Santriwati dan Fenomena Selfi

Dari beberapa kasus di atas, seharusnya seseorang yang akan berselfi dan mengunggahnya ke media sosial harus mempertimbangkan keselamatan dirinya.
Berbicara keselamatan diri, meliputi fisik dan juga mental. Kejahatan yang bersumber dari media sosial dapat menyerang seluruh pihak tak terkecuali santriwati.

Tidak jarang ada orang mengagumi bahkan menyukai apa yang terlihat dari sebuah foto, apalagi seorang perempuan. Kecuali jika foto untuk konsumsi pribadi maka itu menjadi lain.

Selain itu, dari foto juga orang mengharapkan adanya respon berupa pujian. Hal ini bisa saja menimbulkan sifat pamer (riya') bahkan sombong (takabur). Tidak hanya sifat riya' dan takabur tetapi juga kufur. Jika ada respon negatif dari foto yang diunggah maka akan terbesit dalam benak dan pikiran sifat tidak bersyukur atas anugerah Allah SWT.

Mengenai selfi dalam bingkai Islam, pada dasarnya perkara muamalah yang boleh dilakukan. Hukum halal dan haramnya bergantung pada niat atau tujuan seseorang yang akan berfoto. Namun akan lebih baiknya, sebagai seorang muslimah bisa menutup aurat agar tidak menimbulkan syahwat lawan jenis yang bukan muhrimnya. Salah satunya dengan berswafoto ala kadarnya, baik jika dipandang khalayak umum.

Santriwati wajib baginya menjaga diri dan akhlaknya. Sorotan dari berbagai pihak tidak dapat dipungkiri lagi. Citra positif selalu diharapkan. Tetapi energi positif yang lebih dibutuhkan.

Bermedia sosial, berselfi ria sah -- sah saja asalkan tetap menebarkan manfaat serta menghindari hal-hal yang bisa mengganggu keselamatan diri.

Sebagai seorang santri sudah menjadi kewajibannya untuk bermanfaat bagi orang lain. Mengamalkan ilmu yang telah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari.  Selalu ingat akan pesan kiai, menjaga identitas santri dan tidak lupa memberi kontribusi untuk negeri.