Syahdan, Imam Ahmad dihadapkan pada seorang tetangga yang iseng. Sebut saja julid dalam bahasa anak sekarang. Semua ia memanggila Imam Ahmad datang ke rumahnya, bilang bahwa dia ada hajat dengannya. Namun begitu beliau datang, dengan ringan lelaki tersebut berkata, "Saya tidak ada perlu dengan Anda, silakan pulang."
Imam Ahmad pun pulang tanpa perasaan dongkol, apalagi marah. Tak lama berselang, tetangga tersebut memanggil sang imam untuk kali kedua. Beliau pun memenuhi panggilannya seperti semula. Kali ini si tetangga kembali berseloroh, "Saya tak ada kepentingan dengan Anda. Silakan pulang." Imam Ahmad kembali ke rumahnya.
Ternyata tetangga julid itu memanggil sang imam untuk kali ketiga. Sebagaimana pada dua panggilan sebelumnya, lelaki itu dengan enteng mengatakan, "Saya tak ada perlu dengan Anda, silakan pulang." Imam Ahmad pulang yang kemudian disusul oleh tetangga julid.
Tetangga itu lantas bertanya, "Ya Imam, saya kan sudah bikin Anda jengkel, dengan memanggil tapi lalu memulangkan. Apakah Anda tidak marah sama saya?"
Imam Ahmad menjawab, "Tidak. Urusanku adalah menjalankan perintah Allah yang mewajibkanku memenuhi panggilan tetangga." Tetangga itu tentu saja terheran sebab sang imam rupanya tak terkecoh atau kegocek untuk dirundung kemarahan oleh ulah usilnya. Rupanya keisengan itu tak dianggao oleh sang imam sebab beliau hanya peduli pada perintah Allah.
Membebaskan keterikatan
Dari fragmen singkat yang bergizi itu, kita bisa memetik pelajaran penting. Bahwa membiarkan diri kita dikekang emosi karena kemarahan pada orang lain sangatlah tidak berguna. Alih-alih terpancing untuk naik pitam, sebaiknya kita ingat pada perintah Allah dan nasihat Nabi Muhammad yang senantiasa menganjurkan sikap sabar dan pemaafan.
Kita bisa saja fly off the handle (kata orang Inggris soal cepat marah) akibat sikap usil orang lain. Namun selalu ada opsi untuk menerima kenyataan dengan penuh kearifan, dengan hati lapang dan pikiran terbuka. Bahwa memaafkan bukan berarti kekalahan, melainkan tindakan aktif untuk memerdekakan diri dari keterkungkungan emosional.
Dengan terus-menerus menyimpan kemarahan pada orang, yakni enggan memaafkan baik mereka sudah atau belum meminta maaf, kita secara tak langsung membiarkan diri sendiri digerogoti energi negatif yang bisa menghancurkan. Reputasi dan kenyamanan hidup adalah taruhannya.
Tuhan Maha Pengampun, wajib ditiru kapan pun   Â
Menutup tulisan ini, saya teringat sebuah hadis populer yang tercakup dalam Hadis Arba'in Nawawi sebagai berikut. Mengingatkan momen indah saat belajar hadis di pesantren dulu.
Anas bin Malik mengatakan, "Saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda, "Allah SWT berfirman: 'Wahai anak cucu Adam, sesungguhnya selama engkau berdoa dan mengharap kepada-Ku, niscaya aku ampuni segala dosa yang ada padamu dan Aku tidak memedulikannya. Wahai anak cucu Adam, jika dosa-dosamu telah mencapai awan di langit, kemudian engkau meminta ampunan-Ku, niscaya Aku mengampunimu, dan Aku tidak akan memedulikannya. Wahai anak cucu Adam, sekiranya engkau mendatangi-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi dunia, kemudian engkau menghadap-Ku (meninggal dunia) tanpa menyekutukan Aku dengan apa pun, sungguh Aku akan memberimu ampunan sebesar dunia dan seisinya'." (H.R. At-Tirmidzi)
Jika Allah SWT senantiasa membuka pintu pemaafan, gerbang pertobatan bagi siapa pun yang berdosa setinggi gunung, semestina kita pun dapat memaafkan siapa saja yang bersalah atau kita anggap punya khilaf. Siapakah kita hendak menolak mereka yang meminta maaf?
Padahal dengan memaafkan, kita tengah memerdekakan diri dari kecamuk emosi atau rongrongan batin yang menyiksa dan kontraproduktif.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI