah. Beraktivitas apa pun bernilai ibadah, termasuk bekerja dan bahkan berdoa. Hal terakhir inilah yang kerap terlupa.
Selama ini dianggap semata-mata sebagai permohonan kepada Tuhan. Yaitu serangkaian permintaan yang kita panjatkan kepada Allah SWT, apa pun bentuknya yang jika terpenuhi akan menciptakan kepuasan bagi kita. Jadi, sudut pandangnya berpusat pada kita, kitalah yang wajib diperhatikan sedangkan Tuhan menjadi pihak yang mengabulkan.
Itu memang benar dan Allah sendiri berjanji untuk mengabulkan setiap permintaan (doa). Namun, setelah mengikuti suatu kajian suatu sore di bulan Ramadan pekan lalu, saya mendapat suntikan pencerahan yang sangat menarik. Bahwa doa adalah ibadah. Bahkan doa menjadi ibadah yang rinciannya banyak di dalam hadis Nabi dibanding ibadah-ibadah lainnya.
Addu'a huwal 'ibadah. (Nabi Muhammad Saw)
Perspektif baru tentang doa ini menegaskan bahwa doa bukan sekadar apa yang kita meminta, melainkan sebentuk penghambaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Saya dulu pernah mendengar seorang ustaz bilang bahwa doa adalah inti ibadah.Â
Kalimat tersebut mengimplikasikan dua pengertian. Pertama, memanjatkan doa berarti menjalankan perintah Allah SWT. Bukan cuma kita asyik meluncurkan doa sampai berbusa-busa agar diijabah, melainkan inilah wujud kita patuh pada perintah-Nya.Â
Kedua, berdoa menunjukkan kelemahan kita sebagai hamba. Kita memutus pengharapan kepada selain Tuhan dengan memercayai Allah untuk membantu kita dalam eksekusi setiap hal melalui doa. Memilih Allah saja sebagai Tuhan Pengabul harapan adalah keputusan untuk membangun kesadaran.Â
Inilah intinya: sadar. Mengingat dunia bergerak semakin cepat, kebutuhan semakin meningkat, nah kalau kita tak sadar maka harapan-harapan yang kita panjatkan bukankah sekadar peluapan emosi yang egosentris tanpa spirit penghambaan diri.
Hidupkan ibadah demi keseimbangan hidup
Singkat kata, menyadari doa sebagai bentuk ibadah dan sekaligus ekspresi kebergantungan kita pada Allah akan mengantarkan kita pada pemahaman bahwa terserah Allah mau mengabulkan atau tidak. Tugas kita hanya meminta dengan kenikmatan, dengan penuh kerinduan. Toh dengan berdoa pun kita sudah mendapatkan pahala.
Lalu di mana kita meletakkan doa ini dalam narasi keseimbangan hidup? Karena doa adalah ibadah, maka semua hal yang terjadi pada kita--baik yang kita minta secara sengaja atau tidak--merupakan bukti kesempurnaan hidup. Kesehatan, rezeki, keluarga, karier, lingkungan sosial, dan sebagainya tak mungkin bisa kita nikmati tanpa kesadaran bahwa kita ini hanyalah penerima. Kita sebatas meminta dan oleh karena itu wajib bersyukur.
Itulah sebabnya hidup yang seimbang berarti hidup yang diwarnai dengan ibadah--termasuk sesederhana memanjatkan doa. Di tengah kepungan godaan dunia modern, berbagai kebutuhan yang beragam, ujian kesehatan atau keturunan, serta tanggung jawab lain yang tak mungkin kita hindari, kita harus yakin dan percaya diri bahwa semua masalah ini terjadi demi menjaga keseimbangan hidup.
Keberlimpahan atau keterbatasan, pemenuhan atau kekosongan, semua menjadi tak berarti kalau kita melandasi setiap aktivitas dengan semangat ibadah. Semua kejadian atau peristiwa akhirnya sekadar warna-warni indah dunia sebab kita memandangnya dalam kaca mata seorang hamba. Yang lemah dan butuh Tuhannya, yang kerdil dan tak mungkin keluar dari kenikmatan ibadah walau hanya dalam tataran imajinasi.
Bismillaah. Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H