Mohon tunggu...
ismu chandra Kurniawati
ismu chandra Kurniawati Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Sehari-hari berpraktik sebagai Psikolog Associate di Unit Konsultasi Psikologi, UGM dan Biro Psikologi Intuisi.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Emosi = Marah?

19 April 2021   12:20 Diperbarui: 19 April 2021   12:24 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Emosi” bukanlah kosakata yang asing. Dalam keseharian, kosakata ini seringkali kita dengar atau bahkan kita gunakan sendiri ketika bercakap-cakap.  Misalnya kita mengatakan,

“Saya tidak berani mengatakan pendapat saya kepada atasan karena dia mudah emosi.”

“Setelah dia mengatakan akan meninggalkanku, aku jadi emosi sekali!”

“Aku emosi banget liat kelakuannya yang memalukan itu”

“Aku sudah lelah bekerja seharian, eh dia malah bikin masalah. Wajar dong kalau aku jadi emosi!”

Secara lebih spesifik, kita dapat memahami bahwa berbagai contoh ini menunjukkan penggunaan kata “emosi” untuk mengidentifikasi perasaan “marah”. Dalam percakapan sehari-hari, kebanyakan kita akan dapat memahami bahwa ketika seseorang mengatakan dirinya sedang emosi itu artinya dia sedang marah. Hal ini sebenarnya sesuai dengan salah satu definisi kosakata “emosi” yang tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dalam KKBI, dicatat bahwa kosakata “emosi” adalah bentuk tidak baku dari kosakata “marah” yang sering digunakan dalam percakapan. Hal ini tampaknya tidak menimbulkan permasalahan dalam keseharian. Namun tidak demikian yang saya temukan di ruang praktik.  

Sebagian besar klien yang saya temui di ruang praktik, memulai sesi dengan mengeluhkan bahwa mereka tidak nyaman dengan emosi yang dirasakan. Ketika saya tanyakan lebih lanjut tentang jenis emosi yang mereka rasakan, variasi jawabannya biasanya ada 2 macam. Ada yang langsung merujuk pada marah, namun ada juga yang kebingungan mengenali emosi apa yang sebenarnya sedang dirasakan.

Bagi mereka yang langsung merujuk pada marah, saya kemudian membantu mereka dalam sesi konseling untuk mengenali lebih jauh tentang emosi marah yang mereka rasakan. Dalam proses ini kami menemukan ternyata emosi yang dirasakan belum tentu adalah marah. Sebagai contoh ketika seorang klien menceritakan bahwa ia emosi melihat kedua orangtuanya bertengkar, ternyata emosi yang dirasakan bukanlah marah. Alih-alih merasa marah, sebenarnya klien merasa sedih, malu atau berbagai perasaan lainnya. Atau kalaupun merasakan marah, itu adalah emosi penyerta yang muncul karena terlalu lama mengabaikan emosi-emosi lainnya. Kebiasaan menggunakan kata “emosi” hanya untuk merujuk pada “marah” ternyata justru mengaburkan makna sesungguhnya. Seolah-olah jenis emosi hanyalah marah. Akibatnya kita jadi asing dengan berbagai jenis emosi lainnya.

Di sisi lain, kebanyakan klien yang kebingungan mengenali emosi yang dirasakan pun tampaknya terimbas dari kebiasaan penggunaan kata ini. Biasanya klien tidak mendefisikan emosinya sebagai marah karena alasan-alasan moral. Misal takut dianggap dosa karena agama mengajarkan untuk tidak emosi. Emosi dan marah digambarkan sebagai penyebab kekacauan relasi ataupun penanda karakter buruk. Alih-alih mengenali emosinya dengan lebih detail, klien justru berusaha menekan dan mengabaikan emosi yang dirasakan. Biasanya hal ini akan menimbulkan masalah ketika intensitas emosi yang dialami sedemikian besarnya hingga ‘meledak’ mengacaukan relasi maupun produktivitas.

Kebiasaan penggunaan kata “emosi” hanya untuk mengidentifikasi “marah” ternyata justru mengaburkan makna kata emosi yang sesungguhnya. Kita jadi kesulitan untuk benar-benar mengenali apa yang sedang kita alami. Karena tidak kenal, kita pun jadi kesulitan untuk mengelola maupun mengkomunikasikannya. Olehkarenanya penting bagi kita untuk memperluas wawasan tentang kosakata emosi.

PENGERTIAN EMOSI:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun