BEBERAPA waktu lalu sebuah fragmen video muncul di linimasa Facebook saya. Seorang pengendara motor menendang bebatuan yang menghalangi jalannya. Ia lantas melaju.Â
Lalu datanglah seorang pengayuh sepeda melewati jalan yang sama. Mendekati bebatuan yang sama, kaki kanannya terlihat menendang sebagaimana pengendara motor sebelumnya.
Pengguna jalan ketiga agak berbeda. Sorang wanita tengah mendorong kereta bayi di trotoar. Meskipun tak terhalang oleh bebatuan tadi, rupanya ia menghentikan langkah.Â
Ia beranjak turun untuk memindahkan empat batu ke tepi jalan. Bayi imutnya tampak menggunakan empeng, wajahnya fokus memandang sang ibu yang sibuk sendiri. Trotoar tenang di sebuah perumahan.
Di luar dugaan, pada bongkah batu terakhir ternyata terdapat beberapa lembar uang yang segera dipungut wanita tersebut. Dari sini bisa diduga bahwa video tersebut adalah sebuah bentuk social experiment yang sudah lama marak di media sosial.
Es batu berhamburan di jalan
Namun, yang menarik bukan soal social experiment atau nilai imbalannya. Menyaksikan video pendek itu, memori saya lantas terlempar pada suatu malam sepulang menjemput anak-anak mengaji. Mungkin tahun 2019 ketika wabah belum melanda.
Di depan SPBU Jl. Basuki Rahmat, tak jauh dari GOR Lamongan, terlihat butiran es batu berserakan di jalanan beraspal. Lazimnya di Indonesia, es batu jenis ini biasa dijual bersama es teh atau campuran jus. Mungkin seseorang tak sengaja menjatuhkannya. Atau ia sadar telah menjatuhkan dan kerepotan jika harus membereskannya.
Saya putuskan berhenti sejenak guna menunggu kalau-kalau ada orang yang bakal menyisihkannya ke tepi jalan. Rupanya dugaan saya meleset. Pengendara dan pengguna jalan hanya berlalu lalang tanpa ingin membereskan hempasan es batu yang sebenarnya sangat berbehaya, apalagi di saat malam.
Mereka cenderung menghindari serakan es batu tersebut kendati jalanan depan SPBU selalu ramai juga lantaran dekat dengan lampu merah di perempatan Jl. Pahlawan.
Tanpa pikir panjang, saya memarkir motor di tempat aman dan meminta duo Xi untuk menunggu di dekatnya. Saya menyeberang ke sebuah toko gerabah tepat di samping SPBU untuk meminjam sapu lidi bertongkat. Saat jalanan akhirnya sedikit lengang, saya bergegas menyingkirkan butiran es batu yang jumlahnya cukup banyak itu.
Tak butuh waktu lama untuk menuntaskan pekerjaan sepele itu. Karena memang bukan tenaga atau materi, melainkan soal kesanggupan dan kepedulian. Inilah barangkali yang termasuk dalam fenomena bystander effect. Ketika terjadi keganjilan sosial, misal kenahasan di jalan, tak jarang orang berkerumun tapi enggan menolong. Mungkin ada yang malah sibuk mendokumentasikan. Berdasarkan penelitian psikolog, kecenderungan ini terjadi sebab orang-orang saling bergantung dan berpikiran bahwa akan ada orang yang melakukan (memberikan bantuan).
Pandawara dan pantai terkotor di Sukabumi
Kepedulian di ruang publik patut dipertanyakan pada masa kini justru saat teknologi mengalami kemajuan luar biasa. Anak-anak dan generasi muda harus didorong untuk punya sikap empati dan bukan apati. Harus ada yang memulai melakukan sesuatu walaupun terlihat tidak populer atau bahkan berpotensi dicemooh.
Kasus viral antara Pandawarayang hendak membersihkan Pantai Cibutun Loji bisakah diletakkan dalam konteks bystander effect? Saya pribadi berpikir demikian. Inisiatif mulia perlu disambut dengan kebaikan serupa, bukan asumsi untuk mencapai popularitas atau melampai pamor pihak tertentu.
Tentu ada wilayah perizinan yang harus diizinkan, tapi bahwa Pandawara telah memulai sebuah langkah konkret menjadi hal yang patut dipuji dan diteladani. Tanpa menunggu sesuatu yang bisu, mereka bergerak untuk menyelesaikan problem publik.
Banyak orang bisa menunggu lalu menyalahkan saat ada sekelompok yang mengajukan solusi. Tak sedikit orang memilih diam ketimbang berpartisipasi dalam peran publik yang menimbulkan konsekuensi dan tantangan.
Social alertness
Saya teringat pada seorang bloger gaek yang ngeblog di blogcamp.com, yakni Pakde Cholik. Jenderal bintang satu ini terkenal peduli pada sesama narablog kala itu. Banyak hadiah dan lomba mudah yang ia selenggarakan untuk menebar virus literasi.Â
salah satu istilah yang saya kenang darinya adalah social alertness, yakni kesigapan untuk merespons atau memberikan reaksi sepatutnya terhadap anomali di lingkungan sekitar lewat perbuatan semampu kita. Keganjian di ranah sosial harus ditanggapi secepat mungkin tanpa menunggu ada yang memulai.
Tentunya tidak mudah memulai sesuatu. Yang lebih mudah adalah saling menyalahkan, padahal kita bisa mulai membiasakan. Kalau spirit ini hidup dalam setiap keluarga, maka dampaknya bisa sangat luar biasa. Akan tercipta lingkaran kepedulian di luar dugaan.
Mungkin ibarat the butterfly effect, kepak sayap kupu-kupu mungil di hutan Brazil yang ternyata berdampak pada terjadinya badai di Texas sebagaimana disinggung dalam paper ilmuwan Edward Norton Lorenz tahun 1972.
Sebagaimana pantai yang kotor yang disasar Pandawara, maka butiran es batu yang tesebar di jalan pun tak kalah penting ditangani. Tak perlu menunggu korban atau kejadian aneh untuk mengambil sikap.
Jangan sepelekan tindakan kecil sebab kejutan sering kali hadir lantaran akumulasi hal-hal yang dianggap sepele. Siapa tahu ada hadiah istimewa (misalnya segepok uang) sebagaimana yanag diterima wanita baik hati yang menyingkirkan batu dari jalanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H