Orang tua atau orang lain pelaku bullying sering kali sudah pernah bahkan juga biasa mengalami hal yang serupa di masa dulu, di kehidupannya yang lalu.” Ah, itu hal biasa, aku dulu juga seperti ini, dan aku bisa menghadapinya, jadi jangan mengeluh, jangan banyak protes, itu hal yang sepele tidak usah dibesarkan”. Anggapan seperti itulah yang mendorong perilaku bullying tidak berkurang dan tidak berubah, layaknya kebiasaan yang turun temurun.
“karena pemahaman yang kurang?”
Ilmu dan pemahaman tentang perkembangan anak dan kesehatan mental memiliki andil untuk mengontrol munculnya tindakan bullying pada orang lain. Pemahaman bahwa bullying akan berdampak negatif baik pada saat kejadian tersebut, yaitu malu dan sakit secara emosional; namun juga berakibat sampai mereka dewasa bahkan sepanjang hidup. Kesadaran tentang etika dan tanggung jawab terhadap keluarga maupun sesama manusia tentu saja akan menumbuhkan pertimbangan dalam bertindak. Begitupun sebaliknya, kurangnya ilmu dan pemahaman tentang hal tersebut membuat tindakan menjadi tidak terkontrol dan terseleksi.
Berbagai ancaman, label dan tuduhan meraka berikan pada anak, sehingga anak merasa dipojokkan, tidak dimengerti, tidak berharga atau bahkan ditolak dan dimusuhi. Praktis kebutuhan kasih sayang dan rasa aman yang seharusnya ia dapatkan tidak terpenuhi. Anak juga menjadi takut, tidak percaya diri , merasa trauma dan menutup diri terhadap orang yang dianggap sebagai suatu ancaman (Hopeman, 2020).
Menjadi hambatan untuk maju
Dampak perilaku bullying dan kekerasan pada anak akan tersimpan dalam memori bawah sadar mereka. Mereka dapat merekam peristiwa tersebut dalam memori jangka pendek maupun dalam memori jangka panjang. Jika peristiwa tersebut terekam dalam memori jangka pendek, maka mereka hanya mengingat dalam waktu yang sebentar saja. Namun jika apa yang mereka rasakan, apa yang mereka lihat dan mereka alami tersimpan dalam memori jangka panjang, maka perasaan yang sama akan muncul kembali saat mereka mendapatkan stimulasi yang mirip. Proses ini kerapkali menghambat para klien untuk maju.
Memori terhadap peristiwa masa lalu itu terputar kembali layaknya film yang seringkali membuat seseorang stuck / berhenti, bahkan semakin terpuruk. Afirmasi-afirmasi negatif meluncur begitu saja seiring memori yang hadir. Bahwa “mereka adalah orang yang lemah, mereka orang yang bodoh, mereka pembohong. Bahwa” mereka tidak pernah benar, tidak dapat dipercaya, dan tidak layak untuk disayangi”.
Pemikiran dan keyakinan negatif yang terus diulang-ulang tersebut tentu saja menjadi penghambat untuk mencapai kemajuan dalam hal apapun. Menyelesaikan studi, menyelesaikan pekerjaan, berinteraksi dengan pasangan dan lingkungan, juga terhadap pemulihan kesehatan mental akan ikut terhambat.
“Apa yang harus dilakukan”
Berbagai gangguan kesehatan mental yang terjadi akibat paparan pengalaman menyakitlkan pada masa lalu (masa kecil) memerlukan penanganan yang intensif dari psikolog ataupun psikiater. Psikoterapi acapkali diperlukan untuk pemulihan kondisi psikologis klien, yang dapat dilakukan melalui konseling krisis sebagai pertolongan pertama psikologis. Selanjutnya klien dilibatkan untuk menggunakan keterampilan-keterampilan seperti keterampilan koping yang sehat, keterampilan untuk pemecahan masalah, mendorong keterlibatan dalam kegiatan positif, ketrerampilan untuk mengelola reaksi fisik dan emosional terhadap situasi yang mengganggu, mendukung pemikiran yang sehat dan membangun kembali hubungan sosial yang sehat. Beberapa psikoterapi dapat dilakukan untuk membantu klien, antara lain; Cognitif Behavior Therapy (CBT), Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR), Child – Parent Psychotherapy (CPP) ataupun Parent – Child Interaction Therapy (PCIT).