Ramadan hari ketujuh, alhamdulillah puasa masih utuh. Memang ada tantangan tersendiri menjalani Ramadan selama pandemi. Tak ada buka puasa bersama, tak ada kumpul keluarga. Tak bisa tadarus seperti dulu sebab saya masih khawatir dengan penggunaan mikrofon secara bergantian, apalagi jemaah di sini enggan menggunakan masker sebagaimana dianjurkan. Selain beriktikaf di masjid selama 10 hari terakhir Ramadan, yang saya rindukan adalah ngabuburit yang terpaksa ditiadakan.
Jadi teringat kebiasaan atau pengalaman sewaktu kecil saat Ramadan, sungguh sangat indah dan layak dikenang. Kenangan manis ketika beban hidup belum begini tragis. Fragmen-fragmen kecil itu begitu menggoda, apalagi di tengah wabah yang tak kunjung musnah. Ingin rasanya kembali ke bilik masa lalu dan mengulang setiap peristiwa dengan semangat dan kegembiraan baru.Â
1 | Membagikan kitir
Membagikan kitir menjadi kenangan pertama yang bisa saya ingat tentang Ramadan semasa kecil dulu. Pembaca mungkin asing dengan kitir, jadi sebaiknya saya jelaskan. Kendati sama-sama berbahasa Jawa, kitir yang kami bagikan sama sekali tidak berhubungan dengan kitiran alias baling-baling yang biasa kita kenal. Kitir adalah sepotong kertas kecil berisi jadwal takjil selama bulan puasa.
Bolehlah kita sebut kupon saja agar lebih mudah. Kitir itu bertuliskan 'Magrib' dan 'Tadarus' sebagai keterangan bagi penerimanya bahwa ia wajib mengirimkan kue atau makanan/minuman pada waktu yang ditentukan. Kalau mendapat Magrib, berarti ia mesti menyetorkan hidangan menjelang berbuka saat di masjid diadakan pengajian sore. Jika menerima kartu bertuliskan 'tadarus', maka ia diharapkan mengirim jaminan (sebutan makanan kecil di kampung kami) selepas tarawih ketika tadarus digelar.
Dalam sehari ada minimal 6 orang yang menerima kitir tersebut, masing-masing 3 untuk magrib dan selepas tarawih. Tugas kami anak-anak adalah membagikan kitir itu ke rumah-rumah sekaligus mengambilnya setelah giliran mereka usai. Kami lantas membagikan ke warga lainnya sesuai intruksi remaja masjid senior kami.Â
Kami senang sekali membagikannya, sambil berjalan atau bersepeda keliling kampung. Yang lebih menggembirakan, ada pula warga yang meminta kami menjemput makanan/minuman karena rumah mereka cukup jauh dari masjid sementara tak ada orang lain dalam keluarga yang bisa mengirimkannya. Kami dengan rela menjemput karena jadi bisa absen sejenak dari acara pengajian sore, hehe. Â Â Â
2 | Bangunkan orang sahur
Memori kedua yang kuat terpatri dalam diri adalah lalar, yakni kegiata membangunkan warga kampung--terutama ibu-ibu--untuk bersantap sahur. Kami yang menginap di masjid dibangunkan oleh kakak senior untuk selanjutnya berkeliling kampung dengan membawa kentungan. Kami bunyikan kentungan bambu yang sudah kami siapkan sejak malam sebelumnya.Â
Kentungan saya paling khas karena terbuat dari akar bambu yang disebut bongkotan. Karena gendut dibanding bilah bambu biasa, akar berongga itu pun menghasilkan suara berat tapi keras. Sepanjang jalan kami berselawat atau mengumandangkan pujian yang biasa kami rapal sebelum shalat Magrib. Kami pukul kentungan dengan riang gembira, sepuas hati dengan nada-nada yang entahlah kok bisa menemukan harmoni.Â
3 | Menabuh beduk
Beduk yang kini semakin jarang ditemukan di kampung pada zaman dulu adalah properti wajib di serambi masjid. Kami berebut bisa memukul bedug ketika masuk waktu shalat. Ada kepuasan tersendiri bisa menabuh beduk scara beruntun tanpa dimarahi. Tentu ada pakem irama yang disepakati. Jika pada momen biasa kami bisa diomeli, maka menabuh beduk menjelang azan sangat dinanti-nanti. Tak heran jika kami berebut datang ke masjid duluan untuk menguasai pentungan. Ya pentungan untuk menggebuk beduk.Â
3 | Memancing
Pada pagi hari, selepas mengaji Subuh tak ada ceritanya anak-anak mengantuk dan tidur karena mengantuk. Tak ada kantuk bagi kami para penjelajah belia. Sesampai di rumah, kami meraih alat pancing dan mencari umpan (biasanya cacing tanah) untuk kemudian menuju jublang (kolam) dekat masjid atau jublang-jublang lain di kampung, bahkan ke sungai tersier di dekat sawah. Memancing membuat kami melupakan rasa lapar, bisa bernyanyi dan bertukar cerita dengan teman. Â