Tanggal 1 Syawal menandai kemenangan kaum mukmin yang berpuasa selama 30 hari selama bulan Ramadan. Gegap gempita takbir, tahmid, dan tahlil membahana memecah kesunyian malam hingga pagi hari. Momen yang sangat ditunggu sekaligus ditangisi. Menanti hari di mana jiwa kembali fitri seperti seorang bayi, tapi pada saat yang sama kita ditinggalkan bulan penuh keberkahan tanpa ada jaminan akan kembali dipertemukan. Malam-malam romantis ketika tilawah Quran diperdengarkan sudah terkikis. Hari-hari penuh limpahan pahala sudah tiada.Â
Senang dan terharu, barangkali itu perasaan yang berpadu. Gembira akhirnya menuntaskan kewajiban yang luar biasa. Di sisi lain hati dipenuhi perasaan emosional karena kehilangan teramat sangat sampai lidah kelu dan mulut tergugu. Untunglah perasaan itu sedikit terobati dengan kumpul keluarga dan obrolan bareng sahabat saat Idulfitri. Bagi yang belum bisa mudik, masih ada kesempatan untum bertukar sapa melalui aplikasi digital atau platform berbasis online.
Perubahan yang mengubah kemapanan
Ramadan tahun ini dan tahun lalu memang menantang, untuk tidak menyebut menyedihkan. Kita dituntut menjalankan puasa dan aktivitas ibadah lain yang relevan tapi dalam gerak yang cukup terbatas akibat wabah yang belum reda. Bukan hanya kegiatan ibadah yang tak lagi leluasa, cara orang berkomunikasi dan mencari rezeki pun mengalami perubahan. Kini ada skema Work from Home atau bekerja dari rumah menggunakan teknologi digital. Anak-anak sekolah dan mahasiswa pun makin akrab dengan School from Home alias belajar di rumah juga memanfaatkan aplikasi secara online.
Disadari atau tidak, kehadiran wabah Covid-19 telah mengubah kemapanan yang selama ini kita nikmati dan andalkan. Kita terpaksa  atau dipaksa mengikuti arus dan gaya baru dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Pembatasan interaksi dalam berbagai poin penting mau tak mau mendorong kita harus berpikir kreatif agar hajat hidup tetap terpenuhi, termasuk kebutuhan bersosialisasi bersama komunitas atau keluarga.
Kita bisa melihat wabah sebagai petaka, yang membatasi kita dari hal-hal yang kita sukai sebelumnya yakni ketika pandemi belum tiba. Kita bisa mengumpat atas ketidaknyamanan yang terjadi akibat pandemi yang mungkin telah mengurangi potensi rezeki dan kesempatan. Namun kita mungkin lupa bahwa pandemi sebenarnya peluang bagi kita untuk mencari celah dan menguji daya tahan dalam kreativitas sosial dan finansial.
Bukan hambatan, tapi peluang
Kita mungkin tak akan akrab dengan aplikasi Zoom meeting yang memungkinkan kita bercengkerama dan belajar banyak hal jika wabah tak datang 'menyerang' kita. Barangkali kita tak akan mencapai hal-hal baru yang sebelumnya tak terduga andaikan pandemi tidak terjadi. Buku-buku elektronik banyak dibagikan secara cuma-cuma di awal wabah mendera, film-film gratis di Youtube terbuka untuk ditonton secara gratis, dan banyak sekali konten digital yang bisa kita nikmati justru karena pandemi sedang berlangsung.Â
Saya teringat sebuah kalimat dalam sebuah buku yang layak kita camkan sebagai kutipan indah, problems are opportunities. Jika pandemi kita anggap sebagai masalah, maka ia sebenarnya datang bukan menghajar kita, melainkan mendorong kita menemukan solusi, to exert ourselves to invent possibilities, perhaps endless ones. Sosiolog kondang Imam B. Prasodjo pernah menyatakan dalam sebuah sesi webinar tentang UMKM bahwa pandemi telah menjadi motor penggerak baru agar perubahan sosial terjadi.
Dengan demikian, dalam konteks silaturahmi pun pandemi bisa kita tafsirkan sebagai tenaga yang melecut kemampuan dalam menyelesaikan berbagai persoalan lewat cara pandang dan sudut yang mungkin tak pernah terbayangkan. Lihatlah misalnya selama Ramadan dan menjelang lebaran, foto hampers atau yang dulu kita kenal dengan parsel membanjiri media sosial sebagai sebuah manifestasi silaturahmi yang kekinian. Berkirim hampers atau bingkisan lebaran telah menjadi bahasa yang dipahami dan dimaklumi sebagai penyambung hubungan dan penguat perasaan.
Tradisi baru berkirim hampers lebaran bukan hanya menegaskan komitmen manusia modern untuk terus menjalin tali silaturahmi, tetapi juga mendorong akselerasi ekonomi, dalam hal ini usaha-usaha kecil menengah yang menjual produk untuk dimanfaatkan selama lebaran. Nyaris semua barang bisa dikemas sebagai hadiah dalam hampers lebaran. Kue kering rumahan, aneka kopi kekinian, perlengkapan ibadah, buku, dan bahkan produk kecantikan organik yang kini kian menjamur.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan sebuah parabel yang sangat terkenal dan sudah sering disampaikan. Yakni kisah beberapa orang buta yang diminta mendeskripsikan wujud seekor gajah. Saat memegang belalai, lelaki A menyatakan bahwa gajah itu kecil dan panjang seperti pipa. Lain lagi dengan lelaki B yang berpendapat bahwa gajah itu lebar dan luas seperti permadani setelah ia memegang telinganya. Lelaki C mengklaim bahwa gajah itu kuat seperti tiang setelah ia meraba kaki gajah.
Kesimpulannya, sebagaimana disebutkan dalam buku yang saya baca tersebut, kita begitu mudah mendapatkan hal-hal baru asalkan kita mau mengubah perspektif terhadap suatu. Ada banyak peluang yang bisa kita manfaatkan asalkan kita mau menggeser tempat kita berdiri atau cara kita berpikir. Pun terhadap pandemi saat ini, kita bebas menfasirkannya sebagai petaka yang menghancurkan ataukah peluang yang justru membebaskan dan memperkaya wawasan.
Namun satu hal yang tak perlu Anda ragukan, tak pula perlu repot sobat Kompasiner tafsirkan, bahwa saya senang betul berhasil merampungkan tantangan menulis Samber THR Kompasiana selama 30 hari penuh dengan kegembiraan yang tidak butuh interpretasi. Izinkan saya memohon maaf pada lebaran Idufitri sebagai ikhtiar menjaga silaturahmi selama pandemi. Kita harus optimistis bahwa hal-hal baik akan terus terjadi selama kita berpikiran baik dan tetap mengupayakan dengan cara-cara yang baik pula. Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H