Mohon tunggu...
Ismi Mia
Ismi Mia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

prodi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah, UIN Raden Mas Said Surakarta.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Critical Thinking Understand (Hukum Perdata Islam Indonesia)

21 Maret 2023   23:35 Diperbarui: 21 Maret 2023   23:49 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Meskipun perkawinan yang dilakukan tanpa sepengetahuan atau kendali petugas pencatat bersifat tidak tetap dan diremehkan kekuatan hukumnya, dampak perkawinan agama adalah akibat hukum dari perkawinan yang tidak dicatatkan. Hal ini terjadi meskipun perkawinan berdasarkan agama atau kepercayaan dianggap sah. sebagai pelanggaran terhadap peraturan yang diberlakukan oleh pemerintah. Secara hukum dan sosial, perkawinan ini menimbulkan dampak negatif yang cukup besar bagi pasangan suami istri dan wanita pada umumnya, serta terhadap anak yang mereka miliki.

PENDAPAT ULAMA DAN KHI TENTANG PERKAWINAN WANITA HAMIL

Pandangan para ulama mengenai pernikahan wanita hamil :

  • Pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal Dikatakan bahwa laki-laki yang tidak hamil tidak boleh menikahi wanita yang sedang hamil kecuali wanita tersebut telah melahirkan dan masa iddahnya telah berakhir. Imam Ahmad juga menambahkan syarat wanita mengaku zina. Kecuali dia melakukan perzinahan, dia tidak bisa menikah lagi.
  • Pendapat Imam Asy-Syafi'i yang menjelaskan bahwa dia boleh menikah dengan laki-laki yang sedang hamil maupun tidak. tanpa harus menunggu sampai anak lahir. Syafi'i berpendapat bahwa wanita boleh menikah meskipun dalam keadaan hamil asalkan pernikahan tersebut memenuhi syarat nikah dan ada ijab qabul. Seorang wanita diperbolehkan berhubungan seks dengan wanita lain jika dia hamil karena perzinahan dan tidak diharuskan oleh hukum untuk melakukan "iddah."
  • Pendapat Imam Hanafiyah: Jika seorang laki-laki hamil, seorang perempuan boleh menikah dengannya. Akan tetapi, ia tidak boleh melakukan hubungan seksual dengan suaminya sampai anak yang dikandungnya lahir, jika laki-laki yang dinikahinya tidak hamil.
  • Pendapat Imam Abu Hanifah yang menjelaskan bahwa jika seorang laki-laki menikah dengan perempuan hamil dan juga laki-laki hamil, maka hukumnya boleh. Jika pria yang dinikahinya tidak hamil, dia tidak dapat menghubunginya sampai dia memiliki keturunan.
  • Pendapat Imam An-Nawawi Menurut Imam An-Nawawi, wanita yang hamil karena zina diperbolehkan menikah. Menurut para akademisi tersebut, hukum Syariah tidak berlaku bagi wanita menikah yang hamil akibat perzinahan. Padahal tujuan iddah adalah untuk menjaga kesucian nasab dan memuliakan sperma. Namun, dalam hal ini, sperma pezina laki-laki tidak diperhitungkan, dan sifat hubungannya dengan ibunya ditentukan oleh kehamilan setelah tidak menikah.

Pandangan KHI mengenai pernikahan wanita Hamil :

Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia mengatur, dalam ayat 1, 2, dan 3, status perkawinan ibu hamil:

  • Seorang wanita yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan dapat menikah dengan pria yang menghamilinya.
  • Perkawinan dengan wanita hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimungkinkan tanpa menunggu anak lahir.
  • Seorang wanita yang menikah dalam keadaan hamil tidak perlu menikah lagi setelah anak yang dikandungnya lahir.

CARA MENGHINDARI PERCERAIAN

  • Berkomunikasilah dengan baik dengan pasangan Anda dan bersabarlah saat menghadapi masalah. dan memegang prinsip pernikahan.
  • Saling menghormati, memperlakukan satu sama lain dengan baik, dan menghindari kekerasan. Hal ini akan membangun keharmonisan dalam hubungan suami-istri sehingga keduanya dapat melakukan tugasnya dengan benar dan adil.
  • Siap untuk menguasai perasaan sebanyak mungkin dan dengan hati-hati mendorong satu sama lain, kesalahan yang tepat dengan tulus dan sungguh-sungguh.
  • Selalu andalkan Allah SWT dan berdoa.

PENJELAAN MENGENAI BOOK REVIEW SAYA

 "HUKUM MANUSIA DAN KELUARGA (dari perspektif Hukum Perdata/BW Barat, Hukum Islam, dan Hukum Adat)" adalah judul buku yang ditulis oleh Soedharyo Soimin, S.H. Yang mengingat garis besar masalah peraturan manusia yang berbeda untuk sudut pandang yang sah, khususnya peraturan standar, peraturan Islam dan peraturan umum / BW serta bagian dari peningkatannya dalam studi hukum. Perkawinan, anak, perceraian, waris, dan hibah semuanya dibahas dalam buku ini dari perspektif hukum Islam, sebagaimana perkembangan hukum Indonesia.

Saya merasa mengesankan bahwa berbagai aspek hukum dari setiap kasus disajikan secara terpisah dari perspektif hukum umum, hukum Islam, dan hukum perdata Barat (BW). sejauh mana kehidupan pribadi orang dalam dalam masyarakat hukum terhubung dengan peran yang dimainkan hukum. Penulis menyampaikan dalam buku ini secara jelas, komprehensif, dan mendalam. Daftar isi yang ringkas menunjukkan hal ini. Terlebih lagi, pembaca mendapatkan informasi yang sangat jelas dan mudah dipelajari. Selain itu, saya memperluas perbedaan antara hukum umum dan hukum Islam.

Buku Hukum Perorangan dan Keluarga ini memiliki keunggulan sebagai berikut: Susunan daftar isi dalam buku ini sangat jelas sehingga memudahkan pembaca untuk menemukan susunan yang tepat dan menghindari kebingungan. Bagi mereka yang tidak tahu atau ingin memahami hukum, buku ini ditulis dengan bahasa yang sederhana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun