Di antara mereka yang tercatatat sebagai pengawas adalah Viering dan Waubert de Pasau. Mereka juga tinggal di tanah ini bersama keluarganya dan menempati kompleks bangunan di sekitar pesanggrahan milik Kamphuis.
Meskipun dalam laporan, Kamphuis adalah sosok tuan tanah yang baik dan penuh perhatian kepada penduduk yang tinggal di tanah partikelirnya, administratornya Pes dianggap berbeda dengan sifat tingkah laku tuan tanahnya.
Pes bermaksud untk memaksimalkan produktivitas tanah tersebut dengan menerapkan managemen target kuota hasil bumi yang bisa dijual. Untuk itu pada pertengahan tahun 1845, Pes menerbitkan sebuah peraturan baru yang diberlakukan dalam pengelolaan tanah partikelir Cikande Udik. Peraturan itu adalah penetapan luas persegi tanah yang baru, menetapkan daya produksi tertentu dan memungut 1/5 dari hasil yang diperolehnya. Berdasarkan ketentuan ini, klasifikasi jenis tanah dan hasilnya ditetapkan sebagai berikut :
- Sawah kelas-1 Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â 3 caing
- Sawah kelas-2 Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â 2 caing
- Tanah lain                1 caing
Semua jumlah di atas ditetapkan per bahu.
Jumlah tersebut dianggap terlalu tinggi, dan hanya bisa dicapai pada saat panen padi sangat berhasil dan produksinya berlimpah. Hal ini didasarkan pada rata-rata hasil panen pai selama tahun-tahun sebelumnya, yang tercatata sebagai berikut
- Sawah kelas-1 Â Â Â Â Â Â 2 caing
- Sawah kelas-2 Â Â Â Â Â Â 1 caing
- Tanah lain          caing
Tentu saja peraturan baru yang dikeluarkan itu menimbulkan keresahan di antara penduduk, yang tkut bahwa kuota di atas tidak tercapai dan mereka akan menderita hukuman dari tuan tanah. Sementara itu bagi Pes, pertimbangan utamanya adalah peristiwa kegagalan panen pada pertengahan tahun 1844, yang mengakibatkan tanah partikelir ini harus mengimpor beras dari daerah lain. Akan tetapi kegagalan panen itu bukan hanya terjadi di tanah itu melainkan juga melanda seluruh Karesidenan Banten karena musim kemarau yang panjang.
Kronologi
Sementara itu pada pertengahan tahun 1845 panen raya yang berhasil terjadi di Karesidenan Banten, sehingga karesidenan ini menjadi pemasok beras yang diharapkan untuk wilayah lain, terutama di Jawa Timur,yang menerima giliran mengalami paceklik. Penjualan beras dari Banten ke Jawa Timur dimungkinkan setelah danya perbaikan jalan sepanjang aliran Cidurian hingga Tanara, yang menekan biayan produksi.
Dari permintaan yang tinggi ini, penjualan beras keluar Banten menjadi transaksi yang sangat menguntungkan. Hal ini menjadi alasan bagi Pes untuk memaksimalkan produksi padi dengan tujuan menutup deficit yang ditimbulkan akibat paceklik pada tahun sebelumnya.
Tindakan Pes untuk mencapai kuota seperti yang dimaksudkan di atas dilakukan juga dari sisi yang lain. Ketika Pes menyadari bahwa terwujudnya kuota itu akan mengakibatkan semua beras hilang dari Cikande Udik dan penduduk akan mengalami kesulitan pangan seperti pada tahun sebelumnya, ia mengambil langkah lain yaitu dengan manaikan cuke dengan alasan untuk menutup pajak penduduk terhadap pemerintah yang dibayar lewat tuan tanah (belasting).
Dengan kenaikan cuke, diharapkan hasil dari penjualan kuota padi ini bisa terpenuhi. Namun kenyataan muncul bahwa mengingat hanya ada satu sumber produksi, yaitu sawah atau tanah yang ditanami padi, perbedaan antara cuke dan penyetoran wajib panen padi manjadi kabur. Tidak ada lagi yang bisa diketahui padi mana yang disetorkan sebagai cuke dan yang dijadikan sebagai kuota panen.