Syarat kesehatan sebagai “state of complete physical, mental and social well-being” ini justru mengklasifikasikan kebanyakan dari kita semua menjadi tidak sehat sepanjang waktu sehingga meningkatkan resiko ketergantungan pada obat atau intervensi medis. Definisi ini seolah mengecilkan kapasitas manusia untuk beradaptasi ketika menghadapi perubahan ataupun tantangan (Huber dkk, 2011).
Kritik lainnya adalah definisi kesehatan mental WHO dapat menimbulkan kerancuan karena hanya menggunakan perasaan positif dan keberfungsian sebagai faktor kunci yang menentukan kesehatan mental seseorang. Definisi WHO mensyaratkan kualitas emosi yang positif dan keberfungsian yang sempurna untuk menilai kondisi sehat mental.
Padahal, dalam kehidupan nyata tentu ada peristiwa-peristiwa menantang yang sangat mungkin menyebabkan seseorang mengalami emosi negatif ataupun tidak berfungsi sempurna ketika berkontribusi bagi lingkungan. Bahkan tiap tahap perkembangan manusia pun menunjukkan adanya tantangan yang sangat mungkin akan mengusik kesejahteraan seseorang. Definisi dari WHO seolah mengabaikan kenyataan bahwa pengalaman tidak nyaman dan berbagai tantangan adalah hal yang manusiawi (Galderisi, 2015).
Meskipun WHO sudah mendefinisikan kesehatan tidak hanya sebagai kondisi ketiadaan penyakit, ternyata dibutuhkan definisi yang tidak hanya berpatokan pada norma ideal. Definisi kesehatan mental perlu didefinisikan menggunakan pendekatan inklusif, bebas budaya, serta memberi ruang bagi beragam kondisi emosi yang wajar dalam pengalaman keseharian manusia dan keberfungsian yang tidak harus sempurna (Huber dkk, 2011; Valiant, 2012; Galderisi, 2015).
Lebih lanjut, Galderisi (2015) mengusulkan definisi kesehatan mental sebagai berikut:
Mental health is a dynamic state of internal equilibrium which enables individuals to use their abilities in harmony with universal values of society. Basic cognitive and social skills; ability to recognize, express and modulate one’s own emotions, as well as empathize with others; flexibility and ability to cope with adverse life events and function in social roles; and harmonious relationship between body and mind represent important components of mental health which contribute, to varying degrees, to the state of internal equilibrium.
Definisi ini menggunakan istilah “dynamic state of internal equilibrium” sebagai konsep yang mengakui fakta bahwa tiap tahap perkembangan manusia membutuhkan adanya perubahan untuk mencapai titik keseimbangan yang baru. Misalnya ketika menghadapi krisis masa remaja, adaptasi perkawinan, menjadi orangtua atau memasuki masa pensiun, seseorang perlu aktif beradaptasi agar dapat mencapai keseimbangan mental yang baru.
Artinya dalam tiap tahap perkembangan, adalah hal yang wajar jika seorang individu mengalami pengalaman emosional yang tidak menyenangkan (misalnya takut, marah, sedih, dan duka) dan di saat yang bersamaan sebenarnya ia terus mengupayakan ketahanan diri untuk memulihkan keseimbangan internalnya.
Dalam definisi ini juga disebutkan beberapa komponen psikologis sebagai acuan penilaian kesehatan mental. Semua komponen psikologis ini adalah aspek yang dianggap penting namun bukan aspek yang wajib ada sebagai syarat penilaian kesehatan mental.
Dalam kenyataannya, tiap aspek dapat memberikan kontribusi dengan tingkatan yang berbeda-beda terhadap pencapaian titik keseimbangan, sehingga perkembangan optimal dari suatu aspek dapat mengimbangi aspek lain yang kurang berkembang optimal.
Misalnya tingkat empati tinggi dan kesukaan seseorang untuk berbagi, mungkin adalah kompensasi dari aspek kognitifnya yang kurang, dan dengan kombinasi ini individu tetap dapat menemukan keseimbangan yang memuaskan dalam mengejar tujuan hidupnya (Galderisi, 2015).
Kesimpulan: