Namun pada tahun 1999 terjadi kebakaran hebat dan membuat kera-kera tersebut pergi. setelahnya penduduk lokal mulai mendekat untuk mencari kayu bakar hingga ditemukannya tumpukan batu berbentuk struktur bangunan berundak undak diantara semak belukar. Hingga hari ini dikenallah bangunan candi yang tersusun di atas tumpukan batu-batu kali tanpa perekat tanpa relief pahatan dan Arca.
Candi kethek menghadap ke barat dengan bentuk teras berundak yang masing-masing dihubungkan dengan tangga, dan terdapat 4 teras di mana yang pertama berupa struktur bangunan di sisi timur laut dan terdapat Arca kura-kura pada anak tangga paling bawah. Pada teras kedua dan ketiga terdapat dua struktur bangunan di sisi Utara dan Sisi Selatan.Â
Sementara teras keempat diperkirakan sebagai letak berdirinya bangunan induk atau utama, sebab pada saat tertentu tempat ini digunakan bersembahyang oleh penduduk Dusun Cetho yang mayoritas beragama Hindu. Selain itu penduduk setempat mempercayai bahwa bagian atas dari Candi menyerupai honomen atau tokoh pewayangan berwujud kerah putih.
Arca kura-kura mengisahkan tentang pengadukan lautan susu untuk mencari Tirta amertha, dengan demikian cerita samudramanthana dapat menunjukkan Fungsi candi kethek sebagai tempat perawatan untuk membebaskan seseorang dari kesalahan atau dosa. Namun penting untuk diketahui bahwa pada masa pembangunan Candi Ini kisah samudramanthana telah dimodifikasi oleh masyarakat Jawa Klasik menjadi kisah pemindahan Mahameru ke Jawa, sehingga kura-kura ini mungkin bukanlah jelmaan Dewa Wisnu melainkan jelmaan Dewa Brahma yang membawa gunung di atas tempurungnya.
Walaupun demikian, diperlukan usaha penggalian tambahan di sekitar area untuk mencari prasasti atau artefak lain yang menjadi sumber informasi mengenai sejarah Candi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H