Setelah subuh, ada pengajian Bahasa Arab baik nahu maupun sharaf. Banyak mahasiswa yang tertarik belajar Bahasa Arab di pesantren kami. Katanya pembelajarannya menarik dan memang kebanyakan asatid adalah lulusan fakultas bahasa Arab. Bahkan peserta kelas bahasa Arab ini bukan hanya santri pondok, tetapi juga mahasiswa/pelajar dari luar. Â Untuk subuh di hari Jumat, sabtu dan Minggu, pengajiannya berupa mendengarkan ceramah yang bersumber dari kitab kuning.
Setelah pengajian, dilanjutkan makan pagi dengan lauk sederhana. Namun terasa nikmat karena perut sudah terasa lapar dan makan bersama-sama dengan santri yang lain. Sebagaimana kebiasaan di pesaantren lainnya, bila ada yang pulang kampung dan kembali membawa oleh-oleh merupakan hal yang dinanti. Kami menyebutnya proyek, entah karena kami kebanyakan mahasiswa sehingga kami menyebutnya  "proyek" untuk makanan yang dibawa teman kami.
Walaupun kondisi pesantren tempat kami lebih mendingan dari kondisi pesantren pada umumnya, namun untuk penyakit kulit sulit di hindari. Rupanya penyakit ini juga dialami beberapa teman, dan kondisi saya diperparah dengan kondisi kulit yang sensitip mudah terkena penyakit kulit. Mungkin karena saya kurang menjaga kebersihan dan juga daya tahan tubuh kurang baik.
Belajar di pesantren memang sangat kondusif untuk membiasakan ibadah sehari-hari. Jadwal yang teratur dan pengkondisian untuk belajar dan beribadah lebih memungkinkan dibandingkan bila di tempat biasa. Kerajinan beribadah di pesantren pada akhirnya luntur juga ketika di rumah, karena tidak ada fihak yang ikut mengontrol kegiatan sehari-hari. Setidaknya setelah mondok, ada ajaran yang teringat dan modal untuk belajar agama secara mandiri dimanapun kita berada.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI