Saya mulai merasa tertarik untuk berkeluarga ketika menghadiri acara pernikahan teman SMA. Ketika usia Saya mulai mendekati usia ideal menikah, namun saya belum mempunyai seorang pacar pun. Saya belum juga menambatkan hati kepada seorang perempuan, padahal banyak orang-orang yang usianya di bawah saya sudah mempunyai seseorang yang dirindukan.
Saya sadar bahwa berpacaran itu banyak melenceng dari tujuan yang sebenarnya untuk saling mengenal dan lebih condong kepada memenuhi nafsu, maka saya mulai banyak membaca buku-buku tentang menikah dan juga bertanya kepada orang-orang yang sudah memasuki jenjang pernikahan tentang bagaimana memulai pernikahan.
Diantara buku-buku yang saya baca adalah karangan Bapak Anis Matta yang banyak memberikan pencerahan kepada Saya tentang arti menikah. Dan dengan membaca buku ini, Saya belajar lebih bijak bagaimana mencari calon isteri. Dan ternyata pilihan Saya tidak jauh dari mata, rekan kerja sendiri.
Dari awal Saya utarakan tentang niat Saya untuk mendekatinya dan ternyata Ia masih belum percaya dan memerlukan waktu untuk menerima. Namun semua berjalan menuju arah yang sama, saling mengenal dan tentunya ada saling ketertarikan. Ada kesepakatan untuk melanjutkan ke jenjang lebih serius dengan melihat kondisi masing-masing, termasuk kondisi keluarga dan keuangan masing-masing.
Saya yang bekerja sebagai guru honorer dengan penghasilan yang tentunya diketahui oleh beliau. Apalagi ayah beliau juga pensiunan guru, sehingga Ia tahu  kehidupan apa yang akan dilaluinya. Dengan saling memahami dan keterbukaan, maka Kami menyadari pernikahan seperti apa yang akan kami lalui. Yang penting Kami menikah dengan sah menurut agama dan negara, soal pesta pernikahan yang penting bisa mengumpulkan saudara dekat dan makan ala kadarnya.
Dari pernikahan kakak-kakaknya, maka pernikahan yang dilakukan mereka juga sederhana. Akan tetapi, ketika pernikahan Saya dengan calon isteri, Â justru agak lebih dari pada saudara perempuan lainnya karena calon isteri Saya merupakan anak perempuan terakhir yang dinikahkan walaupun ada adiknya yang perempuan, setalah itu tinggal adik-adiknya yang laki-laki. Kebetulan isteri saya dilangkahi oleh adik perempuannya untuk menikah.
Biaya pernikahan memang menjadi urusan kedua orang tua Saya dan orang tua calon isteri. Saya dan calon isteri lebih fokus ke persiapan bagian lainnya. Bagi kami yang penting Kami menikah, soal bagaimana bentuk pesta pernikahan tidak kami hiraukan. Kami lebih fokus bagaimana kami setelah menikah, mengingat penghasilan kami yang pas-pasan.
Setelah menikah, isteri lebih banyak membeli dan mengumpulkan alat-alat untuk memasak dan keperluan ketika nanti kami tinggal memisahkan diri dari Orang tua kami. Kebetulan sekali orang tua isteri memiliki rumah untuk kami tinggali yang sebelumnya dikontrakkan. Dan dari barang-barang hadiah pernikahan dan barang-barang yang dibeli isteri, kami tinggal menggunakan dan hidup mandiri tidak tergantung orang tua. Ketika kami tinggal di rumah tersebut, kami anggap kami sedang berkemah dan belajar hidup jauh dari orang tua.
Mertua saya pernah berkata, bahwa pernikahan kami tidak membuat mereka kerepotan. Mereka berpendapat bahwa ketika pesta perkawinan dilakukan jangan sampai membuat anak-anak kecil menangis karena tidak kebagian makanan. Dan hiasan tidak menjadi tujuan utama dalam pernikahan karena perhiasan itu hanya dipakai sehari, sedangkan memberi makan bisa memuaskan para tamu dan orang-orang di sekitar. Itulah pendapat beliau dan dilakukannya ketika menikahkan anak perempuannya.
Mungkin harapan yang lebih baik dalam menikah adalah seperti yang dilakukan oleh sepupu kami, yaitu sebelum menikah, mereka mengumpulkan uang bersama-sama dengan perencanaan yang sangat baik, makanya ketika menikah mereka tidak menyusahkan orang tua karena semua biaya sudah disiapkan. Tidak ada istilah mengutang untuk keperluan menikah, karena apabila itu dilakukan maka akan berpengaruh dengan kehidupan  di masa yang akan datang.
Prinsip Kami ketika menikah adalah bagaimana mengatur kehidupan kami setelah menikah, karena menikah adalah gerbang menuju jalan kehidupan yang panjang yang akan kita lewati yang entah bagaimana bentuknya.