Ketika menaksir tingkat kesulitan antara meminta maaf dan memaafkan, saya selalu tergoda menimbangnya dengan analogi kehilangan. Ada dua peristiwa yang membuat saya berpikir demikian. Dua hal ini sepintas memang tak berhubungan, tapi punya esensi yang menurut saya mirip: mengandung pilihan yang berat.
Seorang teman, sebut saja Imelda, mengeluhkan kondisi rumah tangganya yang tak kunjung diwarnai kehadiran momongan. Secara ekonomi Imelda dan suaminya sangat berkecukupan, bahkan boleh dibilang berlebih. Hanya saja ketiadaan keturunan membuat hidup mereka terasa hambar, apalagi ketika melihat kehidupan orang lain atau kolega yang seolah ideal dengan harta cukup dan gelak tawa anak-anak.
Semula ada, lalu hilang
Alih-alih menjawab, saya lantas menuturkan sepenggal cerita tentang teman ibu saya di kampung. Sebut saja Bu Priani. Layaknya warga kampung, hidupnya biasa saja, malah cenderung pas-pasan. Namun bukan itu yang membuatnya kurang, melainkan ketiadaan momongan. Setelah belasan tahun menanti, akhirnya Allah mengirimkan seorang putri cantik untuk menghiasi keluarganya.
Tak hanya cantik dan pintar, anak ini juga sangat sayang pada orangtuanya. Sampai saat ia duduk di bangku SMP, Tuhan berkehendak lain. Leukimia merenggut nyawanya yang meninggalkan luka mendalam bagi Bu Priani dan suami. Mereka lalu mengadopsi keponakannya sebagai anak walau mereka sadar anak ini tak sesayang putri kandung yang telah tiada.
Belum sempat Imelda merespons, saya sajikan fragmen lain yang tak kalah pedih. Seorang pegawai asuransi yang cukup sukses secara finansial mendadak kehilangan indera penglihat setelah mengalami kecelakaan hebat. Mobilnya rusak parah dan cacat fisik membuatnya tak berdaya. Ia pun sempat menggugat Tuhan kenapa harus mengalami derita seberat itu dan kadang berharap mati saja.
Baik Bu Priani dan pegawai asuransi dirundung nestapa tiada terperi. Semula mereka memiliki hal yang menggembirakan lalu kegembiraan itu sirna di luar dugaan.Â
Bu Priani semua hidup bahagia bersama putri manisnya lalu hidup terkoyak ketika sang putri pergi selamanya karena leukimia. Pegawai asuransi kehilangan kepercayaan diri dan bahkan semangat hidup setelah fungsi kedua matanya dicabut padahal itu sangat diandalkannya.Â
Kepada Imelda saya tanyakan, "Manakah yang lebih berat: tidak memiliki sesuatu sejak awal ataukah kehilangan sesuatu yang pernah dicecap kenikmatannya?"
Anda bisa menduga, baik Imelda ataupun saya sama-sama tak mampu pertanyaan itu. Sama seperti ketika saya harus menentukan manakah langkah yang lebih berat: meminta maaf ataukah memaafkan?Â
Meminta maaf kadang takut dimaknai sebagai turunnya gengsi atau harga diri sedangkan memaafkan kadang khawatir dianggap terlalu gampangan atau tak punya pedoman sehingga berpotensi terulangnya kesalahan. Dua-duanya jelas sama berat.
Kisah lebah dan tupai
Sebelum menutup tulisan ini, saya ingin mengingatkan kita pada sebuah fabel tentang lebah dan tupai. Syahdan, seekor tupai memergoki lebah yang tengah berburu nektar pada bunga di pohon tempat tupai tinggal. Tupai khawatir kegiatan lebah di pohon itu akan merusak tempat tinggalnya.
"Aku bisa membantu pohon ini agar lebih cepat berbuah," ujar lebah memberi alasan.
"Tak usah berbohong kamu, cari saja makanan di pohon lain," sergah tupai tak percaya.Â
Lebah akhirnya pergi dan tak pernah lagi menampakkan diri. Tupai puasa tapi sedih sebab lama-lama bunga di pohonnya menjadi layu. Saat pohon-pohon di sekitarnya sudah berbuah, pohon tempat ia tinggal tak menunjukkan hal yang sama. Ia lantas mencari tahu kepada kera sahabatnya.
"Kenapa hanya pohonku yang belum berbuah?" tanya tupai penasaran sekaligus resah.
"Tahukah kamu bahwa lebah bisa membantu pohon agar lebih cepat berbuah?" jawab kera singkat.
Tupai pun sadar telah melakukan kesalahan dengan mengusir lebah yang ia anggap berbahaya padahal sebenarnya sangat berjasa. Ia lantas pergi ke sarang lebah yang pernah diusirnya. Ia meminta maaf telah berlaku kasar dan berjanji tak akan mengulanginya. Lebah pun berbesar hati memaafkan tupai yang menuduhnya semena-mena. Â Â
Puncak cinta adalah pemaafan
Dari kisah tupai dan lebah kita tahu bahwa berbuat kesalahan lazim terjadi di dunia, tak terkecuali dalam konteks kehidupan manusia. To err is human, to forgive divine, begitu kata pepatah dalam bahasa Inggris. Adalah lumrah bahwa manusia berbuat salah tapi yang lebih mulia adalah mereka yang memaafkan. Memaafkan adalah tindakan aktif untuk meniru sifat Tuhan yang penyayang dan penuh pengampunan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pemaafan didefinisakan dengan:  Â
pe*ma*af*an n proses, cara, perbuatan memaafkan; pengampunan
Pemaafan mencakup makna meminta maaf dan memaafkan, tergantung konteks yang dibutuhkan. Meminta maaf atau memaafkan bisa kita anggap sebagai proses yang rumit jika egoisme kita agung-agungkan. Sebaliknya, pemaafan bisa menjadi proses sederhana yang memerdekakan diri jika kita sanggup menaklukkan egoisme.Â
Dalam bahasa syariat, pemaafan melibatkan nafsu dan hati. Manakah yang lebih kuat ketika kita bersalah atau orang lain bersalah kepada kita? Saya tak bisa menjawab selain mengutip penjelasan singkat seorang khatib pada khotbah Jumat dua pekan lalu. Ia merujuk pada doa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw sebagai spirit utama dalam mewujudkan kesuksesan berpuasa Ramadan. Doa pendek ini dikenal sebagai doa untuk menyambut malam Lailatul Qadr. Â Â
Apa yang kita kejar dan harapkan selama Ramadan adalah mendapatkan pengampunan dari Allah, agar kita dimaafkan atas segala dosa dan khilaf dalam konteks mahkluk dan Sang Khalik. Doa pendek ini menegaskan betapa Tuhan selalu membuka peluang bagi kita untuk memperoleh pengampunan. Oleh karena itu, kita tak perlu ragu merendahkan diri dan hati untuk mendapatkannya, untuk membersihkan diri.
Inti pemaafan adalah keridaan, kerelaan untuk melepaskan apa yang menjadi beban. Itulah puncak  kasih sayang, sebab jika kita bergerak dan bertindak dengan penuh kerelaan hati, semua menjadi nikmat dan terasa menjadi berkat.Â
Sebagaimana Allah berkenan mengampuni kita di bulan Ramadan ini, seyogianya kita membuka pintu hati untuk merelakan kesalahan orang sebagai untuk memerdekakan hidup masing-masing. Insyaallah. Â Â Â Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI