Mohon tunggu...
Isnani Qistiyah
Isnani Qistiyah Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

mimpi jadi scriptwriter :)

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Seni Pertunjukan, Kesetaraan Gender, dan Aku yang Awam (2)

14 November 2022   22:52 Diperbarui: 19 November 2022   07:03 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

HARI KEDUA

Pagi berkabut. Udara segar memastikan sepanjang hari terakhir Persami Paradance ini, aku bisa lebih percaya diri lagi. Sebab diakhir acara, akan dibagi kelompok untuk membuat gagasan proyek karya. Aku yang mengetahui hal itu sejak menerima lembar informasi, sebenarnya sudah mempersiapkan diri supaya tidak gugup. Haha. Yaa, karena sadar berada di tengah orang-orang yang kompeten di bidang seni pertunjukan.

Sebelum mulai ke sesi inti selanjutnya, kami melakukan senam, evaluasi, dan mereview kegiatan di hari pertama. Dan, alhamdulillah ya, aku dapet apresiasi si paling refleksi di sesi sungai kehidupan. Mungkin karena ketika bercerita sesuatu hal yang menyakitkan, sudah tidak lagi melibatkan emosional, sudah biasa saja, dan tidak apa-apa. Justru malah jadi nangis mendengar cerita dari teman-teman lainnya. Hehe.

Mereview di hari pertama, dapat diakui bahwa kenyataannya adalah kehidupan di masyarakat antara laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan yang mencolok. Dari perbedaan itulah kemudian muncul bentuk ketidakadilan gender, dimana peluang yang sama untuk perempuan dan laki-laki tidak selalu mendapatkan hasil yang sama pula. Hal itu menyebabkan adanya kesenjangan gender yang terjadi di dalam keluarga atau di lungkungan sekitar dalam memperoleh akses, partisipasi, manfaat serta kontrol dalam pembangunan.

Refleksi 4 hal terkait kekerasan gender

Di sesi berikutnya, fasilitator sudah menyiapkan sebuah gambar pohon. Pohon ini kami namakan pohon masalah. Dari pohon masalah tersebut dapat dilihat poin-poin seperti akar diibaratkan sebagai penyebab kekerasan, batang pohon diibaratkan sebagai pemicu kekerasan, daun sebagai bentuk kekerasan, dan buah sebagai dampak dari kekerasan.

Dari apa yang disebutkan oleh para peserta, kami dapat menyimpulkan bahwa akar penyebab kekerasan adalah adanya konstruksi gender yang kaku dan relasi kuasa yang timpang. 

Pemicunya disebabkan adanya kesempatan, dendam, trauma masa lalu, kondisi ekonomi sosial, dan faktor pendidikan seseorang. Bentuk kekerasannya bisa dalam bentuk fisik, psikis, sosial, ekonomi juga seksualitas yang kemudian dapat memengaruhi kesehatan jiwa dan fisik seseorang, kesehatan reproduksi, masalah ekonomi, masalah keluarga, serta menimbulkan perilaku yang tidak sehat.

Seni pertunjukan dan hal-hal yang membuatku 'oh!'

Seperti yang sudah kubilang di awal, hampir semua peserta Persami Paradance ini berlatar belakang sebagai seorang seniman. Mereka lebih banyak terlibat langsung dalam proses pertunjukan. 

Dari apa yang aku simak selama hampir dua hari ini, dari obrolan dan cerita-cerita yang mereka bagi di tengah-tengah kegiatan, ada hal yang sebelumnya tidak kusadari bahwa hal demikian termasuk dalam kasus-kasus konstruksi gender di ranah kesenian. Seperti stage manager atau sutradara yang identik diserahkan kepada laki-laki, sedangkan perempuan hanya mengurus di bagian konsumsi.

Juga, kemudian dari mereka berbagi cerita bagaimana kekerasan berbasis gender lekat dalam dunia kesenian. Seperti pengalaman kasus yang mereka bagi, salah satunya adalah bagaimana seorang perempuan harus mau mengikuti skenario di atas panggung. Alih-alih biar dikatakan profesional, padahal si perempuan ini berpeluang dilecehkan.

Oh! Seketika kepalaku pusing.

Berkesenian dengan Perspektif Kesetaraan Gender

Ahmad Jalidu, fasilitator terakhir yang membagikan pengalamannya dalam berkesenian. Kali ini dalam perspektif gender. Mas Jalidu terlibat pembuatan karya berupa lagu dengan grup musik Rannisakustik and Friends. Salah satu lagunya berjudul Balada Si Eni yang kemudian lagu ini diperagakan dalam sebuah sandiwara musikal dengan judul "Ngono ya Ngono: Rekonstruksi Balada Si Eni".

Sandiwara musikal itu bercerita tentang seorang perempuan terjebak di hubungan yang rumit. Dia rela babak belur oleh suaminya yang ringan tangan, alasannya karena sayang. 

Di karya ini, kekerasan berbasis gender terasa begitu kuat. Aku sedikit mengikuti prosesnya, karena suamiku terlibat di pertunjukan ini. Ketika terlibat dialog dengan suami yang lagi reading, aku merasakan bagaimana menjadi perempuan itu kok rasanya serba salah. Kemudian, ketika menonton langsung pertunjukan itu di atas panggung, perasaan itu semakin kuat. Haha.

Setelah tahu isu-isu terkait kesetaraan gender, dari situlah Mas Jalidu merasa menjadi pelaku kekerasan melalui karyanya. Tetapi, hal itu justru memantik semangat Mas Jalidu untuk terus menyuarakan pemahaman atas kesetaraan gender.

Aku harap, aku juga bisa demikian.

 

Gagasan Karya

Sebagai penutup kegiatan Persami Paradance ini, fasilitator membagi beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari dua individu. Kelompok ini diminta untuk mencari gagasan karya apa pun, kemudian mempresentasikannya. Haha, kasian yang sekelompok sama aku. Dengan tenggat waktu yang bagiku pendek banget buat mikirin sebuah karya, tetapi hasil dari gagasan karya yang temen-temen presentasikan, membuatku makin percaya, orang-orang ini emang kerennn. 

Mereka membuat ide, kemudian langsung menampilkan hasil dari gagasan mereka. Karena dalam bayanganku, pasti tidak mudah merealisasikan dari gagasan menjadi sebuah praktik. Aplous buat temen-temen! Hiburan banget buat aku. Ada juga yang hanya mempresentasikan hasil gagasan karya tanpa menampilakan pertunjukan. Salah satunya kelompokku. Tapi meski begitu, kami mendapat reward sebagai 'si paling niat bikin presentasi'. Wkakakkak

Aku harap gagasan karya dari temen-temen bisa terealisasi dengan maksimal! Bisa menjadi inspirasi buat yang lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun