“yang lalu biarlah berlalu”…
Kalimat tersebut menjadi penyemangat bagi seseorang untuk tetap fokus pada masa sekarang dan yang akan datang. Kehidupan memang tak lepas dari masa lalu, sebuah masa yang sudah dijalani dan terlewati. Masa yang bisa jadi memiliki andil atas keadaan sekarang, baik masa lalu itu menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Masing-masing orang memiliki cara tersendiri dalam menyikapi masa lalu, ada yang dapat mengambil pelajaran dari masa lalu yang tidak menyenangkan. Masa lalu membuatnya menjadi lebih kuat, lebih pemberani, bijaksana, lebih hati-hati atau banyak lagi sifat positif diperoleh karena belajar daripadanya. Namun sebagian orang mendapati masa lalunya “seakan sebagai sebuah tembok tebal, ataupun laksana benteng kokoh yang menghalanginya untuk maju”, seperti dikeluhkan oleh beberapa klien kepada penulis.
Masalah yang dialami beberapa klien terjadi pada masa sekarang, antara lain; perasaan cemas saat sedang menyelesaikan skripsi, masalah di tempat kerja, adanya konflik dengan pasangan, hambatan dalam bersosialisasi, sampai masalah yang lebih ekstrim seperti menyakiti diri sendiri ataupun percobaan bunuh diri. Kebanyakan dari mereka menyampaikan bahwa: “ketika mereka dihadapkan pada situasi yang sulit pada saat sekarang, maka saat itu juga ingatan mereka terlempar pada pengalaman negatif masa lalu”, saat mereka masih kecil. Memori itu semakin membuat mereka berfikiran negatif, overthingking dan menyebabkan keluhan menjadi lebih berat.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa kejadian yang tidak menyenangkan pada masa lalu, waktu masih kecil dapat menjelma menjadi sebuah trauma yang akan berpengaruh pada kesehatan mental saat dewasa. Gangguan kesehatan mental tersebut seperti memiliki orientasi seksual yang menyimpang, gangguan emosional, dan depresi (Ramiro et al., 2010); juga berpengaruh pada kesehatan fisik serta perilaku kesehatan yang buruk seperti pola makan yang buruk, penggunaan obat terlarang dan kebiasaan merokok (Bellis et al., 2017).
Sebuah studi yang dilakukan oleh Center of Diseases and Control Prevention menemukan kurang lebih 40% orang dewasa menyatakan setidaknya mengalami dua atau lebih kekerasan pada masa kecil. Selanjutnya skor tinggi dikaitkan dengan hasil kesehatan mental negatif yang lebih besar seperti depresi, penyalahgunaan zat dan peningkatan bunuh diri. Selain itu hasil kesehatan fisik yang negatif seperti penyakit jantung, paru-paru dan penyakit hati (Felitti et al., 2019; Wolitzky-Taylor et al., 2017).
Bullying sebagai bentuk trauma
Salah satu bentuk kejadian masa lalu yang seringkali menjadikan trauma adalah perilaku bullying. Bullying atau biasa juga disebut perundungan merupakan perilaku tidak menyenangkan baik secara verbal, fisik ataupun sosial, terjadi baik secara nyata maupun di dunia maya. Perilaku tersebut dapat dilakukan secara perorangan atau kelompok yang menyebabkan seseorang menjadi tidak nyaman, sakit hati dan tertekan. Perundungan dapat menimpa siapapun dan dapat terjadi sewaktu-waktu, baik itu di sekolah, di dalam keluarga, di jalan, dalam pertemanan, ataupun di tempat kerja. Kadang kejadian tersebut dianggap sebagai hal yang sepele dan biasa, entah karena biasa dilakukan atau biasa juga dialami, atau bahkan tidak memahami akibatnya terhadap diri sendiri dan orang lain, baik akibat jangka pendek maupun jangka panjang. Padahal kejadian tersebut membuat anak menderita atau sakit secara emosional.
“Kenapa dikatakan hal yang biasa dilakukan?”
Ada sebuah keluarga, dimana perilaku bullying itu menjadi menu yang terhidang sehari-hari. Perilaku bullying sering terjadi, perilaku yang menyakitkan antar anggota keluarga baik secara fisik maupun emosional, berupa ucapan maupun tindakan yang menyebabkan ketakutan, kesakitan atau penelantaran dan tekanan terhadap anak.
Pada kasus ini orang tua memiliki temperamen keras, memiliki gangguan emosi, atau memiliki konflik rumah tangga. Mereka sering memarahi anak, memaki dan memberikan hukuman secara fisik serta dipermalukan yang terkadang juga dilakukan dimuka umum. Apapun yang dilakukan anak selalu dikomentari, seakan tidak memberikan ruang pada anak untuk merasa aman dan nyaman. Jadi sudah menjadi hal yang biasa karena sering terjadi sehari-hari.
“ Apa maksudnya biasa dialami?”
Orang tua atau orang lain pelaku bullying sering kali sudah pernah bahkan juga biasa mengalami hal yang serupa di masa dulu, di kehidupannya yang lalu.” Ah, itu hal biasa, aku dulu juga seperti ini, dan aku bisa menghadapinya, jadi jangan mengeluh, jangan banyak protes, itu hal yang sepele tidak usah dibesarkan”. Anggapan seperti itulah yang mendorong perilaku bullying tidak berkurang dan tidak berubah, layaknya kebiasaan yang turun temurun.
“karena pemahaman yang kurang?”
Ilmu dan pemahaman tentang perkembangan anak dan kesehatan mental memiliki andil untuk mengontrol munculnya tindakan bullying pada orang lain. Pemahaman bahwa bullying akan berdampak negatif baik pada saat kejadian tersebut, yaitu malu dan sakit secara emosional; namun juga berakibat sampai mereka dewasa bahkan sepanjang hidup. Kesadaran tentang etika dan tanggung jawab terhadap keluarga maupun sesama manusia tentu saja akan menumbuhkan pertimbangan dalam bertindak. Begitupun sebaliknya, kurangnya ilmu dan pemahaman tentang hal tersebut membuat tindakan menjadi tidak terkontrol dan terseleksi.
Berbagai ancaman, label dan tuduhan meraka berikan pada anak, sehingga anak merasa dipojokkan, tidak dimengerti, tidak berharga atau bahkan ditolak dan dimusuhi. Praktis kebutuhan kasih sayang dan rasa aman yang seharusnya ia dapatkan tidak terpenuhi. Anak juga menjadi takut, tidak percaya diri , merasa trauma dan menutup diri terhadap orang yang dianggap sebagai suatu ancaman (Hopeman, 2020).
Menjadi hambatan untuk maju
Dampak perilaku bullying dan kekerasan pada anak akan tersimpan dalam memori bawah sadar mereka. Mereka dapat merekam peristiwa tersebut dalam memori jangka pendek maupun dalam memori jangka panjang. Jika peristiwa tersebut terekam dalam memori jangka pendek, maka mereka hanya mengingat dalam waktu yang sebentar saja. Namun jika apa yang mereka rasakan, apa yang mereka lihat dan mereka alami tersimpan dalam memori jangka panjang, maka perasaan yang sama akan muncul kembali saat mereka mendapatkan stimulasi yang mirip. Proses ini kerapkali menghambat para klien untuk maju.
Memori terhadap peristiwa masa lalu itu terputar kembali layaknya film yang seringkali membuat seseorang stuck / berhenti, bahkan semakin terpuruk. Afirmasi-afirmasi negatif meluncur begitu saja seiring memori yang hadir. Bahwa “mereka adalah orang yang lemah, mereka orang yang bodoh, mereka pembohong. Bahwa” mereka tidak pernah benar, tidak dapat dipercaya, dan tidak layak untuk disayangi”.
Pemikiran dan keyakinan negatif yang terus diulang-ulang tersebut tentu saja menjadi penghambat untuk mencapai kemajuan dalam hal apapun. Menyelesaikan studi, menyelesaikan pekerjaan, berinteraksi dengan pasangan dan lingkungan, juga terhadap pemulihan kesehatan mental akan ikut terhambat.
“Apa yang harus dilakukan”
Berbagai gangguan kesehatan mental yang terjadi akibat paparan pengalaman menyakitlkan pada masa lalu (masa kecil) memerlukan penanganan yang intensif dari psikolog ataupun psikiater. Psikoterapi acapkali diperlukan untuk pemulihan kondisi psikologis klien, yang dapat dilakukan melalui konseling krisis sebagai pertolongan pertama psikologis. Selanjutnya klien dilibatkan untuk menggunakan keterampilan-keterampilan seperti keterampilan koping yang sehat, keterampilan untuk pemecahan masalah, mendorong keterlibatan dalam kegiatan positif, ketrerampilan untuk mengelola reaksi fisik dan emosional terhadap situasi yang mengganggu, mendukung pemikiran yang sehat dan membangun kembali hubungan sosial yang sehat. Beberapa psikoterapi dapat dilakukan untuk membantu klien, antara lain; Cognitif Behavior Therapy (CBT), Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR), Child – Parent Psychotherapy (CPP) ataupun Parent – Child Interaction Therapy (PCIT).
Salah satu keberhasilan dalam terapi yang dilakukan adalah motivasi klien untuk sembuh. Sebesar apapun bantuan yang diberikan oleh orang lain, tanpa ada motivasi dan usaha dari klien sendiri, akan menghambat keberhasilan terapi.
“Jadi, haruskah tembok tebal nan kokoh itu menghalangi untuk maju?”
Ada beberapa tips yang dapat dilakukan untuk bisa berdamai dengan masa lalu, antara lain;
Sadari . Hadirkan pemahaman dan kesadaran bahwa kejadian yang pernah dialami itu nyata, pernah dialami dalam perjalanan awal kehidupan. Ini sangat penting untuk menghindari adanya penyangkalan dalam diri terhadap peristiwa tersebut.
Terima. Fase ini seringkali sulit dilakukan namun menjadi pendukung yang sangat besar untuk berproses menjadi lebih baik. Menerima bahwa setiap orang memiliki masa lalu, dan menyadari masa lalu tidak dapat diulang lagi, diskenario menjadi sesuatu yang menyenangkan. Menerima masa lalu berarti juga menerima semua hal yang berkaitan dengan peristiwa tersebut, seperti orang- orang yang terlibat dalam peristiwa tersebut, perasaan yang muncul beserta akibatnya.
Move on. Proses perjalanan kehidupan manusia yang masih dapat diusahakan adalah masa sekarang dan masa yang akan datang. Jadikan pengalaman negatif masa lalu sebagai pelajaran, yang membuat diri menjadi lebih berani, lebih sabar, lebih bijaksana dan lebih kuat dibandingkan orang lain. Fokus pada kesuksesan di masa depan lebih utama daripada berkutat dengan masa lalu yang membuat kondisi kesehatan mental menurun. Jadi yang lalu biarlah berlalu, fokuslah pada hal positif yang dapat dilakukan hari ini dan yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Bellis, M. A., Hardcastle, K., Ford, K., Hughes, K., Ashton, K., Quigg, Z., & Butler, N. (2017). Does continuous trusted adult support in childhood impart life-course resilience against adverse childhood experiences - a retrospective study on adult health-harming behaviours and mental well-being. BMC Psychiatry, 17(1), 110. https://doi.org/10.1186/s12888-017-1260-z
Felitti, V. J., Anda, R. F., Nordenberg, D., Williamson, D. F., Spitz, A. M., Edwards, V., Koss, M. P., & Marks, J. S. (2019). Relationship of Childhood Abuse and Household Dysfunction to Many of the Leading Causes of Death in Adults: The Adverse Childhood Experiences (ACE)Study. American Journal of Preventive Medicine, 56(6), 774–786. https://doi.org/10.1016/j.amepre.2019.04.001
Hopeman, T. A. (2020). Dampak Bullying Terhadap Sikap Sosial Anak Sekolah Dasar (Studi Kasus Di Sekolah Tunas Bangsa Kodya Denpasar). PENDASI: Jurnal Pendidikan Dasar Indonesia, 4(Vol 4, No 1 (2020)), 52–63. http://ejournal-pasca.undiksha.ac.id/index.php/jurnal_pendas/article/view/3119
Ramiro, L. S., Madrid, B. J., & Brown, D. W. (2010). Adverse childhood experiences (ACE) and health-risk behaviors among adults in a developing country setting. Child Abuse and Neglect, 34(11), 842–855. https://doi.org/10.1016/j.chiabu.2010.02.012
Wolitzky-Taylor, K., Sewart, A., Vrshek-Schallhorn, S., Zinbarg, R., Mineka, S., Hammen, C., Bobova, L., Adam, E. K., & Craske, M. G. (2017). The Effects of Childhood and Adolescent Adversity on Substance Use Disorders and Poor Health in Early Adulthood. Journal of Youth and Adolescence, 46(1), 15–27. https://doi.org/10.1007/s10964-016-0566-3
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H