Mohon tunggu...
Mohammad Ismu
Mohammad Ismu Mohon Tunggu... pegawai negeri -

seorang pria yang sangat biasa. klik blog saya www.omsihom.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

BBM, Menguji Keberpihakan Jokowi

19 September 2014   15:47 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:14 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jokowi punya PR besar sesaat setelah dilantik nanti, BBM. Kita tau salah satu problem besar bangsa ini adalah energi, salah satunya adalah BBM. Dan SBY selama dua periode memimpin negeri ini belum menemukan solusi jangka panjang untuk masalah ini. Terhitung sejak 2004, SBY telah menaikkan harga BBM sebanyak 4 kali.

Permasalahannya memang berat. Produksi dalam negeri yang jauh dari mencukupi kebutuhan, stok yang menipis, investasi pengeboran kilang minyak yang super mahal, harga minyak yang fluktuatif dan cenderung meningkat tinggi, yang berpengaruh pula pada defisit defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang semakin besar, nilai rupiah yang masih rendah, pertumbuhan kendaraan yang semakin tinggi serta beban subsidi yang sudah tak rasional lagi.

Tentu masih panjang jika kita teruskan. Maka menaikkan harga bbm menjadi langkah wajar, begitulah ilmu ekonomi merekomendasikan, siapapun presidennya. tapi bukankah juga rakyat menginginkan harga yang terjangkau? Rakyat kecil terutama. Bukankah jokowi berasal dari partai politik yang selalu lantang meneriakkan slogan berpihak pada rakyat kecil. Lagi pula menaikkan harga BBM pun bukannya tanpa resiko. Selain resiko politis (citra), juga resiko invlasi.

Inilah dilema Jokowi, seperti makan buah simalakama. Tidak menaikkan harga BBM berarti tidak rasional secara ekonomi, selain juga slot subsidi BBM sudah dikunci oleh DPR. Disisi yang lain, keberpihakan pada rakyat kecil harus menjadi paradigma bersama. Mengabaikan ini berarti mengabaikan paradigma bersama. Pengabaian paradigma keberpihakan inilah yang membuat Dian Sastro menulis bait puisi keinsafannya;

Disaat paradigma dunia tak lagi digunakan untuk menerka

Sadarku akan hadirmu

Mematahkan sendi-sendi yang selama ini tegak berdiri

Dian benar, memang ada banyak kebijakan dinegeri ini yang tak berpijak pada pradigma keberpihakan pada rakyat miskin. Mungkin akan banyak dian santro-dian sastro lain yang muncul dan insyaf jika Jokowi benar-benar meniakkan harga BBM nantinya hehehe..becanda.

Masih ada celah bagi jokowi untuk tetap rasional ekonomi sekaligus berpihak pada rakyat kecil. Kita tau, perkiraan kasar beberapa kalangan, 60% dari subsidi BBM justru dinikmati oleh mereka yang berada di garis ekonomi menengah keatas. Jika subsidi BBM dalam setahun mencapai 200T misalnya, itu artinya hanya 80T yang tepat sasaran, selebihnya yang 120T dinikmati oleh mereka yang bisa jadi selain mobil, mereka juga punya villa megah dipuncak sana.

Ini ironi sebuah negeri yang menjadikan keadilan sosial sebagai pandangan berbangsa. Maka wajar wacana BBM dua harga terus hidup dan disuarakan dari dulu. Kenyataanya wacana ini belum pernah benar-benar disetujui dan direalisasikan. Kini, presiden kita yang baru nanti kembali diuji. Istilah ribet mestinya tidak menjadi alasan untuk menolak wacana ini. Saya yakin, ribetnya hanya sebentar. Persis seperti ribetnya menaikkan harga BBM. Demo dimana-mana, resistensi disemua tempat merata. hanya butuh waktu sampai masyarakat mencapai level keseimbangan ekonomi yang baru, ribut-ribut, demo-demo itu lenyap dimakan waktu.

Namun jika kelak jokowi lebih memilih yang praktis dengan menaikkan BBM satu harga, maka rakyat memang berhak mencibir bahwa kampanye-kampanye itu hanya pemanis bibir saja, Gombal. Persis seperti lelaki hidung belang yang merayu calon korbannya; “jika hamil akan ku nikahi”. Kampanye-kampanye itu hanya khayalan yang membuat kita teralienasi. Kita pun boleh meminjam puisi Rendra;

Hidup dalam khayalan,

hidup dalam kenyataan……

tak ada bedanya.

Kerna khayalan dinyatakan,

dan kenyataan dikhayalkan,

di dalam peradaban fatamorgana.

Buat yang bingung dengan realitas dunia, mari bertanya layaknya Emha;

lalu,

kemanakah harus kuhadapkan muka

agar seimbang antara tidur dan jaga ?

Dan bagi yang cuek-cuek saja, boleh meniru mbah surip dengan ketawa-rianya, saya juga suka yang ini saja;

hahahahaha…. Tidur lagi!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun