Mohon tunggu...
Isnaini Khomarudin
Isnaini Khomarudin Mohon Tunggu... Full Time Blogger - penggemar kopi | pemburu buku bekas

peminat bahasa daerah | penggemar kopi | pemburu buku bekas

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Ciptakan Aplikasi Bahasa Tolaki, Ikhtiar La Ode Mursalim Lestarikan Bahasa Daerah

28 Desember 2022   22:15 Diperbarui: 13 Maret 2023   20:15 1451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak suku Buton dan Muna di Sulawesi Tenggara (Foto: Korchnoi Pasaribu)

"ENAK YA KAMU, Rudi, bisa bicara beberapa bahasa berbeda!" ujar seorang teman bule asal Belgia suatu siang di pinggiran kota Semarang. Wajahnya jelas menyiratkan antusiasme sekaligus kekaguman pada saya dan seorang teman perempuan yang akan ia peristri.

Percakapan siang itu berlangsung dalamf tiga bahasa: Inggris, Indonesia, dan Jawa. Saat obrolan berjalan tiga arah, maka kami bercakap dalam bahasa Inggris. Adapun saya dan teman lebih sering bertukar omongan dalam bahasa Indonesia dan tentu saja bahasa Jawa bahasa ibu kami.

Takjub pada bahasa daerah

Teman bule tersebut takjub atas penguasaan bahasa kami sebab menurut penuturannya mereka tak punya bahasa ibu di Belgia. Tak ada yang namanya bahasa Belgia sebagaimana kita mengenal bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan di Nusantara.

Sehari-hari mereka berinteraksi dalam tiga bahasa resmi yaitu Belanda, Perancis, dan Jerman. Itu pun tidak semua orang menguasainya, termasuk bule ini yang lebih menguasai bahasa Belanda dan bahasa Inggris.

Matanya mungkin akan terbelalak seandainya mengetahui bahwa Indonesia memiliki setidaknya 718 bahasa daerah (menurut UNESCO) yang dipakai oleh ribuan suku (dan subsuku) dari Sabang hingga Merauke. Jadi selain bahasa Jawa yang ia kagumi, masih ada bahasa Minang, Sunda, Madura, Bugis, Banjar, Aceh, dan masih banyak lagi dengan kosakata yang unik dan kaya.

Bahasa daerah terancam punah

Maka miris betul ketika kita membaca berita di CNN Indonesia bahwa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) merilis 25 bahasa daerah di Indonesia yang terancam punah.

Ancaman kepunahan itu konon akibat penuturnya sudah berusia 20 tahun ke atas dan jumlahnya cukup sedikit. Malangnya lagi, bahasa-bahasa lokal tersebut tidak lagi digunakan oleh generasi tua saat bercakap kepada anak-anak tapi lebih banyak dipakai dengan usia sebaya mereka.

Semangat lestarikan  bahasa daerah (Gambar: arts.gov.au)
Semangat lestarikan  bahasa daerah (Gambar: arts.gov.au)

Bahasa daerah yang terancam punah antara lain Sangihe Talaud dari Sulawesi Utara, bahasa Konjo dari Sulawesi Selatan, bahasa Bajau Tungkai Satu dari Jambi, bahasa Lematang dari Sumatera Selatan, bahasa Minahasa dan bahasa Gorontalo Dialeg Suwawa dari Gorontalo.

Untuk mengatasi fenomena ini, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek mengadakan Revitalisasi Bahasa Daerah sebagai bagian dari program Merdeka Belajar.

Melalui program ini, bahasa daerah coba diperkenalkan kepada generasi muda, terutama mereka yang masih duduk di bangku SD dan SMP.

Revitalisasi bahasa daerah bagian dari Merdeka Belajar (Foto: itjen kemdikbud)
Revitalisasi bahasa daerah bagian dari Merdeka Belajar (Foto: itjen kemdikbud)
"Di sini para maestro, seniman, tokoh yang menguasai bahasa daerah, nyanyian daerah, berpidato, mendongeng, dan seni lain," ujar Khak selaku Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra kepada CNN Indonesia Rabu, 29 Juni 2022.

Bahasa daerah tersebut diajarkan kepada para guru oleh para penutur yang mumpuni agar bisa diajarkan kepada siswa sebagai generasi penerus.

Pentingnya digital presence

Aplikasi digital, ikhtiar penyelamatan bahasa daerah (Foto: saskatoon.ctvnews.ca)
Aplikasi digital, ikhtiar penyelamatan bahasa daerah (Foto: saskatoon.ctvnews.ca)

Selain itu, yang tak kalah mendesak adalah mendorong agar 718 bahasa daerah itu bisa hadir secara online seperti halnya bahasa Indonesia yang biasa diakses secara daring.

Keragaman bahasa dan kekayaan budaya yang tersimpan di dalamnya harus dilestarikan salah satunya dengan membangun digital presence karena tren masa kini adalah semuanya cenderung online berkat koneksi internet yang ada dalam genggaman.

“Sangat penting kebudayaan yang kaya dan keragaman linguistik yang dimiliki Indonesia didukung dengan akses online karena anak-anak muda sekarang kebanyakan digital native,” kata Prof. Yudho Giri Suchayo yang merupakan ketua PANDI (Pengelola Nama Domain Internet Indonesia) dalam cara semivirtual di Jakarta tangga 12 Desember 2020 silam.

Pelestari Tolaki dari Watuputih

Adalah La Ode Mursalim yang juga tergerak untuk melakukan sesuatu demi menyelamatkan bahasa daerah. Pemuda asal Watuputih, Sulawesi Tenggara ini telah menciptakan aplikasi Kamus Bahasa Tolaki berbasis Android.

Programming memang menjadi aktivitas yang sangat ia gemari sebagai bidang yang telah lama digeluti dan menjadikannya ahli.

La Ode Mursalim, pencipta aplikasi bahasa Tolaki (dok. istimewa)
La Ode Mursalim, pencipta aplikasi bahasa Tolaki (dok. istimewa)

Kecintaannya pada Sulawesi Tenggara telah mendorong dirinya untuk menciptakan aplikasi kamus bahasa Tolaki yang bisa diakses di smartphone ber-OS Android. Baginya jelas, ini adalah andil sederhana dalam rangka melestarikan bahasa suku Tolaki.

Tolaki adalah bahasa yang dipakai oleh Suku Tolaki yang merupakan suku asli Kendari. Sebagai ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara, Kota Kendari menyimpan keragaman budaya dan pesona pariwisata  yang selama ini menjadi destinasi wisatawan, baik domestik maupun internasional.

Tak sedikit pekerja lokal dan asing yang berkunjung ke Kendari baik untuk berwisata maupun dalam rangka kepentingan bisnis. Di mata Mursalim, kedatangan mereka adalah peluang yang mesti dimanfaatkan. Para pendatang itu, misalnya, butuh jasa penerjemah untuk memudahkan berinteraksi dengan masyarakat setempat.

Kehadiran aplikasi bahasa Tolaki di gawai akan menjadi solusi praktis untuk menjembatani penduduk lokal dan wisatawan luar agar berkomunikasi dengan agak leluasa.

Dua keuntungan sekaligus

Dengan demikian, aplikasi ini setidaknya membawa dua keuntungan sekaligus. Pertama, melestarikan bahasa daerah agar tidak punah. Anak muda setempat dapat terus menambah kosakata Tolaki berbekal aplikasi ini.

Keuntungan kedua, wisata lokal akan terdongkrak berkat naiknya kunjungan wisatawan ke Kota Kendari yang berdampak pada akselerasi ekonomi warga setempat. Apalagi didukung dengan keramahan masyarakat Kendari, maka pendapatan akan bisa dioptimalkan.

"Ide awal pembuatan aplikasi ini muncul ketika saya berdiskusi dengan teman-teman suku Tolaki yang menginginkan adanya aplikasi yang menerjemahkan bahasa Tolaki ke dalam bahasa indonesia," tutur lulusan Teknik Informatika dari Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang ini.

La Ode Mursalim mulai merancang dan menggarap aplikasi tersebut sejak awal Juni 2016 dan menyelesaikannya pada Agustus 2016.

Dalam merealisasikan aplikasi ini, Mursalim mengaku mendapat banyak dukungan dari orang-orang terdekat, salah satunya Alfino yakni mahasiswa Fakultas Teknologi Industri Unissula yang berperan sebagai penerjemah bahasa. Selain itu, Mursalim juga mendapat bantuan dari masyarakat suku Tolaki di Kendari untuk merampungkan aplikasi buatannya.

Aplikasi kamus bahasa Tolaki, secercah harapan pelestarian bahasa daerah. (dok. La Ode Mursalim)
Aplikasi kamus bahasa Tolaki, secercah harapan pelestarian bahasa daerah. (dok. La Ode Mursalim)
Aplikasi yang dikembangkan dengan dasar pemprograman bahasa Java ini boleh dibilang aplikasi kamus pertama berbasis Android untuk bahasa Tolaki. Tak heran jika kehadirannya telah ditunggu-tunggu oleh masyarakat Tolaki di Kendari.

Aplikasi ini mampu menampilkan kata dengan cepat dengan menerjemahkan dua bahasa yakni Indonesia dan Tolaki. Fitur Google speech juga tersedia sebagai media input yang memungkinkan suara langsung diubah menjadi teks.

Begitu aplikasi ini rampung, banyak teman Mursalim yang menggunakan aplikasi tersebut untuk membantu tugas akhir kuliah, termasuk yang bertanya mengenai cara mengembangkan aplikasi kamus bahasa daerah tersebut.

Kendala dan tantangan

"Kendala terbesar yang saya hadapi dalam merancang dan mengembangkan aplikasi ini adalah mulai dari pembuatan aplikasi, penyusunan dan penginputan kata ke dalam database serta kendala dalam mempromosikan aplikasi kepada seluruh masyarakat Tolaki sehingga masyarakat kurang paham adanya aplikasi ini," ujar Mursalim lugas.

Peliknya proses pembuatan aplikasi masih bisa diatasi, misalnya eror yang dikoreksi oleh teman-teman sesama programmer dan praktisi di grup forum pengembang Android.

Tantangan berikutnya adalah proses input data kamus. Sebagai sumber database, La Ode Mursalim mengandalkan Kamus Besar Bahasa Tolaki-Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sayangnya, "... kamus tersebut sudah jarang ditemukan di toko-toko buku atau perpustakaan daerah sehingga saya mencari langsung ke orang suku Tolaki yang masih menyimpan atau mengoleksi kamus tersebut," kata Mursalim serius.

Selain itu, promosi menjadi kendala tersendiri. Pengenalan aplikasi baru dilakukan melalui media sosial dan belum mendapat dukungan dari pemerintah daerah terkait. Mursalim berharap agar pengenalan aplikasi dapat memanfaatkan media berbayar sehingga jangkauannya lebih luas.

Tanggapan masyarakat Tolaki

Setelah mengetahui aplikasi kamus bahasa Tolaki selesai dikerjakan, masyarakat suku Tolaki di Kendari pun menyambutnya dengan gembira sebab aplikasi kamus pertama yang hadir di tengah-tengah mereka ini akan turut melestarikan bahasa daerah.

Selain mengapresiasi positif, mereka berharap agar aplikasi yang dibuat segera dirilis untuk diakses publik.

Mursalim lantas memperkenalkan aplikasi buatannya dengan membagikannya di berbagai kanal media sosial agar seluruh masyarakat Kota Kendari mengetahuinya. Namun karena kendala administrasi dan kurangnya dukungan pemerintah setempat, aplikasi ini belum dipatenkan.

Gadis Tolaki Sulawesi Tenggara (Foto: ANTARA FOTO/Jojon)
Gadis Tolaki Sulawesi Tenggara (Foto: ANTARA FOTO/Jojon)

Aplikasi pun segera diunduh oleh masyarakat Tolaki yang tinggal di Kota Kendari, Konawe, dan Kolaka. Namun sekali lagi, minimnya pomosi membuat Aplikasi kamus digital ini hanya diunduh oleh ratusan orang.

Tujuan dengan hadirnya aplikasi kamus Tolaki ini adalah ingin melestarikan kembali salah satu budaya suku Tolaki yaitu bahasa daerah dimana dengan kuatnya arus zaman globalisasi maka bahasa daerah dapat dipastikan akan punah kalau tidak dilastarikan dengan menghadirkan kreativitas baru dengan  cara memanfaatkan teknologi smartphone  berbasis android dalam menjawab tantangan tersebut.

Kendati yang mengunduh Aplikasi buatannya belum mencapai ribuan, dan bahkan aplikasi ini tak lagi tersedia di Google Paly Store, La Ode Mursalim berharap agar ikhtiar sederhana yang ia lakukan tidak berhenti sampai di sini.

"Saya juga telah diminta oleh masyarakat Buton untuk mengembangkan aplikasi kamus bahasa Buton sehingga memperbesar peluang aplikasi ini dapat berkembang ke dalam bahasa lain."

Bahasa daerah bisa ditularkan lewat cerita. (Foto: dok. pri)
Bahasa daerah bisa ditularkan lewat cerita. (Foto: dok. pri)

Ia berharap aplikasi yang ia buat pada ikhtiar berikutnya akan dapat menerjemahkan kalimat, bukan sekadar kata. Ia meyakini bahwa potensi pengembangan aplikasi bahasa daerah masih terbuka lebar sebab Indonesia kaya akan bahasa lokal. Selain Tolaki, di Sulawesi Tenggara misalnya masih ada bahasa Buton, bahasa Wakatobi, bahasa Cia-Cia, dan banyak lagi lainnya. Suatu saat kekayaan bahasa ini bisa dikemas dalam satu aplikasi terintegrasi dan interaktif semacam Duolingo sehingga lebih praktis.

Optimisme Mursalim perlu diapresiasi dengan dukungan promosi dan kampanye lebih masif pada pengembangan aplikasi berikutnya. Langkah kecilnya ini telah mengantarnya sebagai salah satu Penerima Apresiasi Tingkat Provinsi dalam SATU Indonesia Awards 2018 untuk kategori teknologi.

Apa yang dilakukan La Ode Mursalim bisa kita lihat sebagai sebuah proses untuk menyelamatkan bahasa daerah dari kepunahan, sebuah semangat bertahan, bukan semata-mata aplikasi canggih yang mungkin kini mudah dibuat atau diduplikasi. Lebih dari itu, kiprahnya menyuntikkan energi kecintaan pada khazanah daerah atau kearifan lokal yang bisa menjadi sumber daya kita untuk bangkit dan maju menuju target besar bersama-sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun