Mohon tunggu...
Isnaini Khomarudin
Isnaini Khomarudin Mohon Tunggu... Full Time Blogger - penggemar kopi | pemburu buku bekas

peminat bahasa daerah | penggemar kopi | pemburu buku bekas

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Memori Ramadan Masa Kecil: Dari Kitir Hingga Pancuran Air

19 April 2021   13:32 Diperbarui: 19 April 2021   14:11 1149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memori masa kecil selama Ramadan sungguh sangat mengesankan./Dokpri

Ramadan hari ketujuh, alhamdulillah puasa masih utuh. Memang ada tantangan tersendiri menjalani Ramadan selama pandemi. Tak ada buka puasa bersama, tak ada kumpul keluarga. Tak bisa tadarus seperti dulu sebab saya masih khawatir dengan penggunaan mikrofon secara bergantian, apalagi jemaah di sini enggan menggunakan masker sebagaimana dianjurkan. Selain beriktikaf di masjid selama 10 hari terakhir Ramadan, yang saya rindukan adalah ngabuburit yang terpaksa ditiadakan.

Jadi teringat kebiasaan atau pengalaman sewaktu kecil saat Ramadan, sungguh sangat indah dan layak dikenang. Kenangan manis ketika beban hidup belum begini tragis. Fragmen-fragmen kecil itu begitu menggoda, apalagi di tengah wabah yang tak kunjung musnah. Ingin rasanya kembali ke bilik masa lalu dan mengulang setiap peristiwa dengan semangat dan kegembiraan baru. 

1 | Membagikan kitir

Membagikan kitir menjadi kenangan pertama yang bisa saya ingat tentang Ramadan semasa kecil dulu. Pembaca mungkin asing dengan kitir, jadi sebaiknya saya jelaskan. Kendati sama-sama berbahasa Jawa, kitir yang kami bagikan sama sekali tidak berhubungan dengan kitiran alias baling-baling yang biasa kita kenal. Kitir adalah sepotong kertas kecil berisi jadwal takjil selama bulan puasa.

Bolehlah kita sebut kupon saja agar lebih mudah. Kitir itu bertuliskan 'Magrib' dan 'Tadarus' sebagai keterangan bagi penerimanya bahwa ia wajib mengirimkan kue atau makanan/minuman pada waktu yang ditentukan. Kalau mendapat Magrib, berarti ia mesti menyetorkan hidangan menjelang berbuka saat di masjid diadakan pengajian sore. Jika menerima kartu bertuliskan 'tadarus', maka ia diharapkan mengirim jaminan (sebutan makanan kecil di kampung kami) selepas tarawih ketika tadarus digelar.

Dalam sehari ada minimal 6 orang yang menerima kitir tersebut, masing-masing 3 untuk magrib dan selepas tarawih. Tugas kami anak-anak adalah membagikan kitir itu ke rumah-rumah sekaligus mengambilnya setelah giliran mereka usai. Kami lantas membagikan ke warga lainnya sesuai intruksi remaja masjid senior kami. 

Kami senang sekali membagikannya, sambil berjalan atau bersepeda keliling kampung. Yang lebih menggembirakan, ada pula warga yang meminta kami menjemput makanan/minuman karena rumah mereka cukup jauh dari masjid sementara tak ada orang lain dalam keluarga yang bisa mengirimkannya. Kami dengan rela menjemput karena jadi bisa absen sejenak dari acara pengajian sore, hehe.     

2 | Bangunkan orang sahur

Memori kedua yang kuat terpatri dalam diri adalah lalar, yakni kegiata membangunkan warga kampung--terutama ibu-ibu--untuk bersantap sahur. Kami yang menginap di masjid dibangunkan oleh kakak senior untuk selanjutnya berkeliling kampung dengan membawa kentungan. Kami bunyikan kentungan bambu yang sudah kami siapkan sejak malam sebelumnya. 

Kentungan saya paling khas karena terbuat dari akar bambu yang disebut bongkotan. Karena gendut dibanding bilah bambu biasa, akar berongga itu pun menghasilkan suara berat tapi keras. Sepanjang jalan kami berselawat atau mengumandangkan pujian yang biasa kami rapal sebelum shalat Magrib. Kami pukul kentungan dengan riang gembira, sepuas hati dengan nada-nada yang entahlah kok bisa menemukan harmoni. 

3 | Menabuh beduk

Beduk yang kini semakin jarang ditemukan di kampung pada zaman dulu adalah properti wajib di serambi masjid. Kami berebut bisa memukul bedug ketika masuk waktu shalat. Ada kepuasan tersendiri bisa menabuh beduk scara beruntun tanpa dimarahi. Tentu ada pakem irama yang disepakati. Jika pada momen biasa kami bisa diomeli, maka menabuh beduk menjelang azan sangat dinanti-nanti. Tak heran jika kami berebut datang ke masjid duluan untuk menguasai pentungan. Ya pentungan untuk menggebuk beduk. 

3 | Memancing

Pada pagi hari, selepas mengaji Subuh tak ada ceritanya anak-anak mengantuk dan tidur karena mengantuk. Tak ada kantuk bagi kami para penjelajah belia. Sesampai di rumah, kami meraih alat pancing dan mencari umpan (biasanya cacing tanah) untuk kemudian menuju jublang (kolam) dekat masjid atau jublang-jublang lain di kampung, bahkan ke sungai tersier di dekat sawah. Memancing membuat kami melupakan rasa lapar, bisa bernyanyi dan bertukar cerita dengan teman.  

4| Suasana sahur

Suasana Ramadan masa kecil yang saya rindukan adalah momen bersantap sahur bersama keluarga. Saya paling semangat karena ibu menyediakan lauk kesukaan kami sekeluarga, yakni ikan gabus yang dipepes dengan bumbu kunyit dominan dan rempah yang melimpah. Enak sekali disantap dengan nasi hangat. Waktu itu ibu belum punya kompor gas, menghangatkan nasi harus dengan tungku dengan bahan bakar utama berupa serbuk kayu hasil penggergajian. Ditambah peyek kacang, sungguh sedap makan sahur bareng-bareng!

5| Kolak ubi kacang

Momen lain yang selalu bikin saya nostalgic adalah selepas Asar ketika ibu telah mematangkan kolak kesukaan. Apa lagi kalu bukan ubi jalar yang dicampur kacang hijau. Santannya begitu pekat, dengan adonan gula merah yang sedap menggugah selera. Jika tak ada ubi atau kacang, kolak labu parang menjadi ganti yang sangat menyenangkan hati.  

6 | Menginap di masjid dan bercerita

Bersama kakak-kakak senior kami tidur di serambi masjid begitu tadarus usai. Sambil menunggu kantuk datang, kami biasa menghabiskan kudapan sisa tadarus. Dari sanalah kami mendengar cerita-cerita menarik, mulai kisah nabi-nabi hingga cerita komedi Abu Nawas. Kami tak tahu siapa dia, tapi kami menikmati setiap cerita, bahkan pun misalnya cerita yang dikisahkan senior ternyata bohong belaka. Kami suka cerita sebab tak punya akses ke buku berlimpah selain cerita di televisi yang waktu itu masih hitam putih dan jumlahnya terbatas.  

Rindu tidur di serambi masjid yang banyak cerita tapi kini kami tak lagi bisa./Dokpri
Rindu tidur di serambi masjid yang banyak cerita tapi kini kami tak lagi bisa./Dokpri

7 | Surau Paklik dan pancuran bambu

Akhirnya, langgar atau surau Paklik tak mungkin tak saya tuliskan. Cukup lama saya mengaji di sana, termasuk saat bulan Ramadan. Yang paling saya kenang adalah pancuran air dari bambu yang dibuat Paklik sewaktu desa dilanda kemarau panjang. Jublang yang airnya biasa dipakai berwudhu ternyata kering kerontang. Paklik yang kebetulan seorang tukang segera menebang sebilang bambu panjang lalu diberi lubang-lubang.

Kami ditugaskan mengambil air dari sumur warga yang jaraknya kira-kira 300 meter. Kami bergilir mengisi tandon agar lubang-lubang pada bambu bisa mengucurkan air saat dibutuhkan. Itu sungguh mengesankan karena rumah kami jauh dari pegunungan. Rasanya sejuk dan unik bisa berwudhu menggunakan pancuran terbuat dari bambu panjang. 

Itulah 7 hal yang menjadi nostalgia Ramadan masa kecil, kini jadi memori berharga yang ingin diulang walau muskil. Terima kasih, Kompasiana, telah menawarkan pancingan tema penuh kenangan yang sungguh berkesan dan mengibur selama pandemi berkepanjangan. Apakah sobat Kompasianer  punya kenangan serupa yang menciptakan nostalgia pada Ramadan semasa kecil dulu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun