Menurut Agus Mulya Karsona, dosen Hukum Perburuhan Universitas Padjajaran Bandung, hubungan kemitraan menekankan asas mutualisme di antara kedua belah pihak. Artinya, hubungan ini bersifat saling menguntungkan dan posisi para pihak setara. Berbeda dengan hubungan kerja, di mana ada atasan dan bawahan. (sumber)
Terkait dengan perjanjian kemitraan yang dilakukan antara driver dan pihak Go-Jek, dasar hukum yang dapat diambil adalah Pasal 1338 jo Pasal 1320 BW. Disebutkan bahwa perjanjian dikatakan sah jika memenuhi 4 aspek, yaitu:
1) Kata sepakat. Artinya, adanya titik temu di antara para pihak (a meeting of two minds), berdasarkan kepentingan-kepentingan yang berbeda. Dalam kasus Go-Jek, driver ingin bergabung sebagai mitra perusahaan karena ingin mendapatkan uang dari penumpang, sementara Go-Jek membantu mencarikan penumpang.
2) Cakap. Berarti dianggap mampu melakukan perbuatan hukum, kecuali orang yang belum dewasa (belum berusia 21 tahun), orang di bawah pengampuan dan orang-orang tertentu yang diatur dalam Undang-Undang. Baik pihak driver maupun Go-Jek, pastilah orang yang cakap.
3) Suatu hal tertentu. Obyek perjanjian sifatnya harus jelas. Dalam perjanjian Go-Jek, dijelaskan bahwa sistem yang diterapkan adalah bagi hasil yang diterangkan dalam kesepakatan lain.
4) Suatu sebab yang halal. Tidak boleh objek perjanjian adalah barang yang terlarang menurut hukum, seperti perjanjian perdagangan narkotika, manusia ataupun anak.
Dua syarat pertama adalah syarat subyektif, artinya jika dilanggar mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan (cancelling). Salah satu pihak dapat meminta majelis hakim di pengadilan untuk membatalkan perjanjian. Sedangkan dua syarat terakhir adalah syarat obyektif, di mana jika tidak dipenuhi menyebabkan perjanjian batal demi hukum (nul and void), yaitu perjanjian dianggap tidak pernah ada secara hukum. Menurut pendapat saya, di tengah perjalanan perjanjian kemitraan Go-Jek, telah terjadi ketidaksepakatan, yang menyebabkan tidak terpenuhinya salah satu syarat subyektif.
Tambahan, jika ada indikasi salah satu pihak menyimpang dari perjanjian, maka dapatlah dikatakan ini sebagai wanprestasi. Wanprestasi (breach of contract) adalah sebuah pelanggaran terhadap prestasi (performance) yakni ketentuan kontrak atau isi perjanjian. Dalam salah satu asas hukum perjanjian, ada kepastian hukum (pacta sunt servanda) bagi kedua belah pihak. Perjanjian yang berlaku di antara kedua belah pihak mengikat bagaikan undang-undang, tapi hanya berlaku bagi para pihak tersebut, tidak bagi orang lain yang tidak turut serta dalam perjanjian (asas personality).
Karena ada asas kepastian hukum, maka hakim dapat memaksa agar pihak yang melanggar, baik dalam pemenuhan hak ataupun kewajiban dalam perjanjian, agar melaksanakannya bahkan hakim dapat memerintahkan pihak yang melanggar untuk membayar ganti rugi. Selain itu, ada asas i’tikad baik, di mana para pihak harus membuat perjanjian dengan jujur, terbuka dan saling percaya. Lantas pertanyaannya, terpenuhikah asas i’tikad baik dalam perjanjian Go-Jek ini?
Kembali ke wanprestasi, di mana bentuk-bentuk wanprestasi sendiri terbagi dalam 4 macam:
1) Tidak melaksanakan prestasi sama sekali.
2) Ada prestasi, tetapi tidak sesuai harapan.
3) Memenuhi psrestasi, tetapi tidak tepat waktu.
4) Melakukan sesuatu yang menurut perikatan/perjanjian tidak boleh dilakukan, demi tercapainya sebuah prestasi.
Dalam kasus Go-Jek, seandainya terbukti bahwa ada perubahan isi perjanjian secara sepihak, di mana pada awalnya dalam isi perjanjian menyebutkan bahwa 2 helm dan 2 jaket adalah barang yang dipinjamkan, nyatanya di tengah perjanjian menjadi dicicil dan seandainya driver keluar, barang tersebut dikembalikan kepada pihak Go-Jek, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi wanprestasi nomor 2; sebenarnya telah terjadi pemenuhan prestasi (peminjaman helm dan jaket), tetapi tidak sesuai harapan (yang pada awalnya peminjaman, berubah menjadi sewa pinjam).