Mohon tunggu...
Isnaini Khomarudin
Isnaini Khomarudin Mohon Tunggu... Full Time Blogger - penggemar kopi | pemburu buku bekas

peminat bahasa daerah | penggemar kopi | pemburu buku bekas

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Artikel Utama

Impulsive Buying dan Diderot Effect: Memang Butuh Promo atau Sekadar FOMO?

21 Maret 2024   13:19 Diperbarui: 1 April 2024   02:28 2438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PAGI INI seorang teman blogger mengirimkan pesan di grup WhatsApp tentang digelarnya promo belanja Ramadan/lebaran di pendopo alun-alun kota. Sepertinya pas untuk diliput lalu ditulis sebagai artikel di Kompasiana, demikian usulnya.

Karena saya sibuk umbah-umbah alias mencuci baju segunung, saya pun urung melipir ke lokasi promosi belanja tersebut. Bukan tak menghargai informasi yang diberikan, tetapi saya merasa belum perlu belanja apa-apa sehingga takut waktu malah terbuang percuma. Selepas mencuci baju dan menjemurnya, saya lanjutkan dengan mengedit sekaligus menulis untuk blog di laptop.

Godaan promo yang menggiurkan

Godaan promo Ramadan atau lebaran memang masif tersebar, dan rata-rata terkesan sangat menggiurkan. Sebagai contoh, saya baca di layar ponsel tentang iklan sebuah lokapasar (marketplace) berwarna hijau. Kebanyakan terlihat begitu menguntungkan banget karena harganya murah padahal barangnya bagus. 

Atau bisa juga harganya normal tapi ada hadiah tambahan dengan barang unik yang sulit didapatkan. Kasus lain, harga dinaikkan sedikit tapi kita dapat paket belanja dengan iming-iming cashback poin yang bisa digunakan kemudian. 

Dan ada pula tawaran di beberapa lokapasar di mana item barang dipajang dengan harga lebih rendah dalam rentang waktu tertentu. Harga tinggi dicoret dengan harga baru yang lebih "memukau". Kalau jiwa dan pikiran tak dikendalikan, jangan heran bahwa mata bisa silau dan hati bisa galau. 

Hati-hati Impulsive buying

Kalau tidak mampu mengendalikan diri, bisa-bisa kita termakan oleh gencarnya promosi melalui media sosial ataupun aplikasi di gawai. Tampilan visual yang menarik, kemasan copywriting yang membuai, dan harga yang seolah sangat bersahabat sangat mungkin bisa menjerumuskan kita pada impulsive buying.

Mungkin kita pernah mengalami refleks belanja macam-macam tanpa rencana matang lalu barang yang kita beli akhirnya berakhir sebagai timbunan sampah yang tak memberi faedah? Tak perlu contoh yang besar, setingkat menu takjil berbuka saja kita bisa kalap. Lapar mata menghanguskan logika. Porsi makan normal kadang terabaikan oleh imajinasi kelezatan makanan sebab dibeli saat perut kosong.

Belanja karena kebutuhan atau impulsive buying? (Dokumentasi pribadi)
Belanja karena kebutuhan atau impulsive buying? (Dokumentasi pribadi)

Contoh lain: di aplikasi berbasis video yang terkenal dengan barang-barang unik yang dijual murah, tak jarang orang tergoda untuk membeli produk walau mungkin belum perlu. Misal beli baju atau daster supermurah padahal kualitasnya payah sehingga akhirnya terbuang jadi sampah. Atau perabotan berbahan plastik yang cepat rusak dan lagi-lagi teronggok sebagai limbah.

Kalau sudah begini, kita bukan cuma buang uang tetapi mempercepat laju sampah di muka bumi karena limbah yang susah terurai. Uang yang terlihat sedikit itu sebenarnya bisa kita tabung atau manfaatkan untuk donasi bagi mereka yang lebih membutuhkan. Ketimbang dibelanjakan untuk barang yang tidak benar-benar kita perlukan. Bukankah mubazir dan rugi jika berburu karena sekadar dorongan FOMO? 

Waspadai Diderot Effect

Sebelum menutup tulisan ini, saya ingin bercerita tentang hal yang saya alami sendiri. Tentang baju dan celana yang jumlahnya terbatas. Singkat kata, istri saya bersikeras agar saya beli celana baru sementara saya merasa cukup 3 potong saja untuk berbagai aktivitas. Toh saya tak lagi mengantor, jadi pakai celana hanya saat ada undangan acara bloger di Surabaya atau acara kenduri nikahan, misalnya.

 Alasan saya enggan beli bukan sekadar demi menghemat pengeluaran tetapi lebih karena kebutuhan. Setelah dipikir-pikir, ternyata saya cenderung memakai celana atau baju yang itu-itu saja.

Artinya, baju atau celana yang sama berulang untuk acara berbeda. Karena favorit, entahlah, atau lantaran praktis karena tak perlu proses memilih.

Dan betul, dengan punya banyak barang (dalam hal ini pakaian), saya malah bakal kesulitan untuk menimbang mana yang akan dipakai untuk suatu acara. Kecuali jika acara itu mensyaratkan dress code tertentu. Minimnya koleksi busana malah menghemat waktu untuk tak memilih dengan ketat. 

Lalu saya temukan artikel menarik di sebuah esai pendek tentang Diderot Effect. Teori ini diambil dari nama orang yang bersangkutan, yakni Denis Diderot, seorang penulis dan filsuf asal Prancis.

Pada usia 52 tahun, pria itu dikabarkan sulit menikahkan putrinya lantara soal biaya. Untunglah, kaisar perempuan Rusia Yekatrina Agung berkenan membantu Diderot dengan membeli koleksi perpustakaannya senilai kira-kira 50.000 dolar.

Perasaan butuh beli ini itu padahal tak perlu (suakaonline.com) 
Perasaan butuh beli ini itu padahal tak perlu (suakaonline.com) 

Singkat kata, selain berhasil mengantarkan putrinya menikah, Diderot bisa membeli jubah baru berwarna kirmizi. Keindahan dan kemewahan jubah baru ini seketika terlihat mencolok di antara deretan benda yang ia miliki di rumah. Semua jadi tampak biasa saja. 

Guna menciptakan harmoni dengan jubah baru tersebut, Diderot akhirnya membeli benda-benda lainnya. Dari permadani khas Damaskus hingga patung-patung menawan, semua kini terhampar dan terpajang di rumahnya. Benda-benda lama mesti dibuang karena terlihat usang dibanding jubah kirmizinya.

Dari sanalah istilah Diderot Effect muncul. Jika kepemilikan barang baru menimbulkan spiral konsumsi yang mendorong untuk beli dan beli barang lain di luar kebutuhan, waspadalah bisa jadi Diderot Effect tengah menggerogoti. Kalau kita tidak teliti sebelum membeli, beli barang atas godaan promo apalagi FOMO, jangan salah jika suatu hari kita malah dirundung rasa lelah akibat rongrongan melengkapi barang baru padahal barang lama masih banyak yang bisa dimanfaatkan. 

Jajanan jadul juga asyik untuk menjamu tamu saat lebaran. (Dokumentasi pribadi)
Jajanan jadul juga asyik untuk menjamu tamu saat lebaran. (Dokumentasi pribadi)

Lebih berbahaya lagi kalau uang yang kita gunakan adalah pinjaman. Spiralnya bisa lebih mengerikan. Barang yang dibeli tak diimbangi dengan daya beli yang sesungguhnya, terutama di saat ekonomi sulit saat ini. Kalau hanya bisa menjamu tamu dengan kue tradisional, tak perlu memaksakan beli kue kering yang enak dan mahal.

Menurut hemat saya, ini berlaku pula selama Ramadan dan lebaran dalam menghadapi promosi yang digencarkan. Busana baru, hidangan tamu lebaran, gawai terbaru, atau item-item lain jangan sampai kita beli melulu sebab ingin ikut tren atau memuaskan hasrat pribadi yang belum berhasil melengkapi koleksi. Dengan atau tanpa judul PROMOSI! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun