Go-Jek sedang naik daun belakangan ini. Terlepas dari euphoria ojek online yang identik dengan kata murah dan efisien, keberadaan Go-Jek juga menuai banyak kontra, salah satunya keberadaannya yang dituding sebagai penyebab turunnya omset ojek pangkalan saat awal booming-nya Go-Jek. Akan tetapi, turunnya omset juga dialami di kalangan driver Go-Jek sendiri sekarang. Terjadi rekrutment driver Go-Jek besar-besaran, sehingga kadang saya pikir, antara driver Go-Jek dengan pengguna jasa, lebih banyak drivernya, khususnya di Jakarta. Belum lagi, muncul saingan ojek online dari lapak sebelah, menambah ketatnya persaingan para driver untuk mendapatkan penumpang.
Setelah kemunculan yang pada awalnya dipuja-puji, Go-Jek mulai menghadapi masalah dan batu kerikil dalam perjalanannya. Hari Selasa yang lalu, Go-Jek mengumumkan sekitar 7000 drivernya di-suspend karena diduga melakukan order fiktif. Hal ini tentu saja merugikan banyak pihak, meliputi nama baik Go-Jek, pengguna jasa dan tentu saja, driver-driver yang jujur dan bekerja dengan cara yang halal.
Oke, saya tidak akan membahas tentang suspend driver Go-Jek di sini. Ketika scroll down komentar di fanpage Gojek, saya menemukan banyak sekali keluhan, baik dari driver ataupun pengguna. Satu hal menarik yang menjadi keluhan terkait dengan cicilan 2 helm dan 2 jaket Go-Jek, yang identic dengan warna hijau dan hitam serta tulisan Go-Jek. Karena penasaran, akhirnya saya sampailah di laman Kaskus ini, (cek di sini).
Ternyata, pada awalnya dalam isi perjanjian, Go-Jek MEMINJAMKAN atribut tersebut, dan seandainya driver Go-Jek keluar dari kemitraan dengan Go-Jek, atribut tersebut haruslah dikembalikan. Jika ternyata hilang ataupun rusak, driver harus membayar Rp 200.000 untuk setiap barang yang hilang. (Pasal 3 angka III: Kewajiban Mitra II). Tidak ada klausul driver harus membayar. Pembayaran hanya diwajibkan untuk handphone sebesar Rp 20.000 perminggu selama 25 minggu. Jika driver keluar sebelum melunasi HP, maka HP wajib dikembalikan kepada Mitra I (Go-Jek) dan uang cicilan dikembalikan 75% (Pasal 4: Alat Pendukung kerja).
Bulan Agustus 2015, tepatnya mulai tanggal 11, tiba-tiba melalui SMS, Go-Jek mengumumkan bahwa driver harus membayar cicilan dengan rincian: 1 helm (Rp 190.000,- sebanyak Rp 5.000,- perhari x 38 hari) dan 1 jaket (Rp 190.000,- sebanyak Rp 5.000,- perhari x 38 hari). Jadi, driver harus membayar sebesar (Rp 190.000 x 2) + (Rp 190.000 x 2) = Rp 760.000,-. Walaupun membayar, ternyata barang tersebut tidaklah menjadi milik driver.
Aturan tetap sama seperti yang diberlakukan di pasal 3 no. 3 bahwa driver harus mengembalikan barang tersebut jika keluar dari Go-Jek. Kebijakan baru ini tentu meresahkan driver, dilihat dari keluhan mereka di Kaskus atau di FP Go-Jek sendiri.
Perlu diketahui, perjanjian antara pihak Go-Jek dengan driver adalah perjanjian yang bersifat kemitraan, bukan perjanjian hubungan kerja. Sejauh yang saya baca dari beberapa blog, banyak yang salah kaprah dan menyebutkan bahwa antara driver dan pihak Go-Jek terkait hubungan kerja. Padahal, dua perjanjian ini sangat berbeda pada dasarnya, dan tentu memiliki akibat hukum yang berbeda pula.
Dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Jadi, suatu hubungan kerja timbul dari perjanjian kerja, bukan perjanjian kemitraan.
Definisi perjanjian kerja sendiri dijelaskan dalam Pasal 1 angka 14 UU No. 13/2003 sebagai perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban. Jadi, jika perjanjian antara driver dengan pihak Go-Jek adalah perjanjian kemitraan, UU No. 13/2006 tidak bisa dijadikan landasan hukum. Kedua pihak terikat dengan perjanjian biasa, dalam hal ini kembali dan tunduk pada aturan-aturan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) bagian Perjanjian. Asas lex specialis derogat lex generalis tidak berlaku dalam kasus ini.
Menurut Agus Mulya Karsona, dosen Hukum Perburuhan Universitas Padjajaran Bandung, hubungan kemitraan menekankan asas mutualisme di antara kedua belah pihak. Artinya, hubungan ini bersifat saling menguntungkan dan posisi para pihak setara. Berbeda dengan hubungan kerja, di mana ada atasan dan bawahan. (sumber)
Terkait dengan perjanjian kemitraan yang dilakukan antara driver dan pihak Go-Jek, dasar hukum yang dapat diambil adalah Pasal 1338 jo Pasal 1320 BW. Disebutkan bahwa perjanjian dikatakan sah jika memenuhi 4 aspek, yaitu:
1) Kata sepakat. Artinya, adanya titik temu di antara para pihak (a meeting of two minds), berdasarkan kepentingan-kepentingan yang berbeda. Dalam kasus Go-Jek, driver ingin bergabung sebagai mitra perusahaan karena ingin mendapatkan uang dari penumpang, sementara Go-Jek membantu mencarikan penumpang.
2) Cakap. Berarti dianggap mampu melakukan perbuatan hukum, kecuali orang yang belum dewasa (belum berusia 21 tahun), orang di bawah pengampuan dan orang-orang tertentu yang diatur dalam Undang-Undang. Baik pihak driver maupun Go-Jek, pastilah orang yang cakap.
3) Suatu hal tertentu. Obyek perjanjian sifatnya harus jelas. Dalam perjanjian Go-Jek, dijelaskan bahwa sistem yang diterapkan adalah bagi hasil yang diterangkan dalam kesepakatan lain.
4) Suatu sebab yang halal. Tidak boleh objek perjanjian adalah barang yang terlarang menurut hukum, seperti perjanjian perdagangan narkotika, manusia ataupun anak.
Dua syarat pertama adalah syarat subyektif, artinya jika dilanggar mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan (cancelling). Salah satu pihak dapat meminta majelis hakim di pengadilan untuk membatalkan perjanjian. Sedangkan dua syarat terakhir adalah syarat obyektif, di mana jika tidak dipenuhi menyebabkan perjanjian batal demi hukum (nul and void), yaitu perjanjian dianggap tidak pernah ada secara hukum. Menurut pendapat saya, di tengah perjalanan perjanjian kemitraan Go-Jek, telah terjadi ketidaksepakatan, yang menyebabkan tidak terpenuhinya salah satu syarat subyektif.
Tambahan, jika ada indikasi salah satu pihak menyimpang dari perjanjian, maka dapatlah dikatakan ini sebagai wanprestasi. Wanprestasi (breach of contract) adalah sebuah pelanggaran terhadap prestasi (performance) yakni ketentuan kontrak atau isi perjanjian. Dalam salah satu asas hukum perjanjian, ada kepastian hukum (pacta sunt servanda) bagi kedua belah pihak. Perjanjian yang berlaku di antara kedua belah pihak mengikat bagaikan undang-undang, tapi hanya berlaku bagi para pihak tersebut, tidak bagi orang lain yang tidak turut serta dalam perjanjian (asas personality).
Karena ada asas kepastian hukum, maka hakim dapat memaksa agar pihak yang melanggar, baik dalam pemenuhan hak ataupun kewajiban dalam perjanjian, agar melaksanakannya bahkan hakim dapat memerintahkan pihak yang melanggar untuk membayar ganti rugi. Selain itu, ada asas i’tikad baik, di mana para pihak harus membuat perjanjian dengan jujur, terbuka dan saling percaya. Lantas pertanyaannya, terpenuhikah asas i’tikad baik dalam perjanjian Go-Jek ini?
Kembali ke wanprestasi, di mana bentuk-bentuk wanprestasi sendiri terbagi dalam 4 macam:
1) Tidak melaksanakan prestasi sama sekali.
2) Ada prestasi, tetapi tidak sesuai harapan.
3) Memenuhi psrestasi, tetapi tidak tepat waktu.
4) Melakukan sesuatu yang menurut perikatan/perjanjian tidak boleh dilakukan, demi tercapainya sebuah prestasi.
Dalam kasus Go-Jek, seandainya terbukti bahwa ada perubahan isi perjanjian secara sepihak, di mana pada awalnya dalam isi perjanjian menyebutkan bahwa 2 helm dan 2 jaket adalah barang yang dipinjamkan, nyatanya di tengah perjanjian menjadi dicicil dan seandainya driver keluar, barang tersebut dikembalikan kepada pihak Go-Jek, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi wanprestasi nomor 2; sebenarnya telah terjadi pemenuhan prestasi (peminjaman helm dan jaket), tetapi tidak sesuai harapan (yang pada awalnya peminjaman, berubah menjadi sewa pinjam).
Jika terbukti melakukan wanprestasi, maka ada lima kemungkinan berupa (Pasal 1276 KUHPer):
1) Memenuhi/melaksanakan perjanjian;
2) Memenuhi perjanjian disertai keharusan membayar ganti rugi;
3) Membayar ganti rugi;
4) Membatalkan perjanjian; dan
5) Membatalkan perjanjian disertai dengan ganti rugi.
Seandainya pihak driver Go-Jek merasa dirugikan dengan cicilan helm dan jaket, maka driver dapat membawa kasus tersebut ke pengadilan. Akan tetapi, alangkah lebih bijaknya sebelum dibawa ke pengadilan, ada proses mediasi antara kedua belah pihak. Perlu adanya pendekatan personal (personal approach) untuk menjelaskan hal-hal yang belum dipahami bagi para pihak.
Selain itu, kehadiran Go-Jek sendiri pada awalnya adalah untuk mensejahterakan tukang ojek, di mana kadang omset yang dihasilkan tidak menentu. Tidak elok rasanya jika terjadi kesalahpahaman, maka para pihak saling tuduh dan melemparkan kesalahan.
Just my 2 cents, sebagai sebuah perusahaan besar, Go-Jek harus meluruskan pemberitaan-pemberitaan negatif yang beredar. Hal ini diperlukan tidak hanya sebagai klarifikasi tetapi juga mendidik masyarat untuk melek hukum, dan tidak melulu menilai suatu perkara berdasarkan opini umum yang beredar. Dan ingat, perjanjian ini bersifat kemitraan, yang seharusnya menguntungkan, bukan malah merugikan salah satu pihak. Semoga ada i’tikad baik dari pihak Go-Jek untuk mendengarkan keluhan-keluhan drivernya, karena ya, Go-Jek sebesar ini sekarang, tidak lepas dari peran driver-drivernya yang tiap hari berjuang di jalanan.
(Isna Noor Fitria, Jakarta, 02 Desember 2015)
Referensi:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
- Saat Hubungan Kemitraan Menjadi Hubungan Kerja
- Komunitas GoJek Kaskus
- Surat Perjanjian Kemitraan Gojek apakah SAH?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H