Sejak kecil saya ingin menangani sampah dengan baik. Ketika beranjak dewasa timbul keinginan mengelola sampah agar bermanfaat. Ternyata harapan saya pudar ketika untuk mengelola sampah rumah sendiri pun saya kebingungan.Â
Mungkin untuk sampah organik saya bisa mengubur dan menjadikannya kompos, tapi untuk sampah anorganik upaya saya tidak ada ujungnya. Dengan membakar sampah malah mencemari udara ke tetangga, dengan mendaur ulang saya tidak punya banyak waktu. Dan akhirnya hanya bisa menyuruh bapak pengumpul sampah untuk menyelesaikannya.Â
Sebagai seorang guru sekolah desa, membuang sampah ke sungai itu sangat riskan. Dan itulah mengapa saya menyuruh ke bapak pengumpul sampah. Dan apalah jadinya ketika saya mengajak murid agar tidak membuang sampah ke sungai, sedang saya sendiri membuangnya ke sungai, walau secara tidak langsung.Â
Sebenarnya saya sangat prihatin dengan kondisi sungai yang penuh sampah. Sungai yang dahulu tempat saya mandi, nyatanya penuh sampah dan airnya bau. Â
Tempat orang membuang sampah ke sungai adalah di dekat jembatan. Sehingga dekat jembatan-jembatan akan terlihat tumpukan sampah. Mungkin dengan membuang sampah ke sungai, sampah akan terbawa air. Tapi bila di musim kemarau, sampahnya tidak akan terbawa pergi jauh ke hilir.
Kondisi sungai yang kotor ini tidak disenangi oleh semua orang, tapi kemana lagi membuang sampah?. Di tempat kami yang pinggiran ini tidak ada yang namanya pasukan kuning atau sebangsanya.Â
Tidak ada lembaga terorganisir yang bisa memecahkan masalah ini. Pernah saya lihat ada desa yang membuat tempat pengelolaan sampah, tapi entah bagaimana malah kewalahan dan menghentikan aktifitasnya. Mungkin sampah yang dikumpulkan belum dipisahkan dan volumenya terlalu banyak.Â
Upaya pemerintah melarang membuang sampah ke sungai sudah terlihat. Membuat plang di dekat jembatan yang sering orang membuang sampah, memasang jaring untuk mencegah sampah masuk ke sungai, sampai memarahi  si bapak pengumpul sampah. Â
Pernah ada orang-orang yang menyortir sampah di jembatan, dan kelihatannya banyak memproses sampah dan memilahnya sehingga rapi, tapi berhenti mungkin karena yang punya tanah tidak mengizinkannya.Â
Sejak  saya tidak bisa membuang sampah ke dekat galian pasir, saya berpikir keras untuk mengurangi menghasilkan sampah. Untuk sampah organik, saya hanya menguburnya di halaman belakang.Â
Dan dari sampah dapur ini, saya bisa memperoleh beberapa tanaman yang tumbuh dan jarang saya temui, seperti timun suri, labu parang, leunca, tomat dan tanaman buah-buahan. Saya hanya memisahkan sampah dapur dari sampah plastik. Tinggal sampah plastik, popok dan sampah anorganik lainnya.
Untuk sampah anorganik seperti bungkus kopi, bungkus susu, saya coba dengan membuatnya menjadi anyaman tikar, anyaman tas. Tapi pada akhirnya hasilnya menumpuk tidak digunakan. Karena tetap kurang indah dilihat.Â
Selain itu, waktu untuk memprosesnya pun semakin berkurang, karena semakin sibuk dengan pekerjaan. Sedangkan sampah botol plastik tentunya akan dimanfaatkan oleh bapak pengumpul sampah karena cukup bernilai rupiah.
Sampah yang massanya lumayan besar adalah sampah popok anak saya yang bungsu. Penanganannya cukup sulit dilakukan. Mungkin dengan bertambahnya usia anak, anak tidak akan lagi memakai popok. Â
Jumlah sampah anorganik berupa plastik sangat besar. Penanganannya terlihat tidak dapat dikendalikan. Satu sisi masyarakat disuruh membuang sampah tidak boleh ke sungai, sisi yang lain masyarakat tidak punya pilihan menanganinya.Â
Dibakar akan polusi, dan di daur ulangpun akan lambat penanganannya. Masyarakat perlu solusi yang efektif dan efisien. Entahlah kalau di kota besar yang punya perusahaan pengumpul dan pengelola sampah, sedangkan masyarakat yang pinggiran yang tidak ada perusahaan pengumpul sampah dan pengelola sampah.Â
Ada juga Badan Usaha Milik Desa yang melakukan pengumpulan sampah dan pengelolaan sampah tidak berjalan dengan baik, karena sepertinya kewalahan. Bahkan yang terlihat konsisten berbisnis sampah adalah perusahaan masyarakat yang membeli dan  mendaur ulang sampah, mamun hanya mengumpulkan barang-barang seperti botol plastik, besi/logam. Sedang kemasan - kemasan plastik masih belum terolah.
BUMDES pengelola sampah juga sepertinya perlu dikelola juga dengan edukasi pemilahan sampah di masyarakat. Sebelumnya BUMDES pengelola sampah menerima semua jenis sampah baik organik maupun non organik, sehingga kewalahan. Bila masyarakat memilah dulu sampah, BUMDES pengelola sampah hanya mengelola sampah anorganik. Jadi BUMDES pengelola sampah bisa lebih ringan pekerjaannya.Â
Di sekitar kami belum ada yang namanya Bank Sampah, sepertinya bank sampah lebih efektif dan efisien. Saya selewat pernah melihat  di kota Bandung  Bank sampah sudah banyak dimana-mana. Mungkin perlu dicoba di daerah kami.Â
Dalam mengatasi sampah kalau perlu membayar untuk mengelola sampah saya juga tidak akan keberatan, karena dalam sebulan saya bisa membayar sekitar Rp. 40 Ribu ke Bapak pengumpul sampah. Asal sampah yang ada di rumah bisa musnah dari rumah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI