Dari apa yang aku simak selama hampir dua hari ini, dari obrolan dan cerita-cerita yang mereka bagi di tengah-tengah kegiatan, ada hal yang sebelumnya tidak kusadari bahwa hal demikian termasuk dalam kasus-kasus konstruksi gender di ranah kesenian. Seperti stage manager atau sutradara yang identik diserahkan kepada laki-laki, sedangkan perempuan hanya mengurus di bagian konsumsi.
Juga, kemudian dari mereka berbagi cerita bagaimana kekerasan berbasis gender lekat dalam dunia kesenian. Seperti pengalaman kasus yang mereka bagi, salah satunya adalah bagaimana seorang perempuan harus mau mengikuti skenario di atas panggung. Alih-alih biar dikatakan profesional, padahal si perempuan ini berpeluang dilecehkan.
Oh! Seketika kepalaku pusing.
Berkesenian dengan Perspektif Kesetaraan Gender
Ahmad Jalidu, fasilitator terakhir yang membagikan pengalamannya dalam berkesenian. Kali ini dalam perspektif gender. Mas Jalidu terlibat pembuatan karya berupa lagu dengan grup musik Rannisakustik and Friends. Salah satu lagunya berjudul Balada Si Eni yang kemudian lagu ini diperagakan dalam sebuah sandiwara musikal dengan judul "Ngono ya Ngono: Rekonstruksi Balada Si Eni".
Sandiwara musikal itu bercerita tentang seorang perempuan terjebak di hubungan yang rumit. Dia rela babak belur oleh suaminya yang ringan tangan, alasannya karena sayang.Â
Di karya ini, kekerasan berbasis gender terasa begitu kuat. Aku sedikit mengikuti prosesnya, karena suamiku terlibat di pertunjukan ini. Ketika terlibat dialog dengan suami yang lagi reading, aku merasakan bagaimana menjadi perempuan itu kok rasanya serba salah. Kemudian, ketika menonton langsung pertunjukan itu di atas panggung, perasaan itu semakin kuat. Haha.
Setelah tahu isu-isu terkait kesetaraan gender, dari situlah Mas Jalidu merasa menjadi pelaku kekerasan melalui karyanya. Tetapi, hal itu justru memantik semangat Mas Jalidu untuk terus menyuarakan pemahaman atas kesetaraan gender.
Aku harap, aku juga bisa demikian.
Â
Gagasan Karya